Abu Hasan

مجموعة الاسلامية على نهج سلف الأمة

Minggu, 24 September 2017

Risalah Takfir dan Tabdi' (1)

Risalah Takfir dan Tabdi' (1)

Pertama : Pengkafiran adalah hukum syar’i dan merupakan hak murni milik Allah ta’ala, tidak dimiliki oleh individu atau kelompok tertentu.

Konsekuensi dari kaidah ini adalah seseorang tidaklah dikafirkan kecuali yang memang telah dikafirkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullahberkata :

وهذا بخلاف ما كان يقوله بعض الناس كأبي إسحاق الإسفراييني ومن اتبعه يقولون لا نكفر إلا من يكفر فإن الكفر ليس حقا لهم بل هو حق لله وليس للإنسان أن يكذب على من يكذب عليه ولا يفعل الفاحشة بأهل من فعل الفاحشة بأهله بل ولو استكرهه رجل على اللواطة لم يكن له أن يستكرهه على ذلك ولو قتله بتجريع خمر أو تلوط به لم يجز قتله بمثل ذلك لأن هذا حرام لحق الله تعالى ولو سب النصارى نبينا لم يكن لنا أن نسبح المسيح والرافضة إذا كفروا أبا بكر وعمر فليس لنا أن نكفر عليا


“Hal ini bertentangan dengan pekataan sebagian orang seperti Abu Ishaq Al-Isfirayiiniy serta orang yang mengikuti pendapatnya, mereka mengatakan : Kami tidak mengkafirkan kecuali orang-orang mengkafirkan (kami)(Perkataan ini salah), karena takfir itu bukanlah hak mereka tapi hak Allah. Seseorang tidak boleh berdusta kepada orang yang pernah berdusta atas namanya. Tidak boleh pula ia berbuat keji (zina) dengan istri seseorang yang pernah menzinahi istrinya. Bahkan kalau ada orang yang memaksanya untuk melakukan liwath (homo sex), tidak boleh baginya untuk membalas dengan memaksanya untuk melakukan perbuatan yang sama, karena hal ini merupakan pelanggaran terhadap hak Allah. Seandainya orang Nashrani mencela Nabi kita, kita tidak boleh mencela Al-Masih (‘Isa ‘alaihis-salaam). Demikian pula seandainya orang-orang Rafidlah mengkafirkan Abu Bakar dan ‘Umar, tidak boleh bagi kita untuk mengkafirkan ‘Ali radliyallaahu ‘anhum ajma’iin” [Minhajus-Sunnah, 5/244 – Muassasah Qurthubah, Cet. 1 Th. 1406].

Ibnul-Qayyim rahimahullah berkata dalam Qashidah Nuniyyah-nya :

الكفر حق الله ثم رسوله*** بالنص يثبت لا بقول فلان
من كان رب العالمين وعبده*** قد كفراه فذاك ذو الكفران

“Kekafiran itu adalah hak Allah dan Rasul-Nya --- dengan nash yang tetap bukan dengan perkataan si Fulan
Barangsiapa yang Allah dan Rasul-Nya ---- telah mengkafirkannya maka diaah orang kafir”
[Qashidah Nuniyyah, hal. 277; Maktabah Ibni Taimiyyah, Cet. 2/1417, Kairo].

Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah berkata :

الحكم بالتكفير والتفسيق ليس إلينا بل هو إلى الله تعالى ورسوله صلى الله عليه وسلم، فهو من الأحكام الشرعية التي مردها إلى الكتاب والسنة، فيجب التثبت فيه غاية التثبت، فلا يكفر ولا يفسق إلا من دل الكتاب والسنة على كفره أو فسقه.

“Menghukumi kafir atau fasiq bukanlah hak kita, namun ia merupakan hak Allah ta’ala dan Rasul-Nya shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Ia merupakan hukum-hukum syari’ah yang harus dikembalikan pada Al-Qur’an dan As-Sunnah. Oleh karena itu, wajib untuk menelitinya dengan seksama. Tidak boleh mengkafirkan atau memfasikkan kecuali orang-orang yang memang telah ditunjukkan oleh Al-Qur’an dan As-Sunnah tentang kekafirannya atau kefasikannya” [Al-Qawaaidul-Mutslaa, hal. 87; Universitas Islam Madinah, Cet. 3/1421].

Kedua : Asal dari seorang muslim secara dhahir adalah ‘adil dan tetap di atas ke-Islaman serta keadilannya sampai benar-benar diketahui lenyapnya dua hal tersebut darinya berdasarkan dalil syar’i.

Tidak boleh menggampangkan dalam mengkafirkan atau memfasikkannya karena dalam hal ini terdapat dua larang besar :

a.         Membuat-buat kedustaan terhadap Allah ta’ala dalam menghukumi dan terhadap orang yang dihukumi.

b.         Terjatuh dalam hal menuduh saudaranya, jika dia selamat dari tuduhan itu.

عن ابن عمر؛ أن النبي صلى الله عليه وسلم قال : "إذا كفر الرجل أخاه فقد باء بها أحدهما".

Dari Ibnu ‘Umar : Bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Apabila seseorang mengkafirkan saudaranya, maka hal itu akan kembali pada salah satu dari keduanya” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 6104 dan Muslim no. 60].

Oleh sebab itu, merupakan kewajiban sebelum menghukumi seorang muslim dengan kekafiran atau kefasikan untuk memperhatikan dua perkara ini :

a)        Bahwasannya Al-Qur’an dan As-Sunnah menunjukkan bahwa suatu perkara atau perbuatan itu mengharuskan kekafiran dan kefasikan (pelakunya).

b)        Kesesuaian hukum tersebut, untuk diterapkan terhadap pembicara dan pelaku tertentu, dimana telah terpenuhi syarat-syarat[1] pengkafiran dan pemfasikan pada dirinya serta tidak ada penghalang/pencegah[2] yang menghalangi penjatuhan hukum tersebut.

Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah pernah ditanya tentang syarat-syarat pengkafiran terhadap seorang muslim dan hukum terhadap orang yang melakukan perbuatan kafir dengan bercanda, lalu beliau menjawab :

للحكم بتكفير المسلم شرطان : أحدهما : أن يقوم الدليل على أن هذا الشيء مما يكفر. الثاني : انطباق الحكم على من فعل ذلك بحيث يكون عالماً بذلك قاصداً له، فإن كان جاهلاً لم يكفر. لقوله –تعالى- : ومن يشاقق الرسول من بعد ما تبين له الهدى ويتبع غير سبيل المؤمنين نوله ما تولى ونصله جهنم وساءت مصيراً. وقوله : وما كان الله ليضل قوماً بعد إذ هداهم حتى يبين لهم ما يتقون. وقوله : وما كنا معذبين حتى نبعث رسولاً. لكن إن فرط بترك التعلم والتبين ، لم يعذر ، مثل أن 
يبلغه أن عمله هذا كفر فلا يتثبت ، ولا يبحث فإنه لا يكون معذوراً حينئذ.
وإن كان غير قاصد لعمل ما يكفر لم يكفر بذلك ، مثل أن يكره على الكفر وقلبه مطمئن بالإيمان ، ومثل أن ينغلق فكره فلا يدري ما يقول لشدة فرح ونحوه ، كقول صاحب البعير الذي أضلها ، ثم اضطجع تحت شجرة ينتظر الموت فإذا بخطامها متعلقاً بالشجرة فأخذه ، وقال: "اللهم أنت عبدي وأنا ربك" أخطأ من شدة الفرح. لكن من عمل شيئاً مكفراً مازحاً فإنه يكفر لأنه قصد ذلك ، كما نص عليه أهل العلم.

“Ada dua syarat yang harus dipenuhi dalam mengkafirkan seorang muslim : (1) Terdapat dalil tentang perbuatan yang ia lakukan termasuk perkara kekafiran, (2) Adanya kesesuaian hukum dari satu perbuatan kufur dengan keadaan pelakunya dimana ia dalam keadaan mengetahui dan berniat (menyengaja) melakukannya. Jika ia tidak mengetahui (jaahil), maka tidak dikafirkan, berdasarkan firman Allah ta’ala ‘Dan barang siapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasinya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahanam, dan Jahanam itu seburuk-buruk tempat kembali’ (QS. An-Nisaa’ : 115). ‘Dan Allah sekali-kali tidak akan menyesatkan suatu kaum, sesudah Allah memberi petunjuk kepada mereka hingga dijelaskan-Nya kepada mereka apa yang harus mereka jauhi’ (QS. At-Taubah : 115). ‘Dan Kami tidak akan mengazab sebelum Kami mengutus seorang rasu’ (QS. Al-Israa’ : 15). Namun jika ia meremehkan dengan meninggalkan belajar dan mencari penjelasan, maka ia tidak diberikan ‘udzur. Misalnya : Telah sampai kepadanya bahwa perbuatan yang ia lakukan itu termasuk kekufuran, namun (setelah itu) ia tidak mencari kejelasan dan menyelidikinya. Pada saat itulah ia tidak dianggap sebagai orang yang diberikan ‘udzur.

Jika ia tidak berniat/menyengaja melakukan perbuatan kekufuran, maka ia tidak dikafirkan. Misalnya : orang yang dipaksa berbuat kekufuran namun hatinya tetap tenang dalam keimanan, orang yang tertutup pikirannya sehingga ia tidak tahu (tidak sadar) apa yang dikatakannya (merupakan kekufuran) karena saking gembiranya, atau yang semisalnya. Hal itu seperti perkataan pemilik onta yang kehilangan ontanya, kemudian ia berbaring istirahat di bawah sebuah pohon menantikan maut (karena seluruh perbekalannya dibawa oleh ontanya yang hilang tadi). (Setelah terbangun), tiba-tiba tali kekang onta tertambat di pohon (yang ia sandari), kemudian ia mengambilnya. Ia pun berkata : ‘Ya Allah, Engkau adalah hambaku, dan aku adalah Rabb-Mu’. Ia keliru dalam perkataannya karena terlalu gembiranya. Namun, barangsiapa yang melakukan satu perbuatan kekufuran dengan bercanda, maka ia dikafirkan karena ia telah menyengaja berbuat demikian, sebagaimana dikatakan oleh para ulama[3]” [Majmu’’ Fataawaa wa Rasaail, 2/no. 220].

Salah satu dalil atas kaidah ini adalah :

عن أسامة بن زيد قال : بعثنا رسول الله صلى الله عليه وسلم في سرية. فصبحنا الحرقات من جهينة. فأدركت رجلا. فقال: لا إله إلا الله. فطعنته فوقع في نفسي من ذلك. فذكرته للنبي صلى الله عليه وسلم. فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم" أقال: لا إله إلا الله وقتلته؟" قال قلت: يا رسول الله! إنما قالها خوفا من السلاح. قال" أفلا شققت عن قلبه حتى تعلم أقالها أم لا". فما زال يكررها علي حتى تمنيت أني أسلمت يومئذ.

Dari Usamah bin Zaid ia berkata : Kami pernah dikirim Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dalam satu pasukan perang. Lalu kami sampai di Al-Huruqaat, daerah Juhainah pada waktu shubuh. Maka aku temukan seorang laki-laki. Ia mengucapkan Laa ilaha illallaah, lalu aku pun menikamnya.Kemudian aku sampaikan hal itu kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Apakah ia telah mengucapkan Laa ilaha illallaah lantas engkau tetap membunuhnya ?”. Aku berkata : “Wahai Rasulullah, sesungguhnya ia hanya mengucapkannya karena takut terhadap hunusan pedang”. Beliau bersabda : “Tidakkah engkau belah hati orang tersebut sehingga engkau tahu apakah hatinya mengucapkan Laa ilaha illallaah atau tidak ?”. Beliau terus-menerus mengucapkannya kepadaku hingga berangan-angan aku baru masuk Islam pada hari itu” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhariy no. 4269 dan Muslim no. 96].

An-Nawawiy rahimahullah berkata saat menjelaskan hadits di atas :

ومعناه أنك إنما كلفت بالعمل بالظاهر وما ينطق به اللسان، وأما القلب فليس لك طريق إلى معرفة ما فيه، فأنكر عليه امتناعه من العمل بما ظهر باللسان…… وقوله صلى الله عليه وسلم: "أفلا شققت عن قلبه" فيه دليل للقاعدة المعروفة في الفقه والأصول أن الأحكام يعمل فيها بالظواهر والله يتولى السرائر.

“Maknanya adalah : Sesungguhnya engkau hanya dibebani dengan untuk beramal sebagaimana dhahirnya saja dan apa-apa yang diucapkan oleh lisan. Adapun masalah hati, tidak ada jalan bagimu untuk mengetahui apa yang ada di dalamnya. Maka beliaushallallaahu ‘alaihi wa sallam mengingkarinya (Usaamah) karena tidak beramal dengan apa yang nampak pada lisan (dari orang tersebut)….. Dan sabda beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam ‘Tidakkah engkau belah hati orang tersebut’ ; padanya terdapat dalil atas kaidah yang ma’ruf dalam ilmu fiqh dan ushul : Bahwasannya hukum-hukum diamalkan sesuai dengan dhahirnya, dan Allah yang akan menghukumi apa-apa yang tersembunyi (dalam hati)” [Syarh Shahih Muslim, 2/104, 107; Cet. 1/1347].

Ketiga : Seorang muslim tidaklah menjadi kafir hanya dengan perkataan, perbuatan, dan keyakinan; kecuali setelah ditegakkan kepadanya hujjah dan dihilangkan darinya syubhat(kesamaran).

Allah ta’ala berfirman :

وَمَا كَانَ اللّهُ لِيُضِلّ قَوْماً بَعْدَ إِذْ هَدَاهُمْ حَتّىَ يُبَيّنَ لَهُم مّا يَتّقُونَ إِنّ اللّهَ بِكُلّ شَيْءٍ عَلِيمٌ

“Dan Allah sekali-kali tidak akan menyesatkan suatu kaum, sesudah Allah memberi petunjuk kepada mereka sehingga dijelaskan-Nya kepada mereka apa yang harus mereka jauhi. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu” [QS. At-Taubah : 115].

كُلّمَا أُلْقِيَ فِيهَا فَوْجٌ سَأَلَهُمْ خَزَنَتُهَآ أَلَمْ يَأْتِكُمْ نَذِيرٌ *  قَالُواْ بَلَىَ قَدْ جَآءَنَا نَذِيرٌ فَكَذّبْنَا وَقُلْنَا مَا نَزّلَ اللّهُ مِن شَيْءٍ إِنْ أَنتُمْ إِلاّ فِي ضَلاَلٍ كَبِيرٍ

Setiap kali dilemparkan ke dalamnya sekumpulan (orang-orang kafir), penjaga-penjaga (neraka itu) bertanya kepada mereka: "Apakah belum pernah datang kepada kamu (di dunia) seorang pemberi peringatan?". Mereka menjawab: "Benar ada", sesungguhnya telah datang kepada kami seorang pemberi peringatan, maka kami mendustakan(nya) dan kami katakan: "Allah tidak menurunkan sesuatupun; kamu tidak lain hanyalah di dalam kesesatan yang besar." [QS. Al-Mulk : 8-9].

Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata :

وليس لأحد أن يكفر أحدًا من المسلمين ـ وإن أخطأ وغلط ـ حتي تقام عليه الحجة، وتبين له المحَجَّة، ومن ثبت إسلامه بيقين لم يزل ذلك عنه بالشك، بل لا يزول إلا بعد إقامة الحجة، وإزالة الشبهة‏.‏

“Dan tidak boleh bagi seorangpun untuk mengkafirkan orang lain dari kaum muslimin – walau ia bersalah dan keliru – sampai ditegakkan padanya hujjah dan dijelaskan kepadanya bukti dan alasan. Barangsiapa yang telah tetap ke-Islam-an padanya dengan yakin, maka tidaklah hilang darinya hanya karena sebuah keraguan. Bahkan tidak hilang kecuali setelah ditegakkan kepadanya hujjah dan dihilangkan darinya syubhat” [Majmuu’ Al-Fataawaa oleh Ibnu Taimiyyah, 12/466].

Di antara dalil yang mendasari kaidah ini adalah sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam :

أربعة يوم القيامة يدلون بحجة : رجل أصم لا يسمع و رجل أحمق و رجل هرم و من مات في الفترة ، فأما الأصم فيقول :  يا رب جاء الإسلام و ما أسمع شيئا و أما الأحمق فيقول : جاء الإسلام و الصبيان يقذفونني بالبعر و أما الهرم فيقول : لقد
جاء الإسلام و ما أعقل و أما الذى مات على الفترة فيقول : يا رب ما أتاني رسولك
 فيأخذ مواثيقهم ليطعنه ، فيرسل إليهم رسولا أن ادخلوا النار ، قال : فوالذي نفسي بيده لو دخلوها لكانت عليهم بردا و سلاما "

“Ada empat golongan pada hari kiamat yang akan mengajukan hujjah : (1) Orang tuli yang tidak dapat mendengar, (2) orang idiot, (3) orang yang tua renta lagi pikun, dan (4) orang yang meninggal pada jaman fatrah. Orang yang tuli akan berkata : ‘Wahai Rabbku, Islam datang namun aku tidak mendengar sesuatupun tentangnya’. Orang idiot berkata : ‘Islam datang, namun anak-anak melempariku dengan kotoran hewan’. Orang yang tua lagi pikun berkata : ‘Sungguh Islam telah datang, namun aku tidak mengerti/paham’. Dan orang yang mati di jaman fatrah berkata : ‘Wahai Rabbku, Rasul-Mu tidak mendatangiku’. Lalu diambillah perjanjian terhadap mereka untuk diuji. Kemudian akan diutus seorang utusan (Rasul) kepada mereka untuk memasuki api. Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, seandainya mereka ke dalam api itu niscaya mereka akan merasakan dingin dan selamat (dari adzab)” [Diriwayatkan oleh Ath-Thabaraaniy 2/79, Adl-Dliyaa’ no. 1454, dan yang lainnya; shahih. Lihat Ash-Shahiihah no. 1434].

Dalam hadits ini terdapat penjelasan bahwa Allah ta’ala tidak akan mengadzab hamba-hamba-Nya setelah disampaikan kepada mereka risalah dan/atau ditegakkan pada mereka hujjah.

Perlu menjadi catatan penting adalah bahwa tegaknya hujjah itu tidak hanya sekedar hujjah tersebut sampai kepadanya. Tapi hal itu mensyaratkan kepahaman dari orang tersebut (atas hujjah yang disampaikan) tanpa ada syubhat yang menghalanginya.

Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata :

وهكذا الأقوال التي يكفر قائلها قد يكون الرجل لم تبلغه النصوص الموجبة لمعرفة الحق، وقد تكون عنـده ولم تثبت عنده،أو لم يتمكن من فهمها،وقد يكون قد عرضت له شبهات يعذره الله بها، فمن كان من المؤمنين مجتهداً في طلب الحق وأخطأ، فإن الله يغفر له خطأه ـ كائنا ما كان ـ سواء كان في المسائل النظرية، أو العملية‏.‏ هذا الذي عليه أصحاب النبي صلى الله عليه وسلم، وجماهير أئمة الإسلام

“Demikian juga perkataan-perkataan yang dapat mengkafirkan pengucapnya. Kadang-kadang seseorang tidak sampai kepadanya nash-nash yang mengantarkannya kepada kebenaran. Kadang sampai kepadanya nash, namun menurutnya tidak shahih, atau ia tidak memahaminya, atau ada syubhat yang Allah memberikan ‘udzur padanya. Barangsiapa yang termasuk orang-orang beriman yang bersungguh-sungguh mencari kebenaran namun kemudian tersalah, maka Allah akan mengampuni kesalahannya itu, apapun masalahnya, baik yang menyangkut pemahaman ataupun pengamalan. Inilah yang menjadi pegangan para shahabat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan jumhur para imam kaum muslimin” [Majmuu’ Al-Fatawaa, 23/346].

Keempat : Tidak ada perbedaan dalam masalah pengkafiran antara masalah ushul dan masalah furu’, i’tiqad/keyakinan dan fatwa.

Membedakan antara ushul dan furu’ atau antara hukum-hukum far’iyyah/cabang dan ushul i’tiqad dalam hal memberi ‘udzur karena kejahilan tidak ada landasannya sama sekali.

Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah mempunyai perkataan yang sangat bagus dalam hal ini :

أن المتأول الذي قصده متابعة الرسول لا يكفر بل ولا يفسق إذا اجتهد فأخطأ وهذا مشهور عند الناس في المسائل العملية وأما مسائل العقائد فكثير من الناس كفر المخطئين فيها وهذا القول لا يعرف عن أحد من الصحابة والتابعين لهم بإحسان ولا عن أحد من أئمة المسلمين وإنما هو في الأصل من أقوال أهل البدع الذين يبتدعون بدعة ويكفرون من خالفهم كالخوارج والمعتزلة والجهمية ووقع ذلك في كثير من أتباع الأئمة كبعض أصحاب مالك والشافعي وأحمد وغيرهم وقد يسلكون في التكفير ذلك فمنهم من يكفر أهل البدع مطلقا ثم يجعل كل من خرج عما هو عليه من أهل البدع وهذا بعينه قول الخوارج والمعتزلة الجهمية وهذا القول أيضا يوجد في طائفة من أصحاب الأئمة الأربعة وليس هو قول الأئمة الأربعة ولا غيرهم وليس فيهم من كفر كل مبتدع بل المنقولات الصريحة عنهم تناقض ذلك ولكن قد ينقل عن أحدهم أنه كفر من قال بعض الأقوال ويكون مقصوده أن هذا القول كفر ليحذر ولا يلزم إذا كان القول كفرا أن يكفر كل من قاله مع الجهل والتأويل فإن ثبوت الكفر في حق الشخص المعين كثبوت الوعيد في الآخرة في حقه وذلك له شروط وموانع

“Sesungguhnya orang yang men-ta’wil yang niatnya mengikuti Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam tidaklah kafir dan bahkan tidaklah fasiq apabila dia berijtihad dan kemudian salah. Dan inilah yang masyhur di kalangan ulama dalam masalah amal. Adapun dalam masalah ‘aqaaid (keyakinan), kebanyakan manusia mengkafirkan orang yang salah di dalamnya. Perkataan seperti ini tidak pernah diketahui dari kalangan shahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik dari kalangan tabi’in, serta tidak pula dari kalangan imam kaum muslimin. Padahal, perkataan itu berasal dari ahli bid’ah yang mengada-adakan hal yang baru dalam agama.  Mereka mengkafirkan orang-orang yang menyelisihi mereka seperti kaum Khawarij, Mu’tazillah, dan Jahmiyyah. Dan telah terjatuh pula kebanyakan dari pengikut para imam (dalam kesalahan yang sama) seperti sebagian pengikut Malik, Asy-Syafi’i, Ahmad, dan yang lainnya. Mereka mengikuti para ahli bid’ah tersebut dalam hal takfir, dimana sebagian diantara mereka mengkafirkan ahlul-bida’secara mutlak yang kemudian mereka menjadikan setiap orang yang tergabung denganahlul-bida’ (sebagai kafir). Ini sebenarnya adalah (asal dari) perkataan Khawarij, Mu’tazillah, dan Jahmiyyah (yang mengkafirkan orang-orang yang menyelisihi mereka). Dan ini pulalah yang kemudian ditemukan dari sebagian perkataan pengikut imam empat. Padahal ini bukanlah merupakan perkataan imam empat atau imam-imam yang lain. Tidaklah seorang pun dari mereka yang mengkafirkan setiap mubtadi’. Bahkan nukilan-nukilan yang sharih dari mereka bertolak belakang dengan hal itu. Akan tetapi, kadang-kadang dinukil dari salah seorang di antara mereka  bahwa ia mengkafirkan orang yang mengatakan sebagian perkataan (kufur). Padahal, maksudnya adalah perkataan tersebut adalah perkataan kufur dan harus dijauhi. Tidaklah setiap perkataan kufur itu mengharuskan untuk mengkafirkan setiap orang yang mengucapkannya jika ucapan tersebut diucapkan karena kejahilan/kebodohan[4] atau penakwilan. Sebab, menetapkan kekafiran pada individu tertentu seperti menetapkan baginya ancaman di akhirat. Dan hal ini memiliki syarat-syarat dan pencegah-pencegah" [Minhajus-Sunnah, 5/239-240].


Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah membantah perkataan sebagian orang bahwa pemberian ‘udzur itu hanya pada masalah furu’, sedangkan pada masalah i’tiqad tidak diberikan ‘udzur (sehingga jika ia tersalah, jatuhlah vonis kafir bagi dirinya). Telah tetap dalam sebuah hadits dari Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu bahwasannya Rasulullahshallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda :

قال رجل لم يعمل حسنة قط لأهله إذا مات فحرقوه ثم أذروا نصفه في البر ونصفه في البحر فوالله لئن قدر الله عليه ليعذبنه عذابا لا يعذبه أحدا من العالمين فلما مات الرجل فعلوا ما أمرهم فأمر الله البر فجمع ما فيه وأمر البحر فجمع ما فيه ثم قال لم فعلت هذا قال من خشيتك يا رب وأنت أعلم فغفر الله له

 "Ada seseorang yang tidak berbuat kebaikan sama sekali berpesan kepada keluarganya : ‘Apabila aku mati, maka buanglah sebagian anggota tubuhku di darat dan sebagian di lautan. Demi Allah, jika Allah mentaqdirkan, pasti Dia akan menyiksaku dengan siksaan yang tidak pernah Dia siksakan kepada orang lain di alam ini’. Setelah orang tersebut mati, keluarganya melaksanakan pesannya. Kemudian Allah memerintahkan daratan agar menyatukan jasad orang tersebut, dan memerintahkan lautan agar juga menyatukan jasadnya. Lalu Allah bertanya kepada orang tersebut (di hari kiamat) : ‘Mengapa kamu melakukan yang demikian itu ?’. Dia menjawab : ‘Karena aku takut siksa-Mu ya Rabbku, sedangkan Engkau Maha Mengetahui’. Maka Allah mengampuninya” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 7506 dan Muslim no. 2756].

Orang tersebut adalah orang yang masih ragu terhadap kekuasaan Allah dan kemampuan-Nya untuk mengembalikan jasadnya seperti sediakala. Dia mempunyai keyakinan (i’tiqad) bahwa dengan jasadnya dipotong-potong, maka dia tidak akan dibangkitkan di hari kiamat dan tidak dimintai pertanggungjawaban atas segala amal yang telah ia lakukan. Keyakinan ini adalah keyakinan kufur menurut kesepakatan kaum muslimin. Termasuk kufur syakk(ragu-ragu). Akan tetapi orang tersebut adalah bodoh. Ia melakukannya karena takut akan siksa Allah dan ia adalah seorang yang beriman kepada-Nya. Disebabkan iman dan rasa takutnya tersebut, maka ia diampuni.

Di sini menunjukkan bahwa tidak setiap perkataan dan keyakinan kufur otomatis menyebabkan pelakunya kafir.

Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata :

وليس كل من خالف في شيء من هذا الاعتقاد يجب أن يكون هالكًا، فإن المنازع قد يكون مجتهدًا مخطئًا يغفر الله خطأه، وقد لا يكون بلغه في ذلك من العلم ما تقوم به عليه الحجة، وقد يكون له من الحسنات ما يمحو الله به سيئاته…….

“Dan tidaklah setiap orang yang menyelisihi perkara i’tiqad ini harus binasa. Karena orang yang menyelisihi tersebut bisa jadi seorang mujtahid yang keliru dimana Allah akan mengampuni kekeliruannya itu, atau bisa jadi tidak sampai kepadanya ilmu sehingga dapat tegak padanya hujjah, atau bisa jadi ia mempunyai kebaikan-kebaikan yang dengannya Allah akan menghapus kesalahan-kesalahannya…” [Mamuu’ Al-Fataawaa, 3/179].

Kelima : Memberi ‘udzur dalam permasalahan-permasalahan rumit dan tersembunyi lebih utama dan lebih ditekankan daripada memberi ‘udzur dari perkara selainnya (yang lebih gamblang).
Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata :

ولا ريب أن الخطأ في دقيق العلم مغفور للأمة وإن كان ذلك في المسائل العلمية ولولا ذلك لهلك أكثر فضلاء الأمة‏.وإذا كان الله يغفر لمن جهل تحريم الخمر لكونه نشأ بأرض جهل، مع كونه لم يطلب العلم فالفاضل المجتهد في طلب العلم بحسب ما أدركه في زمانه ومكانه إذا كان مقصوده متابعة الرسول بحسب إمكانه هو أحق بأن يتقبل الله حسناته ويثيبه على اجتهاداته ولا يؤاخذه بما أخطأ تحقيقا لقوله {رَبّنَا لاَ تُؤَاخِذْنَا إِن نّسِينَآ أَوْ أَخْطَأْنَا}

“Tidak diragukan lagi bahwa kesalahan dalam permasalahan yang rumit akan diampuni bagi umat ini, walaupun itu termasuk masalah yang bersifat ilmiah. Seandainya tidak begitu maka akan binasalah kebanyakan orang-orang mulia (ulama) dari kalangan umat ini. Apabila Allah mengampuni orang bodoh tentang keharaman khamr, karena dia hidup di lingkungan kebodohan dan dia tidak mencari ilmu, maka seorang yang mulia yang bersungguh-sungguh dalam mencari ilmu sesuai dengan apa yang ia dapati jamannya dan di tempatnya – jika ia bermaksud mengikuti Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam sesuai dengan kemampuannya – maka ia lebih berhak untuk diterima di sisi Allah dan diberi pahala ijtihad serta tidak diberi sanksi atas kesalahannya. Sebagaimana firman-Nya : ‘Wahai Tuhanku, janganlah Engkau siksa kami jika kami lupa atau bersalah’ (QS. Al-Baqarah : 286)” [Majmu’ Al-Fataawaa, 20/165-166].

Keenam : Memberikan ‘udzur pada satu jaman dan tempat yang telah didominasi oleh kebodohan dan sedikitnya ilmu lebih utama dan lebih ditekankan dibandingkan memberikan‘udzur di jaman dan tempat dimana banyak ulama dan ilmu sudah menyebar.

Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata :

وكثير من الناس قد ينشأ في الأمكنة والأزمنة الذي يندرس فيها كثير من علوم النبوات، حتى لا يبقى من يبلغ ما بعث الله به رسوله من الكتاب والحكمة، فلا يعلم كثيرًا مما يبعث الله به رسوله ولا يكون هناك من يبلغه ذلك، ومثل هذا لا يكفر، ولهذا اتفق الأئمة على أن من نشأ ببادية بعيدة عن أهل العلم والإيمان، وكان حديث العهد بالإسلام، فأنكر شيئًا من هذه الأحكام الظاهرة المتواترة فإنه لا يحكم بكفره حتى يعرف ما جاء به الرسول،

“Banyak diantara manusia yang hidup di tempat dan jaman yang telah banyak terhapusnya ilmu-ilmu kenabian, hingga tidak tersisa lagi orang yang menyampaikan apa-apa yang oleh karenanya Allah mengutus Rasul-Nya berupa Al-Qur’an dan Al-Hikmah (As-Sunnah). Sehingga banyak yang tidak mengetahui apa-apa yang menyebabkan Allah mengutus Rasul-Nya (berupa Al-Qur’an dan As-Sunnah) dan tidak ada yang menyampaikan hal tersebut. Hal yang seperti ini tidak menjadikan dia kafir. Oleh karena itu para imam telah sepakat bahwa barangsiapa yang hidup di tempat terpencil yang jauh dari ahli ilmu dan iman, atau dia baru masuk Islam, kemudian ia mengingkari sesuatu dari hukum-hukum yang telah jelas mutawatir; maka ia tidak dihukumi kafir sampai ia mengetahui (dan memahami) apa-apa yang dibawa oleh Rasul shallallaahu ‘alaihi wa sallam (berupa ilmu Al-Qur’an dan As-Sunnah)” [Majmuu’ Al-Fataawaa, 11/407].

وهؤلاء الأجناس، وإن كانوا قد كثروا في هذا الزمان، فلقلة دعاة العلم والإيمان، وفتور آثار الرسالة في أكثر البلدان، وأكثر هؤلاء ليس عندهم من آثار الرسالة وميراث النبوة ما يعرفون به الهدى، وكثير منهم لم يبلغهم ذلك‏.‏ وفي أوقات الفترات، وأمكنة الفترات‏:‏ يثاب الرجل على ما معه من الإيمان القليل، ويغفر اللّه فيه لمن لم تقم الحجة عليه ما لا يغفر به لمن قامت الحجة عليه، كما في الحديث المعروف‏:‏ ‏(‏ يأتي على الناس زمان لا يعرفون فيه صلاة، ولا صيامًا، ولا حجًا، ولا عمرة، إلا الشيخ الكبير، والعجوز الكبيرة‏.‏ ويقولون‏:‏ أدركنا آباءنا وهم يقولون‏:‏ لا إله إلا الله فقيل لحذيفة بن اليمان‏:‏ ما تغني عنهم لا إله إلا اللّه‏؟‏ فقال‏:‏ تنجيهم من النار‏)‏ ‏.‏

“Orang-orang yang seperti ini telah menjadi mayoritas pada jaman sekarang. Pada saat itu terdapat sedikit da’i yang menyeru kepada ilmu dan iman, tenggelamnya peninggalan risalah kenabian di kebanyakan negeri, dimana kebanyakan dari mereka tidak memiliki warisan kenabian yang yang bisa mengenalkan mereka kepada petunjuk, serta mayoritas dari mereka tidak sampai kepadanya hal ini. Pada waktu dan tempat fatrah (kekosongan penyampaian risalah), seseorang diberi pahala atas keimanannya yang sedikit dan Allah mengampuni bagi yang belum tegak kepadanya hujah yang tentu berbeda keadaannya dengan orang yang telah sampai kepadanya hujjah. Hal adalah sesuai dengan hadits :"Akan datang kepada manusia satu jaman yang mana mereka tidak mengenal apa itu shalat, apa itu puasa, apa itu haji, dan apa itu ‘umrah. Kecuali orang yang telah sangat tua diantara mereka mengatakan : ‘Kami mendapatkan bapak-bapak kami mengatakan Laa ilaaha illallaah’. Maka dikatakan kepada Hudzaifah : Apa manfaat Laa ilaaha illallaah ?. Hudzaifah berkata : (Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam menjawab :) "Kalimat tersebut akan menyelamatkan mereka dari api neraka"  [Majmu’ Al-Fatawa, 35/165].

Ketujuh : Memberikan ‘udzur kepada orang yang tidak mampu mendapatkan ilmu, lebih utama dan lebih ditekankan daripada orang yang mampu untuk mendapatkannya.

Allah ta’ala berfirman :

إِنّ الّذِينَ تَوَفّاهُمُ الْمَلآئِكَةُ ظَالِمِيَ أَنْفُسِهِمْ قَالُواْ فِيمَ كُنتُمْ قَالُواْ كُنّا مُسْتَضْعَفِينَ فِي الأرْضِ قَالْوَاْ أَلَمْ تَكُنْ أَرْضُ اللّهِ وَاسِعَةً فَتُهَاجِرُواْ فِيهَا فَأُوْلَـَئِكَ مَأْوَاهُمْ جَهَنّمُ وَسَآءَتْ مَصِيراً *  إِلاّ الْمُسْتَضْعَفِينَ مِنَ الرّجَالِ وَالنّسَآءِ وَالْوِلْدَانِ لاَ يَسْتَطِيعُونَ حِيلَةً وَلاَ يَهْتَدُونَ سَبِيلاً *  فَأُوْلَـَئِكَ عَسَى اللّهُ أَن يَعْفُوَ عَنْهُمْ وَكَانَ اللّهُ عَفُوّاً غَفُوراً

"Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan malaikat dalam keadaan menganiaya diri sendiri, (kepada mereka) malaikat bertanya : "Dalam keadaan bagaimana kamu ini?."Mereka menjawab: "Adalah kami orang-orang yang tertindas di negeri (Mekah)." Para malaikat berkata: "Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah di bumi itu?." Orang-orang itu tempatnya neraka Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali, kecuali mereka yang tertindas baik laki-laki atau wanita ataupun anak-anak yang tidak mampu berdaya upaya dan tidak mengetahui jalan (untuk hijrah). Mereka itu, mudah-mudahan Allah memaafkannya. Dan adalah Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun” [QS. An-Nisaa’ : 97-99].

Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata :

وإذا تبين هذا، فمن ترك بعض الإيمان الواجب لعجزه عنه، إما لعدم تمكنه من العلم، مثل ألا تبلغه الرسالة، أو لعدم تمكنه من العمل ـ لم يكن مأمورًا بما يعجز عنه، ولم يكن ذلك من الإيمان والدين الواجب في حقه، وإن كان من الدين والإيمان الواجب في الأصل، بمنزلة صلاة المريض، والخائف، والمستحاضة، وسائر أهل الأعذار، الذين يعجزون عن إتمام الصلاة، فإن صلاتهم صحيحة بحسب ما قدروا عليه، وبه أمروا إذ ذاك، وإن كانت صلاة القادر على الإتمام أكمل وأفضل

"Apabila hal ini telah jelas, maka barangsiapa yang meninggalkan sebagian keimanan yang wajib karena ketidakmampuannya, apakah karena tidak mampu untuk mendapatkan pengetahuan seperti tidak sampainya risalah kenabian, atau tidak mampu untuk mengamalkannya ; maka ia tidak diperintahkan dengan apa-apa yang dia tidak mampu. Dan hal ini tidak termasuk keimanan dan dien yang wajib pada dirinya, walaupun pada asalnya hal itu termasuk dien dan keimanan yang wajib seperti shalatnya orang yang sakit, shalatnya orang yang takut, shalatnya mustahadlah (wanita yang terus menerus mengeluarkan darah selain hari-hari haidlnya – akibat penyakit/sakit), dan selain mereka dari orang-orang yang mendapatkan ‘udzur yang tidak mampu untuk menyempurnakan shalat. Shalatnya tetap sah sesuai dengan kemampuannya. Dan dengan itulah mereka diperintahkan pada waktu itu, walaupun shalatnya orang yang mampu untuk menyempurnakan lebih sempurna dan afdlal" [Majmuu’ Al-Fataawaa, 12/478-479].




Semoga bermanfaat. Amiin. ABu Hasan.

Tidak ada komentar :

Posting Komentar