*ITTIBA' SUNNAH*
🎈 Disebutkan dalam riwayat:
عَنْ عُبَيْدِ بْنِ عُمَيْرٍ، أَنَّ ابْنَ عُمَرَ كَانَ يُزَاحِمُ عَلَى الرُّكْنَيْنِ زِحَامًا مَا رَأَيْتُ أَحَدًا مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ ﷺ يَفْعَلُهُ. فَقُلْتُ: يَا أَبَا عَبْدِ الرَّحْمَنِ إِنَّكَ تُزَاحِمُ عَلَى الرُّكْنَيْنِ زِحَامًا مَا رَأَيْتُ أَحَدًا مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ ﷺ يُزَاحِمُ عَلَيْهِ، فَقَالَ: إِنْ أَفْعَلْ، فَإِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ يَقُولُ: " إِنَّ مَسْحَهُمَا كَفَّارَةٌ لِلْخَطَايَا "، وَسَمِعْتُهُ يَقُولُ: " مَنْ طَافَ بِهَذَا الْبَيْتِ أُسْبُوعًا فَأَحْصَاهُ، كَانَ كَعِتْقِ رَقَبَةٍ "، وَسَمِعْتُهُ يَقُولُ: لَا يَضَعُ قَدَمًا وَلَا يَرْفَعُ أُخْرَى إِلَّا حَطَّ اللَّهُ عَنْهُ خَطِيئَةً، وَكَتَبَ لَهُ بِهَا حَسَنَةً
Dari ‘Ubaid bin ‘Umair : Bahwasannya Ibnu ‘Umar berdesak-desakan untuk mencapai dua rukun (Hajar Aswad dan Rukun Yamani), sesuatu yang tidak aku lihat seorang sahabat Nabi ﷺ pun melakukannya (seperti dirinya). Aku katakan : “Wahai Abu ‘Abdirrahmaan, sesungguhnya engkau rela berdesak-desakan untuk mencapai dua rukun. Aku tidak melihat seorang sahabat Nabi ﷺ pun berdesak-desakan untuk mencapainya (seperti dirimu)”. Maka ia (Ibnu ‘Umar) berkata : “Jika itu aku lakukan, maka aku tidak dicela karena aku mendengar Rasulullah ﷺ bersabda : ‘Sesungguhnya mengusap keduanya dapat menjadi penghapus dosa-dosa’. Aku juga mendengar beliau ﷺ bersabda : ‘Barangsiapa yang melakukan thawaf di Ka’bah sebanyak tujuh kali dan menyempurnakannya, nilainya seperti membebaskan budak’. Dan akupun mendengar beliau ﷺ bersabda : ‘Tidaklah seseorang melangkahkan kakinya (untuk melaksanakan thawaf), melainkan Allah ﷻ akan hapus dosanya dan akan ditulis baginya kebaikan” [Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy no. 959; Shahiih Sunan At-Tirmidziy 1/491].
🎈 ‘Abdullah bin ‘Umar _radliyallaahu ‘anhu_ termasuk diantara sahabat yang paling bersemangat dalam meniru serta mencontoh Nabi ﷺ. Bahkan ia sangat semangat mengikuti beliau ﷺ pada hal-hal yang mubah sekalipun, meski tidak wajib dilakukan, seperti misalnya ia (Ibnu ‘Umar) istirahat di bawah pohon yang terletak antara Makkah dan Madinah hanya karena beliau ﷺ pernah melakukannya. Ia juga pernah menyimpang jalan tidak melewati satu tempat, sebabnya adalah semata-mata hanya karena melihat Nabi ﷺ pernah melakukannya.
🎈 Apalagi pada hal-hal yang disyari’atkan yang padanya ada keutamaan dari sudut pandang syariat (agama), Ibnu ‘Umar tentu lebih bersemangat lagi – sebagaimana hadits di atas. Ibnu ‘Umar rela dirinya berdesak-desakan karena bersemangat melakukan sunnah yang diajarkan Nabinya ﷺ dalam mengusap Ka'bah pada Rukun Yamaniy dan Hajar Aswad. Bahkan dalam satu riwayat, hingga hidungnya berdarah !
أَخْبَرَنَا ابْنُ عُيَيْنَةَ، عَنْ طَلْحَةَ بْنِ إِسْحَاقَ بْنِ طَلْحَةَ، قَالَ: سَأَلْتُ الْقَاسِمَ بْنَ مُحَمَّدٍ، عَنِ الزِّحَامِ عَلَى الرُّكْنِ، فَقَالَ: زَاحِمْ يَا ابْنَ أَخِي فَقَدْ رَأَيْتُ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ يُزَاحِمُ حَتَّى يَدْمَى أَنْفُهُ
Telah mengkhabarkan kepada kami Ibnu ‘Uyainah, dari Thalhah bin Ishaaq bin Thalhah, ia berkata : Aku pernah bertanya kepada Al-Qasim bin Muhammad tentang berdesak-desakan untuk mencapai rukun. Maka ia menjawab : “Berdesak-desakanlah wahai anak saudaraku. Sungguh aku melihat ‘Abdullah bin ‘Umar berdesak-desakan (untuk mencapai rukun) hingga hidungnya berdarah” [Diriwayatkan oleh ‘Abdurrazzaaq no. 8907, sanadnya hasan].
🎈 [Penyebutan Thalhah bin Ishaq di sini keliru, karena yang benar Thalhah bin Yahya bin Thalhah - syaikh Ibnu ‘Uyainah - sebagaimana diriwayatkan Al-Faakihiy dalam Akhbar Makkah, Al-Azraqiy dalam Akhbar Makkah, dan Abu Nu’aim dalam Al-Mustakhraj].
🎈 Padahal kondisi masjidil haram yang selalu penuh sesak pada musim² tertentu seperti bulan Ramadhan atau musim hajji, bahkan di setiap waktu tidak ada istilah sepi, dipenuhi jutaan manusia yang tidak memungkinkan /susah bagi kita untuk mencapainya, merupakan udzur yang membolehkan kita ber-isyarat kepadanya dengan tangan.
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا، قال: طَافَ النَّبِيُّ ﷺ بالبيت عَلَى بَعِيرٍ، كُلَّمَا أَتَى عَلَى الرُّكْنِ أَشَارَ إِلَيْهِ
Dari Ibnu ‘Abbaas _radliyallahu ‘anhuma_ ia berkata : “Nabi ﷺ thawaf di Ka’bah dengan menunggangi ontanya. Setiap kali melewati rukun (Hajar Aswad), beliau berisyarat kepadanya” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 1612].
🎈 Apa yang dicintai untuk dirinya, Ibnu ‘Umar _radliyallaahu ‘anhuma_ , beliau adalah adik ipar nabi memberikan nasihat serupa kepada orang lain. Ada riwayat menarik sebagai berikut:
عَنْ الزُّبَيْرِ بْنِ عَرَبِيٍّ، قال: سَأَلَ رَجُلٌ ابْنَ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا عَنِ اسْتِلَامِ الْحَجَرِ، فَقَالَ: رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ يَسْتَلِمُهُ وَيُقَبِّلُهُ، قَالَ: قُلْتُ: أَرَأَيْتَ إِنْ زُحِمْتُ، أَرَأَيْتَ إِنْ غُلِبْتُ، قَالَ: اجْعَلْ أَرَأَيْتَ بِالْيَمَنِ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ يَسْتَلِمُهُ وَيُقَبِّلُهُ
Dari Az-Zubair bin ‘Arabiy, ia berkata : Ada seorang laki-laki bertanya kepada Ibnu ‘Umar _radliyallahu ‘anhuma_ tentang menyentuh Hajar Aswad. Maka Ibnu ‘Umar menjawab : “Aku melihat Rasulullah ﷺ menyentuhnya dan juga menciumnya”. Aku berkata : “Bagaimana pendapatmu jika kondisinya berdesak-desakan dan aku susah untuk mencapainya?”. Ibnu ‘Umar berkata : “Tinggalkan perkataanmu ‘bagaimana pendapatmu’ ke Yaman. Aku melihat Rasulullah ﷺ menyentuhnya dan menciumnya” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 1611].
🎈 Perkataan Ibnu ‘Umar *‘ij’al ara-aita bil-Yaman’* diucapkan karena ia memahami orang itu hanyalah sekedar menolak hadits dengan (pengandaian) pendapat/ pikirannya. Ibnu ‘Umar lalu mengingkarinya dan memerintahkan kepada orang tersebut apabila mendengar hadits hendaknya ia ambil dan ia tinggalkan pendapatnya [lihat : Fathul-Baariy, 3/476]. Atau, perkataan Ibnu ‘Umar _radliyallahu ‘anhuma_ tersebut maksudnya dorongan agar tidak merasa lemah atau sulit pada sesuatu yang belum terjadi /dilakukan; karena semua itu hanya akan melemahkan tekad dalam ittbaa’ (mengikuti sunnah Nabi ﷺ) [Al-Waafiy fii Syarh Al-Arba’iin An-Nawawiyyah, hal. 72].
*KISAH IBNU UMAR DALAM ITTIBA'*
عَنْ نَافِعٍ، عَنِ ابْنِ عُمَر ، أَنَّهُ كَانَ يَأْتِي شَجَرَةً بَيْنَ مَكَّةَ وَالْمَدِينَةِ، فَيَقِيلُ تَحْتَهَا، وَيُخْبِرُ أَنَّ النَّبِيَّ ﷺ كَانَ يَفْعَلُ ذَلِكَ.
Dari Naafi’, dari Ibnu ‘Umar : Bahwasannya ia menghampiri sebuah pohon antara Makkah dan Madiinah, kemudian ia berbaring istirahat di bawahnya. Lalu ia mengkhabarkan bahwa Nabi ﷺ dulu pernah melakukannya [Diriwayatkan oleh Al-Bazzaar dalam Kasyful-Astaar no. 129 dan Al-Bahr no. 5908; sanadnya hasan].
🎈 Riwayat lainnya adalah:
عَنْ مُجَاهِدٍ، قَالَ: كُنَّا مَعَ ابْنِ عُمَرَ فِي سَفَرٍ، فَمَرَّ بِمَكَانٍ، فَحَادَ عَنْهُ، فَسُئِلَ لِمَ فَعَلْتَ؟ فَقَالَ: رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ فَعَلَ هَذَا، فَفَعَلْتُ
Dari Mujaahid, dari Ibnu ‘Umar; ia (Mujaahid) berkata : “Kami pernah bersama Ibnu ‘Umar dalam safar. Lalu kami melintasi sebuah tempat, dan kemudian ia menghindar/menyimpang darinya. Ditanyakan kepadanya : “Mengapa engkau melakukannya ?”. Ia menjawab : “(Karena) aku melihat Rasulullah ﷺ melakukanya, sehingga aku melakukannya juga” [Diriwayatkan oleh Ahmad 2/32; shahih].
🎈 Seandainya kita belum bisa seperti Ibnu ‘Umar – dan bahkan mungkin tidak akan bisa seperti dirinya –, kita dapat meneladani spirit/ semangatnya dalam mengamalkan sunnah Rasulullah ﷺ.
Dan begitulah kondisi umum para shahabat Nabi ﷺ yang lain. Mereka senantiasa berusaha berlomba-lomba dalam melaksanakan sunnah Nabi ﷺ. Contoh:
1. Berlomba-lomba dalam bershadaqah
عَنْ أَسْلَمَ، قَال: سَمِعْتُ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ يَقُولُ: أَمَرَنَا رَسُولُ اللَّهِ ﷺ أَنْ نَتَصَدَّقَ فَوَافَقَ ذَلِكَ عِنْدِي مَالًا، فَقُلْتُ: الْيَوْمَ أَسْبِقُ أَبَا بَكْرٍ إِنْ سَبَقْتُهُ يَوْمًا، قَالَ: فَجِئْتُ بِنِصْفِ مَالِي، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: " مَا أَبْقَيْتَ لِأَهْلِكَ؟ "، قُلْتُ: مِثْلَهُ، وَأَتَى أَبُو بَكْرٍ بِكُلِّ مَا عِنْدَهُ، فَقَالَ: " يَا أَبَا بَكْرٍ مَا أَبْقَيْتَ لِأَهْلِكَ؟ "، قَالَ: أَبْقَيْتُ لَهُمُ اللَّهَ وَرَسُولَهُ، قُلْتُ: وَاللَّهِ لَا أَسْبِقُهُ إِلَى شَيْءٍ أَبَدًا
Dari Aslam, ia berkata : Aku mendengar ‘Umar bin Al-Khaththaab berkata : “Rasulullah ﷺmemerintahkan kepada kami untuk bersedekah. Ternyata bertepatan aku memiliki harta (untuk dishadaqahkan). Aku berkata : ‘Hari ini aku akan mengalahkan Abu Bakr jika aku mendahuluinya hari ini’. Maka aku pun pergi dengan membawa setengah hartaku. Rasulullah ﷺ bersabda : ‘Apa yang kamu sisakan untuk keluargamu?’. Aku jawab : ‘Sebanyak yang aku shadaqahkan ini’. Datanglah Abu Bakr dengan semua harta yang dimilikinya. Beliau ﷺ bersabda : ‘Wahai Abu Bakar, apa yang kamu sisakan untuk keluargamu?’. Ia menjawab : ‘Aku sisakan untuk mereka Allah dan Rasul-Nya.’ Demi Allah, aku tidak akan mampu mendahuluinya (Abu Bakr) dalam apapun selamanya” [Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy no. 3675, dan ia berkata : “Ini adalah hadits hasan shahih”].
🎈 Hal yang sama dengan para sahabiyyat radliyallaahu ‘anhunn. Saat dinasihati Rasulullah ﷺ agar bershadaqah (karena beliau ﷺ melihat kebanyakan penduduk neraka adalah kaum wanita), maka mereka berlomba-lomba memberikan perhiasan yang kebetulan mereka kenakan.
قَالَ: َجَعَلْنَ يَتَصَدَّقْنَ مِنْ حُلِيِّهِنَّ، يُلْقِينَ فِي ثَوْبِ بِلَالٍ مِنْ أَقْرِطَتِهِنَّ وَخَوَاتِمِهِنَّ
Jaabir berkata : “Maka mereka dengan segera bershadaqah dengan perhiasan mereka, dengan melemparkan ke kain Bilal, berupa anting-anting dan cincin mereka” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 885].
🎈 Sungguh kontras dengan kondisi sebagian umat yang rakus harta, dimana mereka malah berlomba-lomba dalam menahannya.
2. Berlomba-lomba dalam meluruskan dan merapatkan shaff tanpa membiarkan ada celah.
عَنْ أَنَسٍ، أَنّ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ بَعْدَ أَنْ أُقِيمَتِ الصَّلاةُ قَبْلَ أَنْ يُكَبِّرَ أَقْبَلَ بِوَجْهِهِ عَلَى الصَّحَابَةِ، فَقَالَ: " سَوُّوا صُفُوفَكُمْ ؛ فَإِنِّي أَرَاكُمْ مِنْ وَرَاءِ ظَهْرِي ". فَلَقَدْ يَتَبَارَى الرَّجُلُ بِلَزْقِ مَنْكِبِهِ بِمَنْكِبِ صَاحِبِهِ إِذَا قَامَ فِي الصَّلاةِ.
Dari Anas : Bahwasannya setelah iqamat dikumandangkan, sebelum bertakbir (memulai shalat) Rasulullah ﷺ menghadap para shahabat (makmum), lalu bersabda : “Luruskan shaff-shaff kalian, karena sesungguhnya aku melihat kalian dari balik punggungku”. Dan sungguh, (setelah mendengarnya) seorang laki-laki berlomba-lomba menempelkan pundaknya ke pundak temannya apabila berdiri dalam shalat berjama’ah [Diriwayatkan oleh Ibnu Basyraan dalam Al-Amaaliy no. 40; shahih].
🎈 Berbeda dengan kondisi sebagian orang zaman sekarang. Ketika ada yang masih lowong di shaff pertama, orang-orang yang ada di shaff kedua bukannya berlomba-lomba untuk menempatinya, namun malah ‘saling mempersilahkan’ orang lain untuk menempatinya. Sebagian lain, ada yang penuh keluh kesah jika ada yang agak dekat dengannya karena merasa terganggu karenanya. Ada juga malah mundur biar longgar. Muncul kemudian ungkapan dari sebagian orang bodoh : “Salam tempel’ – kepada orang yang hendak mendekatkan bahu karena hendak mengamalkan apa yang diamalkan para sahabat saat bermakmum di belakang Nabi ﷺ.
3. Berlomba-lomba mencari sutrah shalat.
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ، قَالَ: " لَقَدْ رَأَيْتُ كِبَارَ أَصْحَابِ النَّبِيِّ ﷺ يَبْتَدِرُونَ السَّوَارِيَ عِنْدَ الْمَغْرِبِ "
Dari Anas bin Maalik : “Sungguh aku melihat para pembesar shahabat Nabi ﷺ saling berlomba untuk mendapatkan tiang masjid (sebagai sutrah) ketika waktu maghrib (untuk melaksanakan shalat sunnah dua raka’at sebelum maghrib – Abul-Jauzaa’)” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 503].
4. Berlomba-lomba dalam membebaskan budak.
Ketika Rasulullah ﷺ menikahi Juwairiyyah radliyallaahu ‘anhaa, maka para shahabat saling berlomba dalam memerdekakan tawanan wanita dari kaumnya, yaitu Bani Musthaliq. Dengan pernikahan tersebut, Bani Musthaliq menjadi besan Rasulullah ﷺ.
أُعْتِقَ فِي سَبَبِهَا مِائَةُ أَهْلِ بَيْتٍ مِنْ بَنِي الْمُصْطَلِقِ
“Telah dibebaskan seratus orang tawanan keluarga Bani Al-Mushthaliq dengan sebab dirinya” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 3931; dihasankan oleh Al-Albaaniy dalam Shahih Sunan Abi Daawud, 2/480-481].
5. Dan lain-lain.
- Zaman dahulu kalau rosulullah memerintahkan agar tidak meninggikan kuburan, tidak membangun kuburan, orang² sekarang (bahkan ada yang 'kya i', malah membangun kuburan megah². Dikasih ornamen indah, dipasangi lampu, dikeramik, diberi kubah, beribadah di situ. Kontrasssss 180 derajat.
- Zaman dahulu nabi Sulaiman ketinggalan satu kali sholat ashar beliau langsung ganti dengan berkorban ribuan kudanya.
- Umar bin khotob juga. Gara² ketinggalan sholat ashar berjamaah sekali saja menginfakkan separo kebunnya. KALAU zaman now justru aneh. Ada orang sudah bergelar "ustadz", 'kyai' (oknum, tidak semua kyai), jarang² sholat berjama'ah. He...he... terlalu jauh bosss.
- Dahulu, orang desa dari dusun Baduwi, jalan kaki berhari² ke Madinah untuk bertanya mengenai ilmu agama ataupun amalan. Begitu dapat beberapa potong nasehat dari Rosulullah langsung di amalkan. Tidak pernah menyia²kan. Namun sekarang.... : ada yang mondok di pesantren bertahun² tidak diamalkan ilmunya; tidak sholat jama'ah di masjid, tidak mengamalkan sunnah, istri dan anak putrinya yang dewasa tidak berjilbab. Tapi ngajar tafsir dan hadits. Salaman dan pelukan sama wanita ajnabi. Laki² pakai kalung emas.
🎈 Hanya kepada Allah kita memohon taufiq agr mampu mengamalkan sunnah. Hendaknya kita berlomba-lomba dalam mengikuti sunnah. Seandainya kita belum melakukannya, jangan berusaha untuk menggembosinya, menurunkan semangat orang yang melakukannya. Dan seandainya hukum suatu amalan ada dua pendapat yang beredar padanya, yaitu wajib dan tidak wajib atau sunnah (mustahab) dan bukan sunnah; ketika kita mengatakan tidak wajib atau bukan sunnah dan kemudian tidak melakukannya, maka sangat tidak layak kita mengajak orang lain tidak melakukan amalan tersebut seperti kita. Tidak wajib atau tidak sunnah, bukan berarti harus meninggalkan amalan. Apalagi orang yang mendasari amalannya tersebut dengan niat untuk ittbaa’ pada Nabi ﷺ, bukan amalan bid’ah. Justru kita perlu mendorong mereka untuk mengerjakannya.
🎈 Disyari’atkan untuk mencium atau mengusap Hajar Aswad. Adapun Rukun Yamaniy, tidak disyari’atkan untuk menciumnya, namun hanya mengusapnya saja.
Asy-Syaikh Al-Albaaniy rahimahulah berkata:
ويستلم الركن اليماني بيده في كل طوافة ، ولا يقبله ، فإن لم يتمكن من استلامه لم تشرع الإشارة إليه بيده
“Dan (disyari’atkan) mengusap Rukun Yamaniy dengan tangan untuk setiap kali thawaf tanpa menciumnya. Apabila tidak memungkinkan untuk mengusapnya, maka tidak disyari’atkan berisyarat tangan kepadanya” [Manaasikul-Hajj wal-‘Umrah, hal. 22].
🎈 Al-Haafidh rahimahullah menjelaskan bahwa perkataan itu diucapkan Ibnu ‘Umar karena orang yang bertanya kepadanya adalah seorang Yamaniy (penduduk negeri Yaman).
(Fathul-Baariy oleh Ibnu Rajab, 4/240 – via Syaamilah)
*SEMANGAT MENCINTAI SUNNAH NABI*
🎈 Seorang muslim yang mengaku mencintai Rasulullah _shallallahu ‘alaihi wa sallam_ , semestinya dia selalu berusaha untuk meneladani sunnah beliau [] dalam kehidupannya, terlebih lagi jika dia mengaku sebagai ahlus sunnah. Karena konsekwensi utama seorang yang mengaku mencintai beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah selalu berusaha mengikuti semua petunjuk dan perbuatan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah Ta’ala berfirman,
{قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّوْنَ اللهَ فاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللهُ ويَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوْبَكُمْ، وَاللهُ غَفُوْرٌ رَحِيْمٌ}
“Katakanlah: Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, maka ikutilah (sunnah/petunjuk)ku, niscaya Allah mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu, Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (QS Ali ‘Imran:31).
🎈 Imam Ibnu Katsir, ketika menafsirkan ayat ini berkata, “Ayat yang mulia ini merupakan hakim (pemutus perkara) bagi setiap orang yang mengaku mencintai Allah, akan tetapi dia tidak mengikuti jalan (sunnah) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka dia adalah orang yang berdusta dalam pengakuan tersebut dalam masalah ini, sampai dia mau mengikuti syariat dan agama (yang dibawa oleh) Nabi Muhammad _shallallahu ‘alaihi wa sallam_ dalam semua ucapan, perbuatan dan keadaannya”[1].
🎈 Imam al-Qadhi ‘Iyadh al-Yahshubi berkata, “Ketahuilah bahwa barangsiapa yang mencintai sesuatu, maka dia akan mengutamakannya dan berusaha meneladaninya. Kalau tidak demikian, maka berarti dia tidak dianggap benar dalam kecintaanya dan hanya mengaku-aku (tanpa bukti nyata). Maka orang yang benar dalam (pengakuan) mencintai Rasulullah [] adalah jika terlihat tanda (bukti) kecintaan tersebut pada dirinya. Tanda (bukti) cinta kepada Rasulullah [] yang utama adalah (dengan) meneladani beliau [], mengamalkan sunnahnya, mengikuti semua ucapan dan perbuatannya, melaksanakan segala perintah dan menjauhi larangannya, serta menghiasi diri dengan adab-adab (etika) yang beliau (contohkan), dalam keadaan susah maupun senang dan lapang maupun sempit” [2].
🎈 Kedudukan dan Keutamaan Sunnah Rasulullah dalam Islam
Sunnah Rasulullah _shallallahu ‘alaihi wa sallam,_ yang berarti segala sesuatu yang bersumber dari Rasulullah, baik ucapan, perbuatan maupun penetapannya. [3], memiliki kedudukan yang sangat agung dalam Islam, karena Allah Ta’ala sendiri yang memuji semua perbuatan dan tingkah laku Rasulullah [], dalam firman-Nya,
{وَإِنَّكَ لَعَلى خُلُقٍ عَظِيمٍ}
“Dan sesungguhnya kamu benar-benar memiliki akhlak/tingkah laku yang agung” (QS al-Qalam:4).
🎈 Ayat yang mulia ini ditafsirkan langsung oleh istri nabi, ummul mu’minin ‘Aisyah _radhiyallahu ‘anha,_ ketika beliau ditanya tentang ahlak (tingkah laku) Rasulullah, beliau menjawab, “Sungguh akhlak Rasulullah [] adalah al-Qur’an“[4].
🎈 Ini berarti bahwa Rasulullah r adalah orang yang paling sempurna dalam memahami dan mengamalkan isi al-Qur’an, menegakkan hukum-hukumnya dan menghiasi diri dengan adab-adabnya. [5].
🎈 Demikian pula dalam firman-Nya Ta’ala,
{لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا}
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (balasan kebaikan pada) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah” (QS al-Ahzaab:21).
🎈 Ayat yang mulia ini menunjukkan kemuliaan dan keutamaan besar mengikuti sunnah _Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam_ , karena Allah Ta’ala sendiri yang menamakan semua perbuatan Rasulullah sebagai “teladan yang baik”, yang ini menunjukkan bahwa orang yang meneladani sunnah Rasulullah berarti dia telah menempuh ash-shirathal mustaqim (jalan yang lurus) yang akan membawanya mendapatkan kemuliaan dan rahmat Allah Ta’ala. [6].
🎈 Ketika menafsirkan ayat ini, imam Ibnu Katsir berkata, “Ayat yang mulia ini merupakan landasan yang agung dalam meneladani Rasulullah _shallallahu ‘alaihi wa sallam_ dalam semua ucapan, perbuatan dan keadaan beliau []. “[7].
🎈 Kemudian firman Allah Ta’ala di akhir ayat ini mengisyaratkan satu faidah yang penting untuk direnungkan, yaitu keterikatan antara meneladani sunnah dengan kesempurnaan iman kepada Allah dan hari akhir, yang ini berarti bahwa semangat dan kesungguhan seorang muslim untuk meneladani sunnah nabi merupakan pertanda kesempurnaan imannya.
🎈 Syaikh Abdurrahman as-Sa’di ketika menjelaskan makna ayat di atas berkata, “Teladan yang baik (pada diri Rasulullah) ini, yang akan mendapatkan taufik (dari Allah Ta’ala) untuk mengikutinya hanyalah orang-orang yang mengharapkan (rahmat) Allah dan (balasan kebaikan) di hari akhir. Karena (kesempurnaan) iman, ketakutan pada Allah, serta pengharapan balasan kebaikan dan ketakutan akan siksaan Allah, inilah yang memotivasi seseorang untuk meneladani (sunnah) Rasulullah [].“[8].
🎈 Karena agung dan mulianya kedudukan sunnah inilah, sehingga beliau memberikan anjuran khusus bagi orang yang selalu berusaha mengamalkan sunnah, terlebih lagi sunnah yang telah ditinggalkan kebanyakan orang,
((من أحيا سنة من سنتي فعمل بها الناس، كان له مثل أجر من عمل بها، لا ينقص من أجورهم شيئاً))
“Barangsiapa yang menghidupkan satu sunnah dari sunnah-sunnahku, kemudian diamalkan oleh manusia, maka dia akan mendapatkan (pahala) seperti pahala orang-orang yang mengamalkannya, dengan tidak mengurangi pahala mereka sedikit pun“ [9].
🎈 Hadits yang agung ini menunjukkan keutamaan besar bagi orang yang menghidupkan sunnah Rasulullah _shallallahu ‘alaihi wa sallam_ , terlebih lagi sunnah yang telah ditinggalkan kebanyakan orang. Oleh karena itu, imam Ibnu Majah mencantumkan hadits ini dalam kitab “Sunan Ibn Majah” pada bab: (keutamaan) orang yang menghidupkan sunnah Rasulullah yang telah ditinggalkan (manusia)" [10].
🎈 Bahkan para ulama menjelaskan bahwa orang yang menghidupkan sunnah Rasulullah [] akan mendapatkan dua keutamaan (pahala) sekaligus, yaitu keutamaan mengamalkan sunnah itu sendiri dan keutamaan menghidupkannya di tengah-tengah manusia yang telah melupakannya.
🎈 Syaikh Muhammad bih Shaleh al-’Utsaimin berkata, “Sesungguhnya sunnah Rasulullah _shallallahu ‘alaihi wa sallam_ jika semakin dilupakan, maka (keutamaan) mengamalkannya pun semakan kuat (besar), karena (orang yang mengamalkannya) akan mendapatkan keutamaan mengamalkan (sunnah itu sendiri) dan (keutamaan) menyebarkan (menghidupkan) sunnah dikalangan manusia” [11].
🎈 *Semangat Para Ulama Ahlus Sunnah dalam Meneladani Sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam*
🎈 Para ulama Ahlus sunnah adalah sebaik-baik teladan dalam semangat mengikuti sunnah nabi _shallallahu ‘alaihi wa sallam_ sampai dalam masalah yang sekecil-kecilnya, dan karena inilah Allah Ta’ala memuliakan mereka.
🎈 Sampai-sampai imam Sufyan bin Sa’id ats-Tsauri dalam ucapannya yang terkenal pernah berkata,
قال سفيان الثوري:
«إن استطعت ألا تحك رأسك إلا باثر فافعل،". (الجامع لأخلاق الراوي: 1 / ١٤٢ )
“Kalau kamu mampu untuk tidak menggaruk kepalamu kecuali dengan (mencontoh) sunnah (Rasulullah _shallallahu ‘alaihi wa sallam_ ) maka lakukanlah!” [12].
🎈 Demikian pula ucapan imam ‘Amr bin Qais al-Mula’i [13],
وقال عمرو بن قيس الملائي:
إذا بلغك شيء من الخير فاعمل به ولو مرة تكن من أهله. (الجامع لأخلاق الراوي: 1/ ١٢٩)
“Kalau sampai kepadamu suatu kebaikan (dari sunnah Rasulullah _shallallahu ‘alaihi wa sallam_ ) maka amalkanlah, meskipun hanya sekali, supaya kamu termasuk orang-orang yang mengerjakannya” [14].
Bahkan semangat dalam mengamalkan sunnah Rasulullah _shallallahu ‘alaihi wa sallam_ inilah yang menjadi ukuran kebaikan seorang muslim menurut para ulama tersebut.
Imam Muhammad bin Ismail al-Bukhari berkata,
“Orang muslim yang paling utama adalah orang yang menghidupkan sunnah-sunnah Rasulullah [] yang telah ditinggalkan (manusia), maka bersabarlah wahai para pencinta sunnah karena sesungguhnya kalian adalah orang yang paling sedikit jumlahnya (di kalangan manusia)” [15].
Oleh karena itulah, para ulama Ahlus sunnah sangat mengagungkan dan memuji orang yang semangat menghidupkan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan pujian yang setinggi-tingginya.
Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyyah berkata[16], “Muhammad bin Aslam ath-Thuusi[17] adalah seorang imam yang disepakati keimamannya (oleh para ulama Ahlus sunnah) dan sangat tinggi kedudukannya. Bersamaan dengan itu, beliau adalah orang yang paling semangat mengikuti sunnah (Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam) di zamannya. Sampai-sampai beliau mengatakan: “Tidaklah sampai kepadaku satu sunnah dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kecuali aku selalu mengamalkannya…”. Maka (ketika) seorang ulama Ahlus sunnah di jamannya ditanya tentang (arti) as-sawaadul a’zham (kelompok terbesar/Ahlus sunnah), yang disebutkan dalam hadits “Kalau orang-orang berselisih (pendapat dalam agama) maka hendaknya kalian mengikuti as-sawaadul a’zham“[18], ulama tersebut menjawab: “Muhammad bin Aslam ath-Thuusi dialah as-sawaadul a’zham“.
Kemudian Ibnul Qayyim berkata, “Demi Allah, benar (ucapan ulama tersebut), karena sesungguhnya jika pada suatu zaman, ada seorang yang memahami sunnah (Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam), (mengamalkannya) dan menyeru (manusia) untuk mengikutinya, maka dialah hujjah (argumentasi penegak kebenaran di jamannya), dialah ijma’ (kesepakatan/konsensus para ulama Ahlus sunnah), dialah as-sawaadul a’zham (kelompok terbesar/Ahlus sunnah), dan dialah sabilul mu’minin (jalannya orang-orang yang beriman), yang barangsiapa memisahkan diri darinya dan mengikuti selainnya, maka Allah akan membiarkan dia (dalam kesesatan) yang diinginkannya dan Allah akan masukkan dia ke dalam neraka Jahannam, dan itu adalah seburuk-buruk tempat kembali”[19].
Senada dengan ucapan di atas, imam Ahmad bin Hambal berkata, “Tidaklah aku menulis sebuah hadits dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kecuali aku telah mengamalkannya, sehingga ketika sampai kepadaku hadist Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berbekam dan memberikan (upah) satu dinar kepada Abu Thaibah (tukang bekam), maka ketika aku berbekam aku memberikan (upah) satu dirham kepada tukang bekam”[20].
Bahkan para ulama Ahlus sunnah, jika mereka mendapati satu sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang belum mereka ketahui dan amalkan sebelumnya, maka mereka menganggap itu adalah sebuah kerugian dan musibah besar yang menimpa mereka. Sebagaimana yang terjadi pada imam Ahmad bin Hambal, ketika dia mendengar satu sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang belum sampai kepada beliau sebelumnya, beliau mengatakan: “Innaa lillahi wa innaa ilaihi raaji’uun (zikir yang diucapkan ketika ditimpa musibah), satu sunnah dari sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam belum sampai kepadaku (sebelum ini)?”[21].
Ini semua karena mereka memahami dengan yakin bahwa orang yang paling sempurna imannya adalah orang yang paling banyak mengamalkan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam dirinya. Hal ini disebabkan karena pada masing-masing petunjuk yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ada satu bagian dari kebaikan, yang ini berarti semakin banyak seseorang menghimpun kebaikan tersebut dalam dirinya, maka semakin sempurna pula keimanannya[22]. Inilah yang diisyaratkan dalam firman Allah Ta’ala,
{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اسْتَجِيبُوا لِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ إِذَا دَعَاكُمْ لِمَا يُحْيِيكُمْ}
“Hai orang-orang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul-Nya yang mengajak kamu kepada suatu yang memberi (kemaslahatan/kebaikan)[23] hidup bagimu” (QS al-Anfaal:24).
Peringatan dan Nasehat Penting
Kalau kita membandingkan sikap para ulama Ahlus sunnah di atas dengan sikap sebagian dari orang-orang muslim zaman sekarang, maka kita akan mendapati perbedaan yang sangat jauh sekali. Karena orang-orang muslim zaman sekarang hanya mau mengikuti sunnah dan petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hal-hal yang wajib saja. Adapun anjuran dan adab-adab beliau lainnya, maka mereka sama sekali tidak semangat meneladaninya.
Bahkan sebagian dari mereka, jika dihimbau untuk melaksanakan satu sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, bukannya berusaha segera mengamalkannya, tapi malah berkelit dengan melontarkan pertanyaan yang menunjukkan keengganannya: “Lihat dulu, apakan sunnah tersebut hukumnya wajib atau hanya sekedar anjuran? Kalau hanya anjuran kan tidak berdosa jika ditinggalkan…”.
Sikap seperti ini jelas sangat bertentangan dengan sikap para ulama Ahlus sunnah dalam masalah ini. Karena dalam semangat mengejar keutamaan dan meraih pahala dari Allah Ta’ala, para ulama Ahlus sunnah tidak membeda-bedakan antara amalan yang wajib dengan amalan yang bersifat anjuran, dan mereka berusaha untuk mengerjakankan semua amalan yang dicintai oleh Allah Ta’ala.
Imam al-Qurthubi berkata, “Barangsiapa yang terus-menerus meninggalkan sunnah-sunnah (rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam) maka ini (menunjukkan) kekurangan (kelemahan/celaan) dalam agamnya. Apalagi kalau dia meninggalkan sunnah-sunnah tersebut karena meremehkan dan tidak menyukainya, maka ini kefasikan (rusaknya iman), karena adanya ancaman dalam sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Barangsiapa yang membenci sunnah/petunjukku maka dia bukan termasuk golonganku“[24]. Dulunya para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan orang-orang yang mengikuti (petunjuk) mereka selalu komitmen melaksanakan sunnah-sunnah (yang bersifat anjuran) seperti komitmen mereka dalam melaksanakan amalan-amalan yang wajib (hukumnya), mereka tidak membeda-bedakan kedua (jenis) amalan tersebut dalam (semangat) meraih pahala (dan keutamaan)nya. Dan (tujuan) para ulama ahli fikih dalam membedakan (kedua jenis amalan tersebut dalam masalah hukum) karena (berhubungan dengan) konsekwensi yang harus dilakukan, berupa wajibnya mengulangi perbuatan tersebut atau tidak, dan wajib atau tidaknya memberikan hukuman (karena) meninggalkannya”[25].
Oleh karena itu, syaikh Muhammad bin Shaleh al-’Utsaimin sangat mengingkari orang yang melakukan perbuatan ini, dalam sebuah nasehat beliau yang sangat berharga[26], bahkan beliau mengatakan bahwa orang yang melakuakan perbuatan tersebut dikhawatirkan terancam masuk dalam golongan orang-orang yang disebutkan oleh Allah Ta’ala dalam firman-Nya,
{وَنُقَلِّبُ أَفْئِدَتَهُمْ وَأَبْصَارَهُمْ كَمَا لَمْ يُؤْمِنُوا بِهِ أَوَّلَ مَرَّةٍ وَنَذَرُهُمْ فِي طُغْيَانِهِمْ يَعْمَهُونَ}
“Dan Kami akan memalingkan hati dan penglihatan mereka sebagaimana awalnya dulu mereka tidak beriman, dan Kami biarkan mereka bergelimang dalam kesesatannya yang sangat” (QS al-An’aam:110).
Mirip dengan kasus di atas, syaikh Muhammad bin Shaleh al-’Utsaimin juga pernah ditanya tentang seorang penuntut ilmu, yang kalau dia ditanya oleh orang awam tentang masalah-masalah ibadah, maka dia hanya menjelaskan hal-hal yang wajib saja dan tidak menjelaskan sunnah-sunnah yang bersifat anjuran, dengan alasan dia tidak ingin memberatkan/membebani mereka. Maka syaikh al-’Utsaimin berkata, “Orang yang hanya menjelaskan hal-hal yang wajib dalam syariat Islam (tanpa menjelaskan sunnah-sunnah yang bersifat anjuran) adalah termasuk orang yang menyembunyikan ilmu[27], karena wajib bagi penuntut ilmu untuk menjelaskan (kepada masyarakat) hal-hal yang wajib dan hal-hal yang bersifat anjuran, setelah itu dia menjelaskan kepada mereka: ini (hukumnya) wajib dan ini anjuran, barangsiapa yang melaksanakan yang wajib maka itu mencukupinya, dan barangsiapa yang melaksanakan hal-hal yang (bersifat) anjuran maka akan bertambah pahala (keutamaan)nya. Adapun jika dia (sengaja) tidak menjelaskan sunnah-sunnah yang (bersifat) anjuran karena (alasan) takut memberatkan orang awam (maka ini jelas tidak dibenarkan), karena demi Allah, dia tidak lebih penyayang dari pada Allah kemudian dari pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Padahal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri menjelaskan kepada umatnya hal-hal yang wajib dan sunnah-sunnah yang bersifat anjuran. Maka sampaikanlah nasehatku kepada pemuda tersebut: hendaknya dia bertakwa kepada Allah dan menjelaskan kepada masyarakat (awam) hal-hal yang wajib dan yang bersifat anjuran, sehingga kalau mereka mengamalkan hal-hal yang bersifat anjuran berdasarkan ilmu yang disampaikannya, maka dia akan mendapatkan pahala (yang besar) …”[28].
Penutup
Setelah kita memahami besarnya keutamaan menghidupkan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan semangatnya para ulama Ahlus sunnah dalam mengamalkannya, maka masihkah kita ragu untuk mengambil bagian dari keutamaan dan kemuliaan yang agung ini? Tidakkah kita ingin meraih keutamaan yang lebih besar lagi di akhirat nanti, yaitu dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadi pemimpin dan imam yang akan membela kita dihadapan Allah Ta’ala ketika kita mengahadap-Nya nanti?
Renungkanlah firman Allah Ta’ala berikut,
{يَوْمَ نَدْعُو كُلَّ أُنَاسٍ بِإِمَامِهِمْ}
“(Ingatlah) suatu hari (yang pada waktu itu) Kami memanggil tiap orang dengan pemimpinnya” (QS al-Israa:71).
Imam Ibnu Katsir berkata, “Salah seorang ulama salaf berkata: “Ayat ini (menunjukkan) kemuliaan yang sangat agung bagi orang-orang yang mencintai hadits (sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam), karena imam (pemimpin) mereka (pada hari kiamat nanti) adalah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam“[29].
Oleh karena itu, salah seorang ulama Ahlus sunnah, Zakaria bin ‘Adi bin Shalt bin Bistam[30], ketika beliau ditanya, “Alangkah besarnya semangatmu untuk (mempelajari dan mengamalkan) hadits (sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam), (apa sebabnya?)”. Beliau menjawab, “Apakah aku tidak ingin (pada hari kiamat nanti) masuk ke dalam iring-iringan (rombongan) keluarga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam?“[31].
Semoga Allah senantiasa melimpahkan taufik-Nya kepada kita semua untuk selalu berpegang teguh dengan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai di akhir hayat kita, amin.
Ya Allah, wafatkanlah kami di atas agama Islam dan di atas sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam[32]
وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين
Kota Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, 9 Dzulqa’dah 1430 H
Tidak ada komentar :
Posting Komentar