الله نور السماوات والأرض
"Allah adalah (pemilik) cahaya langit dan bumi" (QS. AnNuur: 35)
Cahaya Allah untuk bumi dan langit berupa bersinarnya matahari dan bintang². Dengan cahayaNya menjadi jelas segala arah, menjadi terlihat segala benda, menjadi terang benderang semua penjuru.
Dan cahaya Allah untuk hati manusia adalah AlQuran dan sunnah nabiNya. AlQuran adalah cahaya penerang jiwa- jiwa yang gelap. Dengan cahaya itu menjadi jelaslah segala sesuatu. Pemilik jiwanya mengetahui arah dan tujuan. Dengan cahaya yang menerangi jiwanya dia berjalan dengan mudah. Mengetahui mana- mana tikungan haram yang membahayakan, mana jurang² kesesatan, mana² duri² kemaksiatan, mana- mana jalur dosa yang memperdaya. Semua menjadi terang dengan suluh sinar cahaya alQuran.
Namun.....
Tatkala cahaya (Nur) AlQuran tersebut padam, maka menjadi gelaplah jiwa. Pemiliknya bagaikan berjalan dalam kegelapan. Atau bagaikan orang buta dalam kebingungan, berjalan yang tak mengenal arah. Ia tak mengenali halal- haram, baik- buruk, taat- maksiyat, tauhid- syirik, sunnah- bid'ah. Berjalan dalam kegelapan tanpa suluh cahaya alQuran yang menerangi.
Semoga kita senantiasa membaca.AlQuran. Merenungi makna- maknanya, menjadikannya pelita penerang dalam kehidupan. (Selamat Ramadhan 1440, 5 hari lagi InsyaAllah)
KAIDAH TENTANG SIFAT-SIFAT ALLAH JALLA JALALUHU MENURUT AHLUS SUNNAH
Sifat-sifat yang disebutkan Allah tentang Diri-Nya ada dua macam:
1. Sifat Tsubutiyyah dan
2. Sifat Salbiyyah.
Pertama : *Sifat Tsubutiyyah.*
Sifat Tsubutiyyah adalah setiap sifat yang ditetapkan Allah _Subhanahu wa Ta’ala_ bagi Diri-Nya di dalam Al-Quran atau melalui sabda Rasulullah []. Semua sifat-sifat ini adalah sifat kesempurnaan, serta tidak menunjukkan sama sekali adanya cela dan kekurangan.
Contohnya : Hayaah (hidup): ‘Ilmu (mengetahui), Qudrah (ber-kuasa), Istiwaa’ (bersemayam) di atas ‘Arsy, Nuzuul (turun) ke langit terendah, Wajh (wajah), Yad (tangan) dan lain-lainnya.
Sifat-sifat Allah _Subhanahu wa Ta’ala_ tersebut wajib ditetapkan benar-benar sebagai milik Allah sesuai dengan keagungan dan kemuliaan-Nya, berdasarkan dalil naqli dan ‘aqli.
Sifat Tsubutiyyah ada dua macam: Dzaatiyah dan Fi’liyah.
Sifat Dzaatiyyah adalah sifat yang senantiasa dan selamanya tetap ada pada Diri Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Seperti;
- Hayaah (hidup),
- Kalam (berbicara),
- ‘Ilmu (mengetahui),
- Qudrah (berkuasa),
- Iradah (ke-inginan),
- Sami’ (pendengaran),
- Bashar (penglihatan),
- Izzah (kemuliaan, keperkasaan),
- Hikmah (kebijaksanaan):
- ‘Uluw (ketinggian, di atas makhluk),
- ‘Azhamah (keagungan).
Dan yang termasuk dalam sifat ini adalah Sifat Khabariyyah seperti adanya wajah, yadan (dua tangan) dan ‘ainan (dua mata).
Sifat Fi’liyyah adalah sifat yang terikat dengan masyi-ah (kehendak) Allah Azza wa Jalla, seperti;
- Istiwa’ (bersemayam) di atas ‘Arsy,
- Nuzul (turun) ke langit dunia, atau pun
- datang pada hari Kiamat,
sebagaimana firman Allah Azza wa Jalla :
( وَجَاءَ رَبُّكَ وَالْمَلَكُ صَفًّا صَفًّا )
Dan datanglah Rabb-mu, sedang Malaikat berbaris-baris. ( QS. Al-Fajr : 22)
Suatu sifat bisa menjadi sifat dzaatiyyah-fi’liyyah ditinjau dari dua segi, yaitu asal (pokok) dan perbuatannya.
Seperti sifat Kalaam (pembicaraan), apabila ditinjau dari segi asal atau pokoknya adalah sifat dzaatiyyah karena Allah Azza wa Jalla selamanya akan tetap berbicara /berfirman, tetapi jika ditinjau dari segi satu persatu terjadinya Kalaam adalah sifat fi’liyyah karena terikat dengan masyi-ah (kehendak), dan Allah _Subhanahu wa Ta’ala_ berbicara apa saja yang Dia kehendaki jika Dia menghendaki.
Sebagaimana firman Allah Azza wa Jalla :
( إِنَّمَا أَمْرُهُ إِذَا أَرَادَ شَيْئًا أَنْ يَقُولَ لَهُ كُنْ فَيَكُونُ )
Sesungguhnya perintah-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berfirman kepadanya: ‘Jadilah,’ maka terjadilah. ( QS. Yaasiin: 82)
Setiap Sifat Allah yang terikat dengan masyii-ah (kehendak-Nya) adalah mengikuti hikmah-Nya. Hikmah ini terkadang dapat kita ketahui, tetapi terkadang tidak mampu kita pahami, namun kita benar-benar yakin bahwa Allah _Azza wa Jalla_ tidak menghendaki sesuatu melainkan apa yang dikehendaki-Nya, itu pun sesuai hikmah-Nya. Seperti yang Allah isyaratkan melalui firman-Nya:
( وَمَا تَشَاءُونَ إِلَّا أَنْ يَشَاءَ اللَّهُ ۚ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمًا )
"Dan kamu tidak menghendaki (menempuh jalan itu), kecuali jika Allah kehendaki. Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui lagi Maha bijaksana." (QS. Al-Insaan: 30)
Kedua : *Sifat Salbiyyah*
Dan ini adalah Penetapan Sifat Yang Tidak Diperbolehkan
Sifat Salbiyyah adalah setiap sifat yang dinafikan (ditolak) Allah _Subhanahu wa Ta’ala_ bagi Diri-Nya melalui Al-Quran atau sabda Rasul-Nya _Shallallahu ‘alaihi wa sallam._ Allah sendiri tifak mensifati DiriNya dengan sifat² Salbiyah ini, lalu pantaskah kita justru menyematkan sifat ini terhadap diri Allah?.. Sungguh keterlaluan. Sungguh merupakan kekurangajaran.
Dan seluruh sifat ini adalah sifat buruk, sifat kekurangan dan tercela bagi Allah,
contohnya;
- maut (mati, tidak hidup),
- sinah (mengantuk),
- naum (tidur),
- a'ma (buta)
- ashom (tuli)
- abkam (bisu, gaguk)
- jahl (bodoh),
- dzalim (berbuat aniaya, tidak adil),
- maradh (sakit)
- ghomm (bingung),
- bakhil (pelit, medit, susah memberi)
- nis-yan (kelupaan, lalai),
- ‘ajz (kelemahan, ketidakmampuan),
- ta’ab (kecapekan, lelah).
Sifat-sifat tersebut wajib dinafikan (ditolak) dari Allah Azza wa Jalla berdasarkan keterangan di atas, dengan disertai penetapan sifat kebalikannya secara sempurna.
Misalnya;
- menafikan maut (mati) dan naum (tidur) berarti menetapkan kebalikannya bahwasanya Allah Dzat Yang Maha hidup dengan sempurna,
- menafikan jahl (kebodohan) berarti menetapkan bahwasanya Allah Dzat Yang Maha mengetahui dengan ilmu-Nya yang sempurna. Dan seterusnya.
[Lihat _at-Tanbiihatul Lathiifah ‘alaa Mahtawat ‘alaihil ‘Aqiidah al-Waasithiyyah minal Mabaahiits al-Muniifah_ (Hal: 40, 47) oleh Syaikh as-Sa’di, al-Qawaa’idul Mutsla fii Shifaatilaahi wa Asmaa-ihil Husnaa (Hal: 59-63) oleh Syaikh Muhammad al-‘Utsaimin dan Syarhul ‘Aqiidah al-Waasithiyyah oleh Khalil Hiras (Hal: 159-160) dan Madkhaal lidiraasatil ‘Aqiidah Ahlis Sunnah wal Jamaa’ah (Hal: 91-92)]
••• ════ ༻༺ ════ •••
Ditulis oleh :
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas
Tidak ada komentar :
Posting Komentar