
Pertama kali yang menggunakan Qiyas Bathil adalah *iblis*. Dia tidak mau sujud hormat kepada Adam karena alasan qiyas batil. Dia menganggap dirinya lebih mulia daripada Adam. Dia menganalogikan kemuliaan itu dengan api, dan kehinaan dengan tanah. Dan ini adalah analogi yang salah kaprah.
Dari Ibnu Sirin, ia berkata:
ﺃﻭﻝ ﻣﻦ ﻗﺎﺱ ﺇﺑﻠﻴﺲ ، ﻭﻣﺎ ﻋُﺒِﺪﺕ ﺍﻟﺸﻤﺲ ﻭﺍﻟﻘﻤﺮ ﺇﻻ ﺑﺎﻟﻤﻘﺎﻳﻴﺲ ﺇﺳﻨﺎﺩ ﺻﺤﻴﺢ ﺃﻳﻀﺎ .
"Yang pertama-tama membuat qiyas (perbandingan) secara batil adalah Iblis. Dan tidaklah matahari serta bulan itu disembah melainkan karena qiyas-qiyas secara batil itu. (Tafsir At-Thabari, 12/ 328, dikutip oleh Tafsir Ibnu Katsir 3/393).
Ibnul Qoyim berkata :
“Tidaklah terjadi kerusakan dan kebinasaan di muka bumi, melainkan akibat dari penggunaan qiyâs (analogi) yang salah. Bahkan dosa pertama yang dilakukan kepada Allâh tak lain dan tak bukan kecuali hasil dari qiyâs yang salah. Penerapan qiyâs semacam ini dari iblis telah menyebabkan penderitaan bagi nabi Adam dan anak keturunannya. Pendek kata, biang dari seluruh kehancuran di dunia dan akhirat adalah penerapan qiyâs yang salah.” [I’lâmul Muwaqqi’în, 2/29]
Kita tidak lagi membahas tentang pengertian, rukun, syarat² qiyas. Karena sebagian kalangan telah akrab dengan penerapan qiyas yang shohih.
*DUA JENIS QIYAS*
Al-Karmani rahimahullah mengatakan : “Ada dua jenis qiyâs. Pertama, qiyâs yang benar, yaitu qiyâs yang memenuhi berbagai persyaratannya. Kedua, qiyâs yang salah, yaitu yang tidak memenuhi persyaratannya. Qiyâs batil inilah yang tercela, sedangkan qiyâs yang benar, maka dia tidak tercela, bahkan dianjurkan. [Fathul Bâri oleh Ibnu Hajar al-Asqalâni rahimahullah, 13/297]
Yang perlu diketahui adalah bahwa sumber hukum Islam itu adalah alQuran dan asSunnah. Qiyas bukanlah sumber hukum. Tapi sebagai methode / wasilah penetapan hukum syari'at yang menyertai nash-nash tersebut karena persamaan illat di antara keduanya. Ijma' (konsensus) ulama' maupun qiyas tetap bersumber pada nash² dari alQuran maupun asSunnah.
Sumber keyakinan dan hukum agama tetap harus berlandaskan kepada wahyu/ nash dalil alQuran dan asSunnah. Akal manusia harus tunduk pada maksud keduanya sebagaimana pemahaman yang benar.
Nah, bagaimana kalau yang terjadi sebaliknya...nash-nash alQuran dan asSunnah tersebut justru di'akali'. Difahami dengan pemahaman yang tidak benar.Memang benar saja alasan sumber pendalilannya namun diselewengkan dan difahami dengan akal logika secara serampangan. Berikut ini contoh qiyas (analogi) yang rusak :
1. mengQiyaskan *jin Ifrit* di zaman nabi Sulaiman dengan bolehnya *memelihara tuyul*. Makanya dia mencari 'pesugihan' /kekayaan lewat bantuan jin. Memelihara tuyul. Dengan beralasan nabi Sulaiman saja punya jin.
2. menyamakan *tongkat nabi Musa* atau cincin nabi Sulaiman dengan *Jimat*. Padahal jelas jauh berbeda antara mukjizat dengan jimat.
3. Menganalogikan *piagam Madinah* dengan *demokrasi*. Ini jelas analogi sesat. Sebab piagam Madinah berlandaskan asas tauhid dan dan bertujuan tegaknya dakwah Islam. Sementara demokrasi jelas berdasarkan suara rakyat yang terbanyak. Biarpun rakyatnya jahil ya itu yang dipakai. Apa maunya orang banyak bukan bagaimana seharusnya menurut Allah. Atau AD/ART suatu negara disamakan seperti piagam Madinah. Tidaklah demikian.
4. Mereka beralasan 'bolehnya *masuk parlemen* sistem demokrasi diqiyaskan dengan perjalanan *nabi Yusuf yang ikut masuk kerajaan Fir'aun*. Sedikit-sedikit merubah dari dalam.
5. Berdalil dengan *ratu Saba' (Balqis)* dengan bolehnya *memilih pemimpin wanita*. La itu, di alQuran buktinya juga ada ratu wanita, masa' gak boleh memilih ibu-ibu jadi gubernur.... Ini jelas ngawur.
Karena rosulullah bersabda :
ﻟَﻤَّﺎ ﺑَﻠَﻎَ ﺭَﺳُﻮﻝَ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﺃَﻥَّ ﺃَﻫْﻞَ ﻓَﺎﺭِﺱَ ﻗَﺪْ ﻣَﻠَّﻜُﻮﺍ ﻋَﻠَﻴْﻬِﻢْ ﺑِﻨْﺖَ ﻛِﺴْﺮَﻯ ﻗَﺎﻝَ : ﻟَﻦْ ﻳُﻔْﻠِﺢَ ﻗَﻮْﻡٌ ﻭَﻟَّﻮْﺍ ﺃَﻣْﺮَﻫُﻢْ ﺍﻣْﺮَﺃَﺓً ) (ﺭﻭﺍﻩ ﺍﻟﺒﺨﺎﺭي
:4425 ، ﻭﺭﻭﺍﻩ ﺍﻟﻨﺴﺎﺋﻲ ﻓﻲ " ﺍﻟﺴﻨﻦ : 8/227 )
"Tatkala rasulullah mengetahui bahwa penduduk Persia dipimpin oleh perempuan putri Kisra belia bersabda : tidak akan beruntung suatu kaum yang dipimpin oleh wanita"
6. Menyamakan *perjanjian Camp David* dengan perjanjian Hudaibiyah atau *Bai'atul 'Aqobah*.
Atau dianggap sama dengan Declaration of Human Right.
7. Mengqiyaskan *pelepah kurma* yang ditancapkan rosulullah di kuburan dengan *siram kembang* di pusara. Inilah jadinya kalau begitu yang agak mirip langsung dianggap sama dan dicocok²kan hukumnya. Terus dijadikan dalil guna memperkuat hujjahnya.
8. Menyamakan *riba'* dengan *jual beli*. Sama-sama cari untung. Ini jelas ngawurnya.
ﻗَﺎﻟُﻮﺍ ﺇِﻧَّﻤَﺎ ﺍﻟْﺒَﻴْﻊُ ﻣِﺜْﻞُ ﺍﻟﺮِّﺑَﺎ ۗ ﻭَﺃَﺣَﻞَّ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﺍﻟْﺒَﻴْﻊَ ﻭَﺣَﺮَّﻡَ ﺍﻟﺮِّﺑَﺎ ۚ
"Mereka berkata jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah
menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba" (QS. Al-Baqoroh : 275)
9. Menganalogikan ikhtilat /bersanding dan bercampur baurnya jama'ah laki-laki di masjidil Harom sewaktu hajji/ umroh dengan ikhtilat di ruang kuliah atau di kantor.
10. Mengqiyaskan lafadh *talbiyah hajji* dengan ucapan *'usholli'* sebelum sholat*. Sehingga setiap mau sholat harus melafadhkan niyat alasannya : hajji saja talbiyahnya dikeraskan, sholat juga.
11. Menyamakan *berhala* dengan pemberi *syafa'at*. Mereka beralasan ; kami tidaklah menyembah berhala² ini, ini hanyalah simbol² dari orang² suci. Yang kami sembah tetap Yang Maha Kuasa. Dan hanya orang suci yang paling dekat dengan Allah.
ﻭَﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ ﺍﺗَّﺨَﺬُﻭﺍ ﻣِﻦْ ﺩُﻭﻧِﻪِ ﺃَﻭْﻟِﻴَﺎﺀَ ﻣَﺎ ﻧَﻌْﺒُﺪُﻫُﻢْ ﺇِﻟَّﺎ ﻟِﻴُﻘَﺮِّﺑُﻮﻧَﺎ ﺇِﻟَﻰ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﺯُﻟْﻔَﻰ
“ Dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah (berkata): “Kami tidaklah menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat- dekatnya .” (QS. Az Zumar: 3)
Sudah jelas syirik, ngeyel lagi. Alasan mereka ya tadi : hanya orang suci yang busa dekat.dengan Allah, dan dari situlah sumber syafa'at. Patung ini hanyalah simbol. Semua punya alasan. Biarpun sesat tetap ngotot.
Jadi kesyirikan yang terjadi pada sesembahan yang beragam mulai dari orang shalih yang telah mati, para nabi, Husain, Zainab, Badawi, ‘Abdul Qodir Al Jailani, Habaib, semuanya disembah karena alasan keshalihan dan kedekatan diri mereka pada Allah.
12. menganalogikan perbuatan *mencium, mengusap, ngalap berkah di kuburan* keramat dengan mengusap dan *mencium Hajar Aswad*.
Betapa jauhnya analogi ini. Mengusap dan mencium hajar Aswad memang disyari'atkan, tapi mencium apalagi makan tanah kuburan Habib imam Sujono itu namanya kegilaan.
13. mengqiyaskan, menyamakan *sifat Allah dengan *sifat makhlukNya*.
Mengqiyaskan Allah seperti raja dunia. Atau presiden negara. Tidak bisa dekat dan bertemu dengannya kecuali harus lewat ajudan khususnya. Yaitu para ulama dan kyai. Cari kultus ya pak ustadz? Kok sepertinya hanya kalangan tertentu saja yang bisa taqorrub kepada Allah.
Padahal Allah berfirman,
ﻭَﺇِﺫَﺍ ﺳَﺄَﻟَﻚَ ﻋِﺒَﺎﺩِﻱ ﻋَﻨِّﻲ ﻓَﺈِﻧِّﻲ ﻗَﺮِﻳﺐٌ ۖ
"Dan apabila hamba-Ku bertanya kepadamu (Muhammad) tentang Aku, maka *Aku adalah dekat*. (QS. Al Baqoroh : 186)
14. mengqiyaskan *ilmu filsafat*, ilmu kalam dengan *kisah nabi Ibrohim* dalam mencari kebenaran*
Yang mana nabi Ibrohim pernah menyembah bintang, lalu bulan, kemudian matahari. Kemudian baru sadar dan akhirnya menemukan kebenaran. Ini mirip istinbath batil. Menyimpulkan sendiri secara serampangan.
Kisah nabiyulloh Ibrohim tersebut tidaklah seperti itu tafsir dan maksudnya. Kisah dalam alQuran itu haq, sementara ilmu kalam (filsafat) menyandarkan akal logika semata-mata yang kemampuannya terbatas.
Bahkan orang filsafat sampai mendewa2kan akalnya yang pikun. Akal pikirannya begitu 'berani' dan liar tanpa kontrol. Sampai mereka mengintrodusir pola pikir wilayah ketuhanan; Tuhan sekarang lagi ngapain ya, kalau Tuhan maha kuasa coba menampakkan diri, agama itu dogma, candu masyarakat, Jibril pensiun, akherat itu ilusi. Pikiran filsafat itu tidak produktif : duluan mana telur apa ayam, duluan mana mustahil atau mungkin. Liar. Pikun. Akhirnya gila.
Bahkan orang filsafat itu perlu digebukin. Sebagai yang diucapkan imam AsSyafi'i ;
ﺣﻜﻤﻲ ﻓﻲ ﺃﻫﻞ ﺍﻟﻜﻼﻡ ﺃﻥ ﻳﻀﺮﺑﻮﺍ ﺑﺎﻟﺠﺮﻳﺪ ﻭﺍﻟﻨﻌﺎﻝ ﻭﻳﻄﺎﻑ ﺑﻬﻢ ﻓﻲ ﺍﻟﻌﺸﺎﺋﺮ ﻭﻳﻘﺎﻝ : ﻫﺬﺍ ﺟﺰﺍﺀ ﻣﻦ ﺗﺮﻙ ﺍﻟﻜﺘﺎﺏ ﻭﺍﻟﺴﻨﺔ ، ﻭﺃﻗﺒﻞ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻜﻼﻡ
"Hukuman (yang aku tetapkan) kepada Ahli Kalam adalah agar mereka dipukul dengan pelepah daun kurma atau sandal sambil diarak keliling kampung dan dikatakan : 'inilah hukuman orang yang meninggalkan Al-Kitab dan As-Sunnah dan condong kepada ilmu kalam."
(ﺃﺧﺮﺟﻪ ﺍﻟﺒﻴﻬﻘﻲ ﻓﻲ ﻣﻨﺎﻗﺐ ﺍﻟﺸﺎﻓﻌﻲ 1/462 ، ﻭﺍﻟﺨﻄﻴﺐ ﻭﺍﻟﻐﺪﺍﺩﻱ ﻓﻲ ﺷﺮﻑ ﺃﺻﺤﺎﺏ ﺍﻟﺤﺪﻳﺚ ﺭﻗﻢ : 163)
15. *mengqiyaskan bertapa, meditasi, yoga, semedi, kontemplasi, cari wangsit dengan tahanustnya nabi di goa hiro'*
16. mengQiyaskan *tidur* dengan *pingsan*. Dengan beralasan (illat) sama² hilang akal. Sehingga sampai ketinggalan waktu sholat pun tidak mengQodho'nya. Memang hilang betul ini orang akalnya.
17. *meninggalkan istri dan anaknya* seenaknya saja tanpa diperhatikan nafkahnya. Dia beristinbath dan mengqiyaskan atau menyamakan sikapnya itu dengan kasus *nabi Ibrohim yang meninggalkan anak-istrinya di dekat Baitullah* dan hanya bertawakkal kepada Allah.
18. menyamakan antara *air mani* dengan *madzi*. Alasannya sama² keluar dari jalur yang sama.
19. Mengqiyaskan perjalanan nabi Musa berguru dengan nabi Khidir dengan pembagian agama menjadi tiga tingkatan; syari'at - hakikat - ma'rifat. Ini sekaligus istinbath (pengambilan dalil) secara serampangan. Agama nabi Musa sebagai agama tingkatan *syari'at*. Agama Yusa' bin Nun di tingkatan *hakikat*. Dan pengetahuan nabi Khidir sebagai tingkatan agama tingkat *ma'rifat*. Maka ini jelas akal-akalan.
20. Melakukan *bom bunuh diri*, atau *amaliyah syahid* (menurut mereka) dianalogikan dengan peristiwa penakhlukan salah satu benteng di perang Khoibar. Dimana pada saat itu ada salah seorang sahabat yang meminta untuk dilempar ke dalam benteng Yahudi agar bisa membuka gerbang dari dalam.
21. Mempersamakan antara *pajak* dengan *zakat*. Padahal keduanya sangat jauh berbeda. Jauhnya antara langit dan sumur. Maka mengqiyaskan pajak dengan zakat, adalah super ngawur.
22. Qiyas yang digunakan oleh sebagian aliran sesat. Mereka membuat suatu prinsip / manhaj : "kalau belum hijrah ke 'kelompok saya' itu ibarat masih tinggal di tong sampah". "Kalau belum baiat dengan imam organisasi saya itu Islamnya belum sempurna, kalau dia mati dan belum berbaiat dia mati jahiliyah". Menurut mereka : Islam itu ya kelompoknya saja, Islam itu = jama'ah, jama'ah itu = imamat, imamah itu = taat, taat itu = bai'at. Bahkan ilmu baik dari ayat alQuran maupun al Hadits kalau tidak 'manqul' dari mereka maka tidak dianggap bersanad. Majruh.
Mereka berprinsip : "Kelompok saya ibarat kapal nabi Nuh, yang tidak ikut akan tenggelam di kerak neraka". Seenak perutnya sendiri memperbandingkan kapal nabi nuh dengan organisasinya.
23. Qiyas sebagian kelompok takfiri khowarij. Sebagian mereka mengqiyaskan kondisi zaman saat ini dengan fase 'Makkiyah'. Jadi pada masa fase Malkiyah belum wajib sholat. Karena kewajiban sholat pada peristiwa isro' mi'roj terjadi baru di tahun ke-2 hijriyah, fase Madinah. Dan anda saksikan sendiri mereka banyak bersembunyi dari khalayak umat. Mereka beranggapan sholat belum wajib. Yang wajib adalah jihad. Bahkan mencuri dan merampas harta china itu halal sebagai harta 'ghonimah'. Ada² saja.
24. Analogi² paling banyak juga tersebar di kalangan tarikat sufi. Seperti dogma : mengambil ilmu tidak dari kelompok mereka seperti siswa mengambil ilmu dari luar kelas, hanya nguping. Orang² tertentu dianggap sudah mencapai tingkat 'wali abdal'. Termasuk imam² mereka. Imam mereka sama dengan rosul di kalangan umatnya. Ketaatan kepada imam mereka sama dengan ketaatan kepada rosul. Petuah² dan ucapan imamnya sama kedudukannya dengan sabda2 rosulullah. Aturan jama'ahnya sama dengan syari'at itu sendiri. Kelompok jama'ah mereka disamakan dengan 'thoifah' rombongan yang membawanya ke surga. Keluar dari 'grup' mereka sama dengan 'murtad' dari Islam itu sendiri. Halal darahnya. Mufaroqoh (berpisah) dari mereka sama dengan kemunafikan. Mati di luar organisasi mereka sama dengan mati jahiliyah. Kelompok mereka sama dengan agama itu sendiri. Dan inilah qiyas yang paling batil.
25. Mengqiyâskan *gaji* (profesi) dengan *hasil tanaman* pertanian dalam hal zakat. Sebab zakat pertanian sebesar 5% atau 10%. Sementara zakat profesi 2,5 %.
26. Menyamakan *nikah mut'ah* dengan *nikah* sebagaimana pernikahan pada umumnya. Yang benar, nikah mut'ah itu diqiyaskan dengan zina. Memang murni zina.
27. Mengqiyaskan *pembantu* rumah tangga dengan *budak* sahaya. Lain mas. Pembantu rumah tangga itu pekerja.
28. Mengqiyaskan wanita rasyidah (baligh, berakal, dan bisa mengurus diri sendiri,) sah untuk menikahkan dirinya sendiri tanpa wali, diqiyaskan kepada sahnya ia berjual-beli tanpa wali. Ini adalah qiyas yang rusak karena menyelisihi nash.
Biarpun dia janda, dewasa, atau setengah tua yang namanya wanita kalau menikah harus dengan persetujuan walinya. Berdasarkan hadits,
ﻻ ﻧﻜﺎﺡ ﺇﻻ ﺑﻮﻟﻲ
“Tidak ada nikah kecuali dengan wali”.
29. Mengqiyaskan hukum *bolehnya meninggalkan shalat dalam perjalanan* kepada hukum *bolehnya musafir tidak berpuasa*.
Akhirnya tidak sholat. Hukumnya sholat bagi musafir dengan puasa musafir berbeda. Jadi tidak boleh disamakan.
30. Menyamakan pemakaman *jenazah seorang muslim* disamakan dengan pemakaman *bangkai babi.*
Ini sekaligus pelecehan. Siapapun dari jenazah seorang muslim pasti dikafani, disholati, dan dimakamkan dengan benar. Sesuai syari'at Islam. Biasanya statement ini muncul karena fanatik buta dari pengikut taqlid tradisi leluhur dengan acara² upacara pasca kematian (walumatul maut) ; miton (7 hari) pasca kematian, mendak (30 hari), midak (60 hari), nyatus (100 hari kematian), nyewu (1.000 hari), haul (milad kematian).
31. Mengqiyaskan *penjara seumur hidup* dengan *qishos* pada kasus pembunuhan sengaja.
Biasanya ini terjadi karena korban hukum dari selain Islam. Tidak bisa hukuman bagi pembunuh seorang muslim hanya dibalas dengan 'dibunuh' karakternya, 'dibunuh' saja perekonomiannya. Hutang nyawa harus bayar nyawa. Itu kalau Islam.
32. Menyamakan *wajibnya membaca alQuran dengan kaedah² tajwid* dengan lafadh² *adzan* atau *takbir intiqol sholat*.
Keduanya berbeda. Pada adzan tidak wajib tartil sebagaimana hukum membaca alQuran. Sebagaimana lucu kalau berbahasa Arab sehari2 dengan penerapan tajwid. Pakai naghom dan qolqolah segala. Orang bisa nyeletuk ini orang kok 'ngaji' melulu.
33. Menyamakan *firman Allah, hadits rasulullah* dengan sebagaimana ucapan manusia lainnya.
Dan lain-lainnya.
ﺍﻟﻘﻴﺎﺱ ﻭﻫﻮ ﺇﻋﻄﺎﺀ ﺣﻜﻢ ﺷﺮﻋﻲ ﻟﻤﺴﺄﻟﺔ ﻣﺴﺘﺠﺪﺓ ( ﺍﻟﻔﺮﻉ ) ﻗﻴﺎﺳًﺎ ﻋﻠﻰ ﻣﺴﺄﻟﺔ ﺳﺎﺑﻘﺔ ( ﺍﻷﺻﻞ ) ﻟﻮﺟﻮﺩ ﺗﺸﺎﺑﻪ
Qiyas. Mempersamakan kedudukan hukum antara hukum furu' (kasus/fakta) dengan hukum asal (yang ada nashnya) karena ada kemiripan illat (alasan) antara keduanya.
Sebagian ulama' menjadikan methode ini sebagai sumber pengambilan hukum. Namun apa jadinya kalau sembarangan mempersamakan hukum furu' dengan hukum asal. Akhirnya. Hasilnya, bukan akal yang tunduk pada AlQuran dan asSunnah tapi malah nash² pada keduanya diakali. Dicocok cocokkan. Ini namanya memperkosa 'ayat' dan mengangkangi hadits.
Padahal, tidak semua yang tampak mirip menurut akal fikiran itu sama kedudukan hukumnya dalam ketentuan syari'at. Misalnya ;
- antara mani dan madzi. Yang sama-sama dari jalur kemaluan yang sama. Namun keduanya berbeda dalam kaifiyat hukum bersucinya.
- melihat wanita merdeka yang cantik dengan melihat budak wanita yang cantik, namun hukumnya berbeda menurut syariat.
- sebagaimana kasus mencuri di zaman Umar. Sebagian yang mencuri mencapa nishab dipotong tangannya, sementara di kasus lain tidak. Padahal sama-sama mencuri. Karena faktor keadaan yang melatar belakangi.
- meskipun namanya sama²"unta. Yang satu Onta beneran, yang satunya burung unta. Makan daging burung unta tetap tidak membatalkan wudhu, tidak bisa diqiyaskan dengan daging unta. Apakah sama menyamakan ayam dengan gambar ayam ?
- wudhu tidak boleh diqiyaskan dengan tayammum. Meskipun mirip, keduanya tetap berbeda.
Qiyas memang merupakan salah satu macam ijtihad di dalam menentukan suati hukum di dalam.Islam. Namun ajaran Islam tidak bisa didasarkan dengan akal semata2. As-Sunnah tidak boleh dipahami dengan akal semata dan kecondongan hawa nafsu.
Sahabat ‘Aliy bin Abi Thaalib berkata:
ﻟَﻮْ ﻛَﺎﻥَ ﺍﻟﺪِّﻳﻦُ ﺑِﺎﻟﺮَّﺃْﻱِ ، ﻟَﻜَﺎﻥَ ﺃَﺳْﻔَﻞُ ﺍﻟْﺨُﻒِّ ﺃَﻭْﻟَﻰ ﺑِﺎﻟْﻤَﺴْﺢِ ﻣِﻦْ ﺃَﻋْﻠَﺎﻩُ ، ﻭَﻗَﺪْ ﺭَﺃَﻳْﺖُ ﺭَﺳُﻮﻝَ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﻳَﻤْﺴَﺢُ ﻋَﻠَﻰ ﻇَﺎﻫِﺮِ ﺧُﻔَّﻴْﻪِ "
“Seandainya agama ini diukur dengan akal pikiran semata, niscaya bagian bawa khuff (sepatu) lebih berhak untuk diusap daripada bagian atasnya. Namun aku telah melihat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengusap bagian atas kedua khuff -nya” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 162; shahih].
Demikianlah, beberapa contoh qiyas batil. Mohon masukannya apabila terdapat kekurangan.
Semoga sedikit bermanfaat. Amiin
ودكم أبو الحسن
Tidak ada komentar :
Posting Komentar