Abu Hasan

مجموعة الاسلامية على نهج سلف الأمة

Selasa, 06 Maret 2018

KENANGAN MASA KECILku

🇰 🇪 🇳 🇦🇰 🇪 🇳 🇦 🇳 🇬 🇦 🇳
🇲 🇦 🇸 🇦
🇰 🇪 🇨 🇮 🇱 (bag. 1)

>>> *Beautiful Chilhood Memorian ni my country* <<<

👉 Kisah masa silam. Bocah² ingusan, anak² desa Gilang, bercelana dekil, kaos oblong tak pernah disetrika, kakinya busik, tak punya sandal, mandi tak pakai sabun, sabunnya batu serpih, samponya merang, handuknya sarung. Dimar pelitanya lampu Ublik. Kalau mandi di sungai sambil mémét cari ikan, dapatnya udang, mancing ikan wader dapatnya cuyu kepiting.

👉 Mahir memanjat pohon. Hampir tiap anak dapat délèkan burung, punya ketepil buat membidik sarang tawon, membidik pepaya mentah, merontok mangga kuwéni. Pintar melempar mangga pakél, Hari ibnu Wiji suka makan babal kenangka. Lardi bin Marto pintar memetik pepaya. Ibnu Saman pandai mitrang. Teman² Gilang kidul yang suka makan tapi snack camilannya buah lamtoro, makanannya tiwul dan singkong bakar, tiap ada pepaya matang atau pisang matang di ladang pasti diserang.

👉 *Anak pengembara* . Bila hari-hari libur sesudah sarapan pergi mengembara ke tempat² jauh. Lardi alias Didét pimpinan bocah² kampung yang bau terasi, ingusan bau kencur pemberani, hanya bawa sarung dan korek api, berbekal nasi atau ubi, biasa pergi berpetualang ke puncak gunung Ampyangan, ke gunung Jeblok, menelusuri aliran sungai. Tidak hanya siang berpetualang. Malam hari juga jalan kaki jauh nonton wayang kulit, seni ketoprak Madya Budaya di Jawa Tengah, nonton seni Ludruk di desa Weru sampai di kejar anjing dan sandal² ketinggalan karena ketakutan. Tiap melewati kuburan sepi, ada yang iseng berteriak 'hantuuuu... hodiiiii' langsung kocar- kacirbada yang nangis. Waktu itu anak² buta informasi. Gak kenal rampok apa begal apa orang jahat. Sebab rata² suasana pedesaan penduduknya semuanya baik, takutnya hanya khawatir bila digigit ular atau diwédeni sama hantu memedi.

👉 Ini kisah nyata seorang sahabat saat kecil. Bocah² lugi edisi lahor tahun ,1978 - edisi masa kanak² hingga1993 di desanya. Di masa kecil saya (:penulis) ketika itu :
Tidak ada teknologi
Tidak ada pesawat
Tidak ada internet
Tidak ada komputer
Tidak ada TV
Tidak ada AC
Tidak ada mobil
Tidak ada HP
Tapi kami cukup bahagia.

👉 Kami, orang-orang yang lahir antara tahun 1970 - 1980 adalah orang-orang yang beruntung ...
*Hidup kita adalah bukti hidup.* Bahagianya waktu kecil, riang tanpa beban, tanpa kepanikan dan kecemasan. Tanpa ada larangan gak boleh ini gak boleh itu. Kami bisa pergi ke manapun. Boleh masuk ke rumah siapapun. Rumah desa kelahiran handai tulan yang tidak ada yang berpagar, rumah² terbuka tanpa khawatir ada pencuri masuk, desa nan aman tentram, damai dan permai.

👉 Bocah² 'sing sikilé busik' hakekatnya semua dari keluarga yang sama akar bonggol leluhurnya. Yaitu dari nasab simbah Sireng almarhumah, menurunkan anak²:
- Yung Rijem
- Mbah Irun
- Yung Riyem
- Yung Dirah
Dan dari empat orang ini menurunkan anak pinak dan cucu cicit.

👉 *Sepeda*. Sementara bermain dan mengendarai sepeda, kami tidak pernah memakai helm. Bahkan sepeda "gledékan" terbuat dari kayu yang kami bikin sendiri. Pelumasnya dari tumbukan daun randu, rodanya dari gelinding kayu jati. Klaksonnya mulut, suara mesinnya juga mulut.

👉 *Bambu /pring Apus*. Dari bahan bambu (pring) kami juga bikin sendiri macam2 mainan yang beraneka ragam. Semua jenis mainan tidak ada istilah beli. Kami dahulu anak- anak desa yang pandai meraut bambu. Untuk buat : senapan daun, seruling bambu, layang², mobil²an, kitiran alias baling², rumah jangkrik, kentongan, pancuran, orang²an sawah, panah²an, pantek, pikulan, keranjang, semuanya dari bahan bambu.

👉 *Mainanku* sudah punah di telan zaman. Berseluncur alias 'prosotan' pakai _mancung_ manggar kelapa. Ayun- ayunan di pohon sengon, bikin gubuk dari bambu dan jerami di pematang sawah sambil menungguhi padi siap panen. Setelah pulang sekolah langsung ke sawah mengusir burung² emprit pemakan padi. Dengan menggoyang- goyang _orang²an sawah_ sambil pukul kentongan.

👉 Kala sholat 'ashar tiba saling panggil- memanggil pergi ke bawah kali _klegung_ sholat 'ashar berjama'ah di atas pelataran batu- batu kali yang lebar. Lalu kembali lagi ke sawah masing² menjagai padi yang selalu diserang burung² emprit.

👉 Sekiranya hari sudah senja, kala maghrib akan tiba, sang surya hendak kembali pulang, burung² _blekok_ terbang pulang ke sarangnya, hinggap di dahan dan ranting pohon² bambu. Berkelompok di gerumbul hutan desa Kalijati. Anak² desa langsung ramai² mandi dan renang telanjang di lubuk kali yang mengalir deras. Ada yang sembari mencari udang, ada yang _memét_ memancing ikan, dan dapat saja.

👉 *Mandi*. Tidak pakai sabun. Zaman kala itu belum ada listrik. Listrik belum masuk desa, sabun belum masuk desa. Jadi sabunnya pakai batu kali. Sampo untuk keramasnya pakai sabun pelok. Pucuk dan pupus daun lamtoro buat _kosokan_ dan sikat gigi dicampur pasir wedi. Gosokan badan dengan sabut kelapa. Mandi di pancuran dari pelipit bambu atau gedebok batang pisang.

👉 *Setiap maghrib mengaji* dan sholat berjama'ah di surau kecil yang terbuat dari tembok sederhana. Semenjak maghrib sampai 'isyak pasti mengaji di _Langgar_ . Duduk melingkari meja lusuh, _dampar_ tua dari blabak papan kayu sengon yang bolong tengahnya. Di tengah -tengah dampar ada pelita lampu minyak alias _dimar ublik_ . Yang semprong kacanya sudah _prutul_ atau keropos pecah bagian atas. Kalau angin berhembus kencang _dimar_ lampu tadi mati. Jadinya gelap² sambil main cubit²an. Ada temanku yang usil, dia main _kempus²an_ atau menghembus² api pelita. Jadinya padam dan gelap gulita lagi.

👉 Kalau musim hujan, banyak laron hinggap dan beterbangan berputar² keliling di sekitar lampu Dimar. Lardi usil menangkap laron sambil dibakar pakai _kalam_ bambu lalu dimakan. Hari juga ikut²an. Ngaji sambil _ggayemi_ makan laron bakar. Ketahuan kang Sumadi Endol dia dimarahi dengan sangat. Hari pada awal mengaji memang goblok sekali. Mengaji turutan saja berbulan² tidak tamat. Tiap mengaji turutan dia pasti nangis, karena dibentaki gurunya, kang Jumadi kakaknya sendiri.

👉 Yang paling nakal namanya Lardi Didet. Tampaknya kalau mengaji sangat khusyuk, tapi ternyata kakinya di bawah meja _dampar_ usil menjejak temannya kian kemari. Sewaktu Hari mengaji sambil nangis di _jejek_ dari bawah maka diapun tertawa. Jadinya tangis dan tawa bersamaan. Namun bapaknya tahu seperti itu tidak boleh. Tidak boleh _cengengesan_ saat mengaji. Dia dimarahi lagi dan nangis lagi.

👉 Mbah _Kemi_ selalu istiqomah memimpin sholat jama'ah. Kadang² sujudnya agak lama karena anaknya si Nur Rohma minta gendong dan naik berkuda di punggung bapaknya yang lagi memimpin sholat. Mbah Wiji, Lik Sumadi, Kang Giman, yang sering mengajarkan ngaji _sorogan_ , ngaji Turutan, juz amma, hafalan ayat kursi, puji²an, ngaji Diniyah setiap hari. Sering juga tidur menginap di surau bersama².

👉 Pas *waktu bulan purnama* anak² desa ada yang tidur di bawah pohon kelapa sambil membakar singkong _kasepe_ . Kala itu sangat melimpah singkong dan palawija jenis apapun. Pada musim kemarau tinggal cabut dan dibakar di api unggun. Kalau sudah matang langsung dimakan di bawah sinar bulan purnama. Beralaskan daun _blarak_ atau jerami lalu dilapisi tikar _bagor_ biasanya kami sulit tidur. Sambil tidur melihat luasnya angkasa langit di malam hari. Ada yang menunjuk rasi Lintang kemukus, ada yang lihat gugusan bintang _gubuk penceng_ , ada juga gugusan Lintang _Randu doyong_ . Kalau pas lewat ada lintang alihan alias meteor jatuh semuanya pada menunjuk. Lardi biasanya yang mendominasi cerita. Ceritanya; di atas langit sanalah sebenarnya tempatnya surga. Nanti kita kalau menjaga sholat dan tidak lupa mengaji dan kalau mati kita nanti dibawa oleh malaikat ke atas langit.sana. Dibawa masuk ke dalam surga. Lalu saya berkata : kalau begitu Gusti Allah yang kita sembah itu juga ada di sana. Di atas langit yang tinggi. Sambil terus cerita tentang langit dan macam²nya, satu persatu pun mulai terdengar suara dengkurnya. Zzzzz.... bangun²'sudah adzan subuh.

👉 *Suara 'lesung.'* Jika pulang berbaris dari sawah kala senja sambil memundak 'krenjang' rumput terdengar suara 'alu' bertalu-talu. Bergaung gema 'lesung' di lereng² lembah persawahan. Diselai iringan irama 'mbebak' gabah di 'lumpang' dari desa seberang. Yaitu desa Templék atau Dengkéng. Anak² sudah hafal kalau ada suara yang bertalu² seperti ini pertanda ada penduduk yang punya hajatan 'mantu', atau 'tingkepan', sepasaran lahiran bayi, atau 'kenduri' wong 'sunatan'. Pihak mbok² yang menumbuk di lesung, sementara pihak bapak² pastilah memasang 'janur kuning' dan 'relung' 'kerun', 'terop' 'umbul²', membuat 'kembar mayang' hiasan pernikahan. Sambil naik jalan setapak teriak dan iseng 'njaluk jadahé mbok déé.... minta 'ampyang',.... minta 'gledékan' sak 'ganden'. Sambil naik perbukitan dan cekikikan. (Tanda petik ini hanya dikenal anak² kelahiran desa di sana, lantaran ada beberapa benda yang telah punah sitelan zaman).

👉 *Setelah sekolah,* kami bermain sampai senja; Kami tidak pernah menonton TV. Dan orang² tua kami tidak khawatir dan cemas sebab pasti pulang sambil membawa rumput, akar inten, rambanan dan hasul panen. Ada yang mundak ada yang memikul.

👉 Dahulu kami bermain dengan teman sejati, bukan teman internet. Mainan kami buatan sendiri bukan buatan luar negeri. Kami biasa membuat mobil²an dari batang glagah, balapan jangkrik, 'uncal', dolanan 'bluluk kelapa', bedil²an dengan peluru buah glundi atau kentos pentol bunga lamtoro.

👉 Jika kita merasa haus, kita minum air Pancuran, air gentong dan bukan air kemasan. Maklum kala itu tidak ada aqua. Minuman paling hebat bagi anak² adalah temulawak. Dahulu, kita tidak pernah sakit meskipun berbagi segelas minuman dengan 4 teman.Kita tidak pernah mikir bobot makanan setiap harinya. Tidak ada yang terjadi pada kaki kita meski bertelanjang kaki tanpa alas kaki di persawahan.

👉 Dahulu tidak pernah menggunakan suplemen untuk menjaga kesehatan diri. Orang tua kita tidak kaya. Mereka memberi cinta .. bukan bahan duniawi. Kami tidak pernah memiliki ponsel, DVD, stasiun bermain, Xbox, video game, komputer pribadi, internet, chatting - tapi kami punya teman sejati.

👉Kami mengunjungi rumah teman kami tanpa diundang dan menikmati makanan bersama mereka. Dahulu kami Relatif lebih banyak waktu tinggal bersama keluarga, sehingga waktu benar2 dinikmati.
👉Kita mungkin ada di foto hitam putih, tapi kamu bisa menemukan kenangan berwarna-warni di foto-foto itu.

👉 Kami adalah generasi yang unik dan paling mengerti, karena *kami adalah Generasi terakhir yang mendengarkan nasehat orang tuanya ....* *dan juga Generasi pertama yang harus mendengarkan kata2 anaknya*.

*Kami adalah edisi TERBATAS !* Masa kecil kami tak bisa diulang. Semunya penuh kenangan. Masa-masa terindah, tinggal bersama sobat, keluarga, kerabat penuh rukun dan damai, di desa Gilang yang asri, permai serta lestari. Tidak ada kejahatan padanya, tidak ada kemaksiyatan di dalamnya. Semoga Allah menjaga keberkahan dan kelestariannya untuk anak² dan penduduknya di masa² mendatang.
Tulisan ini saya tulis pribadi, menyimpan hikmah² etika perilaku dan karakter kesholihan. Silahkan anda simak dan temukan hikmahnya. (Mardiansyah, Abu Hasan, Ibnu Saman) 😊


Bersambung pada edisi berikutnya, kisah² yang belum saya ceritakan....


🇰 🇪 🇳 🇦🇰 🇪 🇳 🇦 🇳 🇬 🇦 🇳
🇲 🇦 🇸 🇦
🇰 🇪 🇨 🇮 🇱 

(Bagian. 2)

*_Lanjutan kisah ke 2_ dari Kisah nyata*
Puing² kisah nyata yang telah punah ditelan zaman. Bocah² ingusan desa Gilang kidul. Era tahun 1980an.

*'Ggropyok bajing'.* Berburu bajing di sore hari. Kalau lagi musim kemarau, pohon² dan daun- daun tumbuhan di tegalan pada rontok. Deretan kebun Yung Riyem (nenekku) hingga deretan tegalan mbah Saikun rimbun dengan pohon² bambu 'pring' jowo. Kalau kemarau juga rontok daun²nya. Kala sore anak² Gilang rame² memburu bajing alias tupai. Biasanya ada dua atau tiga orang yang giliran menggoyang² sarangnya. Karena digoyang² merasa terganggu akhirnya keluar juga. Bajing pun loncat² pindah 'mlimbang' dari satu pohon ke pohon pring berikutnya. Karena sebab digoyang² terus akhirnya lari dan jatuh ke tanah. Ternyata di bawah anak² sudah menunggu sambil membawa gebukan. Ada yang pegang patahan batang singkong, ada yang pegang 'dangkél' ketèla. Setiap anak pasti sudah pegang gebuk sewaktu² bajingnya jatuh langsung ramé digebuk. Ada yang sudah mewakili baca doa, 'ayo bismillah siap² ..cah'. "Ojo sampék ucul" (jangan sampailepas) Kata kang Wiyono. Begitu jatuh teriak rame² ... "ayoo....ayooo...kuwi..lo...cekelen". Bak-buk, bak- buk... bajingpun kena gebuk. Langsung tertangkap dan disembelih. Lalu balik lagi berjaga² lagi mengitari 'barongan' bambu pring menunggui bajing yang berikutnya. Yang di atas 'manjat pring' biasanya kang Kliwon, Kang Gudel atau kang Paimo. Bisa juga giliran. Mereka terus menggoyang² batang tempat bajing berpegangan.

Ada yang unik dan lucu. Kadang² tupai lebih pintar dan bisa lepas... begitu jatuh turun langsung 'mlimbang' beralih memanjat pohon kelapa. Anak² pun 'getun' menyesal. Ada juga salah gebuk. Kang Jumadi nangis entah siapa yang keliru meng'gebuk' jari kakinya. Kang Gudel kadang² juga jengkel; 'siapa tadi cah.....yang gebuk bokongku'.... sing digebuki ki bajingnya....kok pantat orang digebuki". Satu sore saja kadang dapat tiga sampai empat ekor tupai. Saya pernah dapat kaki depannya. Kang Didet pernah dapat kaki belakang. Ada yang dibawa pulang dikasihkan 'mbok' nya. Tapi ada juga yang dibakar langsung di 'tegalan'nya yung Dirah (alm). Termasuk saya ikut bakar² daging tupai dan enak rasanya. Karena hari telah senja, sinar mentari pun sudah 'surup' di balik gunung, suara bunglon, suara burung engkuk mulai terdengar, suara jangkrik telah memyambut kala senja yang gelap, bocah² pun pulang.

*Beda kelompok dan mainan* Kelompok yang anak² senior 'balatané': Gudel, Lék Giman, Kliwon, Jumadi, Mukmin. Sementara yang Yunior balatané Lardi, Mardi, Wiyono, Saeran, Salam, Hari, Mino, Parno Cepur, Kadang² Sugeng Kadi alias pinjal. Mainan anak² besar dulu biasanya bikin bedil²an dari bahan bambu. Juga dari glagah. Dulu di depan rumah kang Paimo bin Ridjo banyak terdapat pohon glagah. Sementara kelompok 'balatané' anak² Yunior mainannya bola. 'Bal-balan' pakai buah jeruk gulung. Maklum dahulu bola plastik agak mahal belinya.si warung Lik Tiyem. Kalau bola plastik buat main poli. kalau untuk sepakbola nanti cepat rusak.

*Jum'atan*. Sebelum masjid atTaqwa Gilang dipakai jum'atan, sholatnya di mesjid jami' Baitul Mukmin Biting. Bahkan yang datang dari jauh- jauh. Bahkan dari daerah Jurug, Weru, Mengko, Mesih dan Kerdu. Yang menjadi imam ayahnya pak Sular yaitu mbah kyai Ahmad. Yang jadi khotib gantian: mbah Waji, mbah Safari, pak Rofi'i, pak Sarengat dan mbah Kemi. Rata² saat khutbah jumat berlangsung penduduk desa pada ngantuk karena mungkin telah seharian bekerja di sawah atau di kebun. Yang menjengkelkan ada dari bapak dari Mbuntar rupanya habis 'ndudah abuk', kandang sapi. Jadinya bau kletong sapi dia.

Saat jumatan begitu ada yang lucu. Jama'ah mbah- mbah yang tua tersebut paling mendominasi ngantuknya. Bahkan sama² duduk sila bersebelahan saling tumbukan kepalanya tak tahan akan rasa kantuk setelah seharian lelah mencangkul atau mencari rumput. Yang paling diingat oleh anak² adalah bacaan alFatihah mbah Kyai Ahmad saat membaca lafadh 'ghoiril maghdzuubi' dibaca ; 'GOÈRÉL MAGHEDUUBI NGALAIHIM' karena belia sudah tua.

Ada pula yang kram kakinya alias 'Gringgingen'. Karena bersila selama khutbah hingga ditekuk selama khutbah berlangsung hingga kaget mendengar suara iqomat langsung berdiri, tapi jatuh lagi. Hingga mbah Sumodiran 'slépen' tembakaunya terjatuh beserta Korek kapuknya di lantai.

*Kijang turun gunung* . Kalau musim kemarau rerumputan di lereng² gunung Ampyangan mengering. Semak belukar yang semula hijau jadi berwarna kecoklatan, kelihatan kering lantaran daun² kering yang mendominasi. Di saat itulah banyak rusa atau kijang kebingunagan mencari pakan. Beberapa koloni mereka ada yang sampai migrasi ke lahan² tegalan pertanian di pedesaan terdekat. Yaitu desa Candi, Dagung Anggrung, mengarah ke lebih bawah lagi desa Templék. Bahkan saking cepatnya berlari sekumpulan kijang itu sampai kesasar di daerah seberang etan. Daerah lorokan desa Mesih. Bahkan pernah bersembunyi di bawah gerumbul pohon Andong di bawah dapur rumah saya.

Sekumpulan kawanan monyet pun kalau musim kemarau juga menyerang tanaman palawija desa- desa sekitar gunung. Yang disasar tegalan daerah Candi, Gemplo, Gandu, Sempon. Tanaman singkong, pisang, tomat dan apa saja mereka makan. Yang aman cuma jahe dan lombok cabe. Kera² itu gak berani memakannya. Pedes kali....

*Sholat Tarawih* . Pas bulan puasa saat yang paling bergembira bagi bocah² Gilang. Awal puasa biasanya ditandai tabuhan beduk sejak isyak sampai malam. Mbah Parman yang sangat kuat menabuh beduk. Karena hari² puasa berbukanya anak² sangat kenyang. Sholat tarawih yang lama membuat Hari ketiduran saat sujud. Sujud ndak bangun². Sehabis sholat witir tarawih biasanya mbah Kemi menyediakan jadah punten. Kadang² juga gantian pak de.Wiji membawa ampyang. Giliran mbah Sugi membawa roti. Kadah punten yaitu jadah beras campur santan. Setelah tarawih selesai biasanya kang Sumadi atau kang Purwanto mengaji lewat pengeras suara. Kadang² jama'ah ibu² ada yang marah². Rupanya sandal² yang tadi tertata rapi diobrak- abrik oleh Lardi. Yang kanan dipindah kiri, kiri dipindah kanan. Jama'ah bapak² juga ada yang geram marah². Sebab sandal- sandalnya lengket dengan jadah punten. Ini gara² kang Lardi. Sisa- sisa jadah dilengketkan ke sandal. Termasuk saya juga mau diajak ngoles² terompah dengan jadah.

*Cari ikan* di anak sungai Jurang Gantung. Tiap masa menjelang panen, memang banyak hama pengganggu padi. Terutama koloni burung emprit yang menyerang dan merontokkan tanaman padi. Pada saat padi hendak menguning banyak didirikan gubuk² jerami kering buat menjagai padi dari burung. Lengkap dengan orang²an sawah. Dilengkapi dengan tali penarik dari gubuk. Begitu rombongan burung mau hinggap diusir dengan suara kentongan atau 'digusah' dengan menarik tambang terbentang tadi yang dikaitkan dengan plastik².

Suara mengusir dan meng'gusah bersahut- sahutan. Dari sawahnya kang Sarkun Sekembang, lari terbang ke pematang sawah pakDé Tro di pèh- pèh atas kali, terbang lagi ke arah sawah kang Sumadi, diusir ke arah milik Yu Ponem, berikutnya ke sawah selatan Jengglong, di'gusah terbang ke sawah² miring kidul Jurang Gantung. Nah, disitu sawah kang Lardi diserang kawanan emprit. Kadang² terbang lagi ke sawah selatan miliki Agus dan entah tidak tahu terbang kemana lagi burung² itu.

Kalau sudah beranjak senja, relatif tidak ada lagi burung² datang. Mungkin saja sudah kenyang. Lantas anak² Gilang rutin ke tempatnya kang Didet. Biasa. Mémèt cari ikan di anak sungai kecil Jurang Gantung. Banyak sekali ikan di sana. Utamanya ikan wader, ikan gabus dan uceng. Karena alirannya agak kecil satu lubuk di'obok²' sebentar menjadi keruh. Maka ikan² wader bermunculan ke permukaan. Mungkin gak tahan dengan air keruh. Tiap sore begitu. Sepertinya banyak sekali ikan di sana, tiap hari diambil dan gak habis². Sore itu semua anak lepas kaos bahkan ada yang telanjang. Habis dapat banyak langsung dibakar dengan jerami kering atau 'klaras' daun pisang di persawahan. Saya, Hari, Lardi, Saeran, Wiyono, Parno, dan masih banyak lagi berpesta ikan Wader bakar di senja itu. Dimakan dengan nasi bawaan dari rumah tadi siang. Makan bersama² di tengah sawah dengan daun pisang. Asikkk...nya kala itu.

Tapi kalau lagi bosan cari ikan, sore- sore bersama menyusuri anak sungai itu ke arah atas. Atau sembari pulang lewat sawahnya wong dari wangan Péh-péh ke hilir atas. Sambil mancing, cari cacing buat umpan. Sampai di 'watu Jib'. Yang hingga sekarang masih tegar di situ. Biar diterjang banjir kapanpun tetap tak bergerak. Terus ke atas ke lubuk 'Clangap'. Sampai paling atas 'Celep'. Maklum dahulu aliran 'klegung' besar. Masih banyak lubuk² yang dalam untuk mandi dan 'ciblon'. Hewan² liar juga masih ada. 'Lisang', 'Sliro', luwak, 'bankong', trenggiling, ulo weling dan garangan.

Orang² tua kami melarang ke sungai kalau lagi pas waktu dhuhur tiba alias 'beduk deng'. Katanya ada bajul. Maka tidak ada anak² yang berani pas saat beduk deng. Di tepi² sungai dahulu banyak buah 'uyah²an' yang merah² berarti matang. Kami semua suka makan itu. Juga dapat buah 'Gucén'. 'Blondot ranti'. 'Urang²an', buah 'cokak'. Begitu sampai di persawahan wong Surén banyak sekali tomatnya. Besar² dan merah². Akhirnya dicuri dan dimakan.

*Tempat lewat ke pasar* . DAHULU Orang dari beberapa desa di Jawa Tengah seperti dari Sempon, Kalijati, Gandu, Mesih, dan Templek jika pergi ke pasar ada yang lewat Gilang. Mereka harus lewat muara sungai di Kali Mesih, yang biasa untuk pemandian sapi² dan tempat penyebrangan penduduk desa Templek menyeberang ke pasar Gilang. Biasanya penduduk drda Templék sudah pagi² berangkat ke pasar melewati kali Mesih. Bahkan berangkat sebelum subuh dan matahari terbit. Kalau dilihat dari atas tampak indah iring²an obor 'oncor' api mereka menyusuri jalan setapak yang masih gelap. Sambil memikul barang dagangan, membawa hasil panen, menggendeng ayam, menuntun kambing, membawa pisang, dan apa saja untuk dijual di pasar Prapatan Gilang ataupun di pasar Dagung. Lewat sawah terus melewati 'Puntuk Bunder' terus ke desa Mesih. Kalau sampai di situ sudah agak terang, 'oncor' api mereka padamkan dan disimpan di bawah² gerumbul 'koro', pager luntas, atau ditaruh balik pagar. Nanti kalau pulang diambil lagi.

*Jelang buka puasa*
Main 'dok- dokan' alias meriam karbit. 'Baleman'. Ini sudah menjadi rutinitas turun temurun sejak entah kapan. Area tempat meriam 'dok-dokan' pastinya di miring kulon, di tegalané mbah Kasnu, oro² tefal mbah Rijem, lereng tegal yung Menis yang mengarah ke desa Dengkéng dan Templék. Bunyinya "....dor...dor... dor" bersahut²an. Bergema merambat ke lembah -lembah persawahan. Mendapatkan balasan dari arah Templék tapi punya mereka hanya lirih bikin anak² Gilang ketawa. Giliran meriam besar yaitu 'baleman' dinyalakan semua pada tutup telinga. "BLARRR...BLARRR..." "jeGLUUURRR....". Meledak bagaikan suara bom. Bikin anak² senang dan tertawa² cekikikan. Gembira dia. Padahal orang² Dengkéng teriak bengok² : "rontok gentingku caaaaah... sapiku ucul". "Kocloook... dlondongé sopo to yaaaa".

Tapi kalau sudah dimarahi sama pak Dé... berlarian sembunyi. Disuruh yang tidak keras². Jangan _nyumet_ baLeman. Ada orang sakit. Akhirnya beralih menyalakan dok-dokan bambu. Kang Cepur 'keslomot' api karbit hilang rambutnya. Hari, alisnya, idep nya hilang terbakar. Kang Jumadi hilang alisnya sudah lama sejak awal puasa. Dahulu belum ada kembang api, belum marak mercon dan berbagai variannya. Untuk suara bunyi²an cukup dengan karbit. Dibunyikan biasanya sambil nunggu buka puasa. Begitu mau adzan magrib tiba, semua berlarian pulang minum dan berbuka. Nanti ketemu lagi magrib berjama'ah sambil cerita tentang 'dok- dokan'. Seru memang main dok-dokan.


Bersambung ke seri 3
7 maret 2018 my office room


Tidak ada komentar :

Posting Komentar