Abu Hasan

مجموعة الاسلامية على نهج سلف الأمة

Selasa, 06 Maret 2018

bahaya fatwa ngawur

🇫 🇦 🇹 🇼 🇦
🇳 🇬 🇦 🇼 🇺 🇷


ﻳﻘﻮﻝ ﺍﻹﻣﺎﻡ ﻣﺎﻟﻚ ﺭﺣﻤﻪ ﺍﻟﻠﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ :
" ﺃﺧﺒﺮﻧﻲ ﺭﺟﻞ ﺃﻧﻪ ﺩﺧﻞ ﻋﻠﻰ ﺭﺑﻴﻌﺔ ﺑﻦ ﺃﺑﻲ ﻋﺒﺪ ﺍﻟﺮﺣﻤﻦ ﻓﻮﺟﺪﻩ ﻳﺒﻜﻲ ، ﻓﻘﺎﻝ ﻟﻪ : ﻣﺎ ﻳﺒﻜﻴﻚ ؟ ﺃﻣﺼﻴﺒﺔ ﺩﺧﻠﺖ ﻋﻠﻴﻚ؟ ﻓﻘﺎﻝ : ﻻ ، ﻭﻟﻜﻦ ﺍﺳﺘﻔﺘﻲ ﻣﻦ ﻻ ﻋﻠﻢ ﻟﻪ ﻭﻇﻬﺮ ﻓﻲ ﺍﻹﺳﻼﻡ ﺃﻣﺮ ﻋﻈﻴﻢ ، ﻭﻗﺎﻝ : ﻭﻟَﺒﻌﺾ ﻣﻦ ﻳﻔﺘﻲ ﻫﺎ ﻫﻨﺎ ، ﻭﻟﺒﻌﺾ ﻣﻦ ﻳﻔﺘﻲ ﻫﺎ ﻫﻨﺎ ﺃﺣﻖُّ ﺑﺎﻟﺴﺠﻦ ﻣﻦ ﺍﻟﺴُّﺮَّﺍﻕ ، ﺃﺣﻖ ﺑﺎﻟﺴﺠﻦ ﻣﻦ ﺍﻟﺴﺮﺍﻕ ."

Imam Malik berkisah :
“Suatu ketika, al-Imam Malik datang menemui Rabi’ah bin Abdurrahman, lalu beliau melihatnya sedang menangis tersedu- sedu. Lalu Imam Malik berkata: “Apa yang membuatmu menangis? apakah ada musibah yang menimpamu?”
al-Imam Rabi’ah bin Abdurrahman berkata: “(Seraya sesenggukan), tidak sama sekali. Aku menangis karena orang-orang yang tidak berilmu telah dimintai fatwa, sehingga muncullah kerusakan besar di tengah agama Islam ini”.
*“Sebenarnya, sebagian orang yang lancang berfatwa, lebih pantas untuk dipenjara dibanding para pencuri”.*  (Sumber: Al-Fasawy, al-Ma’rifat wa at-Tarikh 1/376)

Banyaknya fatwa² dan statemen² nyeleneh dan menyimpang di zaman ini seharusnya pelakunya dipenjara. Seperti berfatwa : bolehnya memilih pemimpin kafir, bolehnya mengucapkan selamat natal (lahirnya anak tuhan), bolehnya misa bersama, nikah sesama jenis dan nikah beda agama tidak apa². Dan sebagainya. Harusnya dikerangkéng di balik jeruji besi.

ﻳﻘﻮﻝ ﺑﻌﺾ ﺍﻟﺴﻠﻒ " :
ﺃﺷﻘﻰ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﻣﻦ ﺑﺎﻉ ﺁﺧﺮﺗﻪ ﺑﺪﻧﻴﺎﻩ ، ﻭﺃﺷﻘﻰ ﻣﻨﻪ ﻣﻦ ﺑﺎﻉ ﺁﺧﺮﺗﻪ ﺑﺪﻧﻴﺎ ﻏﻴﺮﻩ .."
(الحلية : 5/325)

Sebagian salaf berkata :
"Manusia paling celaka adalah yang menjual akhiratnya dengan dunia, manusia paling celaka adalah yang menjual akhiratnya dengan dunia selainnya.."

Seharusnya seseorang apsbila berbicara berdasarkan Ilmunya. Tidak asal ceplas- ceplos ngomong asal nyeplos (asbun) apalagi tentang masalah² besar dalam agama.

Abdullah bin Mas’ud berkata,

ﻳﺎ ﺃﻳﻬﺎ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﻣﻦ ﻋﻠﻢ ﺷﻴﺌﺎ ﻓﻠﻴﻘﻞ ﺑﻪ ﻭﻣﻦ ﻟﻢ ﻳﻌﻠﻢ ﻓﻠﻴﻘﻞ ﺍﻟﻠﻪ ﺃﻋﻠﻢ ﻓﺈﻥ ﻣﻦ ﺍﻟﻌﻠﻢ ﺃﻥ ﻳﻘﻮﻝ ﻟﻤﺎ ﻻ ﻳﻌﻠﻢ ﺍﻟﻠﻪ ﺃﻋﻠﻢ

"Wahai manusia barangsiapa yang berilmu tentang sesuatu maka hendaklah ia berkata dengan ilmunya tersebut dan barangsiapa yang tidak berilmu (tidak mengetahui) maka hendaklah ia berkata “Allahu A’lam” (Allahlah yang labih mengetahui) karena sesungguhnya merupakan ilmu seseorang berkata “Allahu A’lam” tentang perkara yang ia tidak mengetahui ilmunya"

ﻗﺎﻝ ﺍﺑﻦ ﻭﻫﺐ " : ﺳﻤﻌﺖ ﻣﺎﻟﻜﺎ ﻳﻘﻮﻝ : ﺍﻟﻌﺠﻠﺔ ﻓﻲ ﺍﻟﻔﺘﻮﻯ ﻧﻮﻉ ﻣﻦ ﺍﻟﺠﻬﻞ ﻭﺍﻟﺨﺮﻕ ."

Ibnu Wahab berkata :
"Tergesa² berfatwa adalah bentuk kebodohan dan kedunguan"

Ibnu Mas'ud juga berkata,

ﺇﻥ ﺍﻟﺬﻱ ﻳﻔﺘﻲ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﻓﻲ ﻛﻞ ﻣﺎ ﻳﺴﺘﻔﺘﻮﻧﻪ ﻓﻴﻪ ﻣﺠﻨﻮﻥ

((Sesungguhnya orang yang berfatwa kepada manusia pada setiap perkara yang mereka tanyakan maka ia adalah orang gila)) [2]

Kenyataan Pahit dan Menyedihkan

Suatu hal yang sangat patut untuk disedihkan yang merajalela saat ini adalah banyak sekali para pemuda di negeri-negeri Islam yang semangat dalam berdakwah dan menjadi para aktivis dakwah, begitu besar ghiroh mereka terhadap agama mereka, namun mereka sangat jauh dari ilmu syar’i, mereka tidak memiliki semangat untuk menuntut ilmu. Mereka sangat jauh dari para ulama. Dasar² (ilmu ushul) yang seharusnya mereka miliki keropos. Yang lebih menyedihkan lagi adalah sikap mereka yang sangat berani dalam berfatwa tanpa ilmu (berbicara tentang agama Allah tanpa landasan ilmu).

Kita dapati ada diantara mereka yang telah terjun di medan dakwah lebih dari sepuluh tahun namun jika ditanya tentang beberapa permasalahan yang berkaitan dengan sholat atau puasa atau ibadah-ibadah yang lainnya maka mereka tidak menguasai jawabannya dan merekapun membabi buta dalam memberikan jawaban. Bahkan yang lebih menyedihkan lagi mereka berfatwa pada perkara-perkara yang berkaitan dengan kepentingan banyak orang, yang berkaitan dengan keselamatan kaum muslimin secara umum….sungguh menyedihkan dan aneh, mereka tidak mengerti hukum-hukum yang berkaitan dengan kepentingan individu-individu mereka sendiri, lantas bagaimana mereka berani berfatwa tentang perkara-perkara yang berkaitan dengan orang lain, berkaitan dengan kemaslahatan negeri dan bahkan yang berkaitan dengan kepentingan orang banyak…???, bahkan yang berkaitan dengan darah kaum muslimin??.

Apakah agama ini bisa dipimpin oleh orang-orang yang tidak paham dengan ilmu syar’i…?? Lantas bagaimanakah nasib agama ini jika demikian…??.

Dan sungguh mengherankan, jika seluruh manusia di atas muka bumi ini baik yang sholeh maupun yang fajir bersepakat bahwasanya tidaklah mungkin seseorang bisa membangun bangunan kecuali jika ia memiliki keahlian tentang bangunan, namun anehnya kenapa mereka meremehkan perkara yang sangat urgen yaitu dakwah, yang jauh lebih urgen dari segala urusan dunia??, kenapa mereka yang tidak menguasai ilmu syar’i nekat memimpin gerakan-gerakan dakwah???, apakah mungkin dakwah bisa dibangun oleh orang-orang yang tidak menguasai ilmu syar’i??

Kita dapati juga sebagian orang berani masuk dalam area orang lain. Banyak orang yang memiliki gelar doktor dalam bidang keduniaan nekat untuk masuk dalam area para ulama. Merekapun ikut nimbrung dalam permasalahan-permasalahan agama, mereka berani berfatwa tentang permasalahan-permasalahan agama, bahkan mereka berani untuk memprotes ulama??. Apakah mereka tidak malu mentertawakan diri mereka sendiri…?, benar memang mereka ahli dalam bidang kimia, fisika, kedokteran, tekhnologi, dan lain-lain namun pada hakekatnya mereka jahil dalam masalah agama.

Mereka tidak menguasai Al-Qur’an dengan baik, tidak menguasai cabang-cabang ilmu yang berkaitan dengan hadits dan ilmu-ilmu 'ushul' yang lain. Bahkan diantara mereka ada yang belum bisa membaca Al-Qur’an dengan baik apalagi mengerti bahasa Arab, namun nekat untuk nimbrung dalam berfatwa. Gatal ingin juga nimbrung bahas agama.

Renungkanlah…kalau ada seorang ulama yang benar-benar ‘alim dalam agama namun tidak menguasai ilmu kedokteran lantas nekat untuk nimbrung di ruang operasi untuk melaksanakan operasi, apakah kita membenarkannya??. Orang-orang pasti mengatakan bahwa ulama ini sudah tidak waras, apalagi jika sang ulama tersebut ingin menjadi pemimpin dalam jalannya operasi tersebut. Meskipun ulama ini berniat baik untuk menolong sang pasien namun jelas pasti yang terjadi malah akan mengakibatkan hal yang fatal bagi sang pasien, dan bisa jadi membinasakan sang pasien.

Demikian juga kita katakan sebaliknya, jika ada seorang dokter yang tidak menguasai ilmu agama ikut nimbrung dalam area para ulama yang sedang mengobati umat yang kritis agama mereka, krisis aqidah mereka, yang sakit akhlak mereka, dan seterusnya, maka kita katakan dokter ini adalah seorang dokter yang tidak waras. Apalagi dokter ini ingin memegang kepemimipinan dalam berdakwah…???. Apakah yang akan terjadi dengan umat ini??, bukankah kebinasaan dan kehancuran yang akan dirasakannya??.

Inilah yang terjadi saat ini, betapa banyak aktivis dakwah yang menjadi ujung tombak gerakan-gerakan dakwah namun sangat minim pengetahuan agama mereka….

Rasulullah _shallallahu ‘alaihi wasallam_ bersabda,

ﺇﺫﺍ ﻭﺳﺪ ﺍﻷﻣﺮ ﺇﻟﻰ ﻏﻴﺮ ﺃﻫﻠﻪ ﻓﺎﻧﺘﻈﺮ ﺍﻟﺴﺎﻋﺔ

"((Jika diserahkan urusan kepada yang bukan ahlinya maka tunggulah tibanya hari kiamat))" [3]

ﻓﺴﺌﻠﻮﺍ ﻓﺄﻓﺘﻮﺍ ﺑﻐﻴﺮ ﻋﻠﻢ ﻓﻀﻠﻮﺍ ﻭﺃﺿﻠﻮﺍ

"((…Merekapun ditanya lalu mereka berfatwa tanpa ilmu maka merekapun sesat dan menyesatkan))" [4]

Yang lebih sakit lagi adalah banyak diantara para pemuda tersebut yang tidak SADAR bahwa diri mereka sebenarnya adalah orang-orang yang jahil tentang ilmu agama. Bahkan yang lebih parah lagi mereka merasa bahwa diri mereka adalah orang-orang yang alim sehingga terkumpulah pada mereka dua kebodohan (bodoh kuadrat). Jahil murokkab. Pertama mereka adalah bodoh, dan yang kedua adalah mereka bodoh (tidak tahu) bahwa mereka adalah bodoh.

Berkata Al-Kholil bin Ahmad,

ﺍﻟﺮﺟﺎﻝ ﺃﺭﺑﻌﺔ ﺭﺟﻞ ﻳﺪﺭﻱ ﻭﻻ ﻳﺪﺭﻱ ﺃﻧﻪ ﻳﺪﺭﻱ ﻓﺬﺍﻙ ﻏﺎﻓﻞ ﻓﻨﺒﻬﻮﻩ ﻭﺭﺟﻞ ﻻ ﻳﺪﺭﻱ ﻭﻳﺪﺭﻱ ﺃﻧﻪ ﻻ ﻳﺪﺭﻱ ﻓﺬﺍﻙ ﺟﺎﻫﻞ ﻓﻌﻠﻤﻮﻩ ﻭﺭﺟﻞ ﻳﺪﺭﻱ ﻭﻳﺪﺭﻱ ﺃﻧﻪ ﻳﺪﺭﻱ ﻓﺬﺍﻙ ﻋﺎﻗﻞ ﻓﺎﺗﺒﻌﻮﻩ ﻭﺭﺟﻞ ﻻ ﻳﺪﺭﻱ ﻭﻻ ﻳﺪﺭﻱ ﺃﻧﻪ ﻻ ﻳﺪﺭﻱ ﻓﺬﺍﻙ ﻣﺎﺋﻖ ﻓﺎﺣﺬﺭﻭﻩ

“Orang-orang itu ada empat macam, (1) seorang yang mengetahui dan tidak mengetahui bahwasanya ia mengetahui, itulah orang yang lalai maka ingatkalah ia. (2) Dan seorang yang tidak tahu dan ia mengetahui bahwasanya ia tidak tahu, itulah orang yang jahil (bodoh) maka ajarilah ia. (3) Dan seorang yang mengetahui dan ia tahu bahwasanya ia mengetahui, itulah orang yang pandai maka ikutilah. (4) Dan seorang yang tidak tahu dan tidak tahu bahwsanya ia tidak tahu, itulah orang tolol sekali maka jauhilah ia” [5]

Ia Juga berkata,
“Manusia itu ada tiga macam, dua macam diajari dan yang satu tidak diajari. Orang yang alim dan mengetahui bahwa ia adalah alim, orang ini diajari. Dan seorang yang alim namun ia tidak mengetahui bahwa ia tahu maka kedua orang ini juga diajari. Dan orang yang tidak mengetahui dan ia memandang bahwa ia mengetahui maka ini tidak diajari” [6]

Berkata seorang penyair

ﻭﻣﻦ ﻧﺎﻝ ﺍﻟﻌﻠﻮﻡَ ﺑﻐﻴﺮ ﺷﻴﻮﺥٍ
ﻳﻀﻞُّ ﻋﻦ ﺍﻟﺼﺮﺍﻁ ﺍﻟﻤﺴﺘﻘﻴﻢِ
ﻭﺗﻠﺘﺒﺲ ﺍﻷﻣﻮﺭُ ﻋﻠﻴﻪ ﺣﺘﻰ
ﻳﻜﻮﻥَ ﺃﺿﻞَّ ﻣﻦ ﺗَﻮْﻣَﻰ ﺍﻟﺤﻜﻴﻢِ
ﺗﺼﺪَّﻕَ ﺑِﺎﻟْﺒﻨﺎﺕِ ﻋﻠﻰ ﺭﺟﺎﻝٍ
ﻳﺮﻳﺪ ﺑﺬﻟﻚ ﺟﻨﺎﺕِ ﺍﻟﻨَّﻌِﻴﻢِ

"Barangsiapa yang meraih ilmu tanpa melalui guru maka ia akan tersesat dari jalan yang lurus
Dan perkara-perkara menjadi rancu baginya hingga lebih sesat daripada Hakim Tauma.
Hakim Tauma telah (berfatwa untuk) menyedekahkan para wanita kepada para lelaki karena ia berharap masuk surga yang penuh kenikmatan."

Tentunya fatwa Hakim Tauma ini menyelisih syari’at karena syari’at kita mewajibkan mahar dalam pernikahan. Ia berniat baik tatkala berfatwa yaitu bersedekah bagi para lelaki yang mungkin kesulitan mencari mahar untuk menikah, namun niat baik saja tidaklah cukup apalagi jika melanggar syari’at.
Karena terlalu dan sangat keterlaluan bodohnya Hakim Tauma hingga dikatakan bahwa himar (keledai) tunggangannya berkata

ﻗﺎﻝ ﺣﻤﺎﺭ ﺍﻟﺤﻜﻴﻢ ﺗﻮﻣﻰ ﻟﻮ ﺃﻧﺼﻒ ﺍﻟﺪَﻫْﺮُ ﻛﻨﺖُ ﺃﺭﻛﺐُ
ﻷَﻧَّﻨِﻲ ﺟَﺎﻫﻞ ﺑَﺴِﻴْﻂٌ ﻭﺻﺎﺣﺒﻲ ﺟﺎﻫﻞٌ ﻣﺮﻛَّﺐُ

Berkata himar (tunggangannya) si Hakim Tauma
“Kalau memang zaman itu adil mestinya akulah yang menunggangi
Karena aku bodoh murni sementara tuanku bodoh kuadrat” [7]

Bahaya berfatwa tanpa ilmu

Allah berfirman,

ﻭَﻻَ ﺗَﻘْﻒُ ﻣَﺎ ﻟَﻴْﺲَ ﻟَﻚَ ﺑِﻪِ ﻋِﻠْﻢٌ ﺇِﻥَّ ﺍﻟﺴَّﻤْﻊَ ﻭَﺍﻟْﺒَﺼَﺮَ ﻭَﺍﻟْﻔُﺆَﺍﺩَ ﻛُﻞُّ ﺃُﻭﻟـﺌِﻚَ ﻛَﺎﻥَ ﻋَﻨْﻪُ ﻣَﺴْﺆُﻭﻻً ‏( ﺍﻹﺳﺮﺍﺀ : 36 )

"Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggunganjawabnya". (QS. 17:36)

ﻗُﻞْ ﺇِﻧَّﻤَﺎ ﺣَﺮَّﻡَ ﺭَﺑِّﻲَ ﺍﻟْﻔَﻮَﺍﺣِﺶَ ﻣَﺎ ﻇَﻬَﺮَ ﻣِﻨْﻬَﺎ ﻭَﻣَﺎ ﺑَﻄَﻦَ ﻭَﺍﻹِﺛْﻢَ ﻭَﺍﻟْﺒَﻐْﻲَ ﺑِﻐَﻴْﺮِ ﺍﻟْﺤَﻖِّ ﻭَﺃَﻥ ﺗُﺸْﺮِﻛُﻮﺍْ ﺑِﺎﻟﻠّﻪِ ﻣَﺎ ﻟَﻢْ ﻳُﻨَﺰِّﻝْ ﺑِﻪِ ﺳُﻠْﻄَﺎﻧﺎً ﻭَﺃَﻥ ﺗَﻘُﻮﻟُﻮﺍْ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟﻠّﻪِ ﻣَﺎ ﻻَ ﺗَﻌْﻠَﻤُﻮﻥَ ‏( ﺍﻷﻋﺮﺍﻑ : 33 )

Katakanlah: "Rabbku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak maupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) kalian mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu dan (mengharamkan) kalian berbicara tentang Allah apa saja yang tidak kamu ketahui"". (QS. 7 :33)

Syaikh Utsaimin berkata,
“Sesungguhnya pembicaraan tentang permasalahan-permasalahan agama (tanpa ilmu) adalah sangat berbahaya karena hal ini merupakan pembicaraan tentang Allah tanpa ilmu” [8]

Berkata Al-Munawi,
_"((…Karena sesungguhnya seseorang yang berfatwa pada hakekatnya adalah wakil Allah dalam menjelaskan hukum-hukum Allah, maka jika ia berfatwa di atas kebodohan atau tanpa ilmu atau menggampangkan dalam berfatwa atau dalam mengambil hukum maka ia telah menyebabkan dirinya untuk masuk ke dalam neraka karena keberaniannya yang ngawur tentang hukum-hukum Allah."

Allah berfirman

ﻗُﻞْ ﺃَﺭَﺃَﻳْﺘُﻢ ﻣَّﺎ ﺃَﻧﺰَﻝَ ﺍﻟﻠّﻪُ ﻟَﻜُﻢ ﻣِّﻦ ﺭِّﺯْﻕٍ ﻓَﺠَﻌَﻠْﺘُﻢ ﻣِّﻨْﻪُ ﺣَﺮَﺍﻣﺎً ﻭَﺣَﻼَﻻً ﻗُﻞْ ﺁﻟﻠّﻪُ ﺃَﺫِﻥَ ﻟَﻜُﻢْ ﺃَﻡْ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟﻠّﻪِ ﺗَﻔْﺘَﺮُﻭﻥَ ‏( ﻳﻮﻧﺲ : 59 )

Katakanlah: "Terangkanlah kepadaku tentang rezeki yang diturunkan Allah kepadamu, lalu kamu jadikan sebagiannya haram dan (sebagiannya) halal". Katakanlah: "Apakah Allah telah memberikan izin kepadamu (tentang ini) atau kamu mengada-adakan saja terhadap Allah?" (QS. 10:59)

Az-Zamakhsyari berkata,
_“Cukuplah ayat ini sebagai peringatan yang sangat keras terhadap sikap nekat dalam hukum perkara-perakra yang ditanyakan dan merupakan pendorong untuk wajib berhati-hati dalam hal ini dan agar tidak seorangpun berkata tentang hukum sesuatu bahwasanya hukumnya adalah boleh atau tidak boleh kecuali setelah mantap (mengusai dengan baik hukumnya) dan dalam keadaan yakin. Barangsiapa yang tidak dalam keadaan yakin –tatkala berfatwa- maka hendaknya ia takut kepada Allah dan hendaknya ia diam karena jika tidak maka ia telah berdusta atas nama Allah”))_ [9]

Seseorang bertanya kepada ‘Amr bin Dinar suatu perkara dan ‘Amr bin Dinar tidak memberikan jawaban kepadanya maka orang itu berkata, 

“Sesungguhnya ada sesuatu pada diriku tentang perkara ini maka jawablah!”, maka ‘Amr berkata,

ﻷﻥ ﻳﻜﻮﻥ ﻓﻲ ﻧﻔﺴﻚ ﻣﺜﻞ ﺃﺑﻲ ﻗﺒﻴﺲ ﺃﺣﺐ ﺇﻟﻲ ﻣﻦ ﺃﻥ ﻳﻜﻮﻥ ﻓﻲ ﻧﻔﺴﻲ ﻣﻨﻬﺎ ﻣﺜﻞ ﺍﻟﺸﻌﺮﺓ

“Jika dalam dirimu terdapat sesuatu seberat gunung Abu Qubais lebih aku sukai daripada ada pada diriku (keraguan) tentang perkara ini seberat sehelai rambut” [10]

Oleh karena itu fatwa merupakan hak para ulama (yaitu hak orang-orang yang benar-benar berilmu), karena merekalah pewaris para nabi. Rasulullah _shallallahu ‘alaihi wasallam_ bersabda

ﻭﺇﻥ ﺍﻟﻌﻠﻤﺎﺀ ﻭﺭﺛﺔ ﺍﻷﻧﺒﻴﺎﺀ ﻭﺇﻥ ﺍﻷﻧﺒﻴﺎﺀ ﻟﻢ ﻳﻮﺭﺛﻮﺍ ﺩﻳﻨﺎﺭﺍ ﻭﻻ ﺩﺭﻫﻤﺎ ﺇﻧﻤﺎ ﻭﺭﺛﻮﺍ ﺍﻟﻌﻠﻢ ﻓﻤﻦ ﺃﺧﺬﻩ ﺃﺧﺬ ﺑﺤﻆ ﻭﺍﻓﺮ

"((Dan para ulama adalah pewaris para nabi, dan para nabi tidaklah mewariskan dinar dan dirham namun mereka mewariskan ilmu, maka barangsiapa yang mengambil ilmu maka ia telah mendapatkan bagian yang banyak))" [11]

Ibnus Sholah mengomentari hadits ini,
“Maka Rasulullah _shallallahu ‘alaihi wa sallam_ menetapkan keistimewaan bagi para ulama yang dengan keistimewaan tersebut mereka mengungguli seluruh manusia, dan pekerjaan mereka yaitu berfatwa menjelaskan bahwa mereka memang berhak untuk mendapatkan keistimewaan tersebut di hadapan orang-orang yang meminta fatwa. Oleh karena itu dikatakan bahwa fatwa adalah tanda tangan dari Allah…."

Berkata Muhamaad bin Al-Munkadir,

ﺇﻥ ﺍﻟﻌﺎﻟﻢ ﺑﻴﻦ ﺍﻟﻠﻪ ﻭﺑﻴﻦ ﺧﻠﻘﻪ ﻓﻠﻴﻨﻈﺮ ﻛﻴﻒ ﻳﺪﺧﻞ ﺑﻴﻨﻬﻢ

“Sesungguhnya seorang alim berposisi antara Allah dan makhluknya maka hendaknya ia melihat bagaimana ia masuk di antara mereka” [12]

Nabi _shallallahu ‘alaihi wa sallam_ telah bersabda,

ﻣﻦ ﺃﻓﺘﻲ ﺑﻐﻴﺮ ﻋﻠﻢ ﻛﺎﻥ ﺇﺛﻤﻪ ﻋﻠﻰ ﻣﻦ ﺃﻓﺘﺎﻩ

"((Barangsiapa yang berfatwa tanpa ilmu maka dosanya bagi orang yang memberi fatwa))" [13]
Ibnu Umar berkata,

ﻳﺮﻳﺪﻭﻥ ﺃﻥ ﻳﺠﻌﻠﻮﻧﺎ ﺟﺴﺮﺍ ﻳﻤﺮﻭﻥ ﻋﻠﻴﻨﺎ ﻋﻠﻰ ﺟﻬﻨﻢ

“Mereka (orang-orang yang meminta fatwa) ingin menjadikan kami jembatan untuk mereka lalui di atas api neraka” [14]

Bagaimana jika fatwa seseorang yang berbicara tanpa ilmu tersebut diamalkan oleh ratusan orang atau bahkan ribuan orang, tentunya seluruh dosa-dosa mereka akan dipikul oleh orang tersebut.
Maka barangsiapa yang ditanya tentang fatwa maka hendaknya ia diam dan ia mengalihkannya kepada orang yang lebih alim darinya atau ia serahkan fatwa tersebut kepada orang yang lebih alim tersebut dan ini adalah sikap para salaf

Berkata Al-Qosim bin Muhammad,

ﻗﺎﻝ ﻭﺍﻟﻠﻪ ﻷﻥ ﻳﻌﻴﺶ ﺍﻟﺮﺟﻞ ﺟﺎﻫﻼ ﺑﻌﺪ ﺃﻥ ﻳﻌﻠﻢ ﺣﻖ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﺧﻴﺮ ﻟﻪ ﻣﻦ ﺃﻥ ﻳﻘﻮﻝ ﻣﺎﻻ ﻳﻌﻠﻢ

“Demi Allah seseorang hidup dalam keadaan bodoh setelah mengetahui hak Allah atas dirinya maka lebih baik daripada ia berkata tanpa ilmu” [15]

Sikap para salaf yang takut untuk berfatwa karena takut salah dalam berfatwa. Dan mereka takut akan menanggung akibat yang berat di akhirat.

Berkata Ibnu Abi Laila,

ﻟﻘﺪ ﺃﺩﺭﻛﺖ ﻋﺸﺮﻳﻦ ﻭﻣﺎﺋﺔ ﻣﻦ ﺃﺻﺤﺎﺏ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻣﻦ ﺍﻷﻧﺼﺎﺭ ﺇﻥ ﻛﺎﻥ ﺃﺣﺪﻫﻢ ﻟﻴﺴﺄﻝ ﻋﻦ ﺍﻟﻤﺴﺄﻟﺔ ﻓﻴﺮﺩﻫﺎ ﺇﻟﻰ ﻏﻴﺮﻩ ﻓﻴﺮﺩ ﻫﺬﺍ ﺇﻟﻰ ﻫﺬﺍ ﻭﻫﺬﺍ ﺇﻟﻰ ﻫﺬﺍ ﺣﺘﻰ ﺗﺮﺟﻊ ﺇﻟﻰ ﺍﻷﻭﻝ ﻭﺇﻥ ﻛﺎﻥ ﺃﺣﺪﻫﻢ ﻟﻴﻘﻮﻝ ﻓﻲ ﺷﻲﺀ ﻭﺍﻧﻪ ﻟﻴﺮﺗﻌﺪ

“Sungguh aku telah bertemu dengan 120 sahabat Nabi [] dari kaum Anshor, sungguh ada salah seorang dari mereka ditanya tentang satu permasalahan maka iapun melemparkannya kepada yang lainnya, maka yang ini melemparkan kepada yang itu, dan yang itu menyerahkannya kepada yang ini hingga kembalilah permasalahan tersebut kepada orang yang pertama tadi, dan sungguh salah seorang dari mereka berkata tentang sesuatu dan ia dalam keadaan gemetar” [16]

Beliau juga berkata,

ﺃﺩﺭﻛﺖ ﻋﺸﺮﻳﻦ ﻭﻣﺎﺋﺔ ﻣﻦ ﺍﻷﻧﺼﺎﺭ ﻣﻦ ﺃﺻﺤﺎﺏ ﻣﺤﻤﺪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻣﺎ ﻣﻨﻬﻢ ﻣﻦ ﺃﺣﺪ ﻳﺤﺪﺙ ﺇﻻ ﻭﺩ ﺃﻥ ﺃﺧﺎﻩ ﻛﻔﺎﻩ ﺇﻳﺎﻩ ﻭﻻ ﻳﺴﺘﻔﺘﻰ ﻋﻦ ﺷﻲﺀ ﺇﻻ ﻭﺩ ﺃﻥ ﺃﺧﺎﻩ ﻛﻔﺎﻩ ﺍﻟﻔﺘﻮﻯ

“Aku bertemu dengan 120 sahabat Nabi [] dan tidak seorangpun dari mereka yang berbicara kecuali ia berharap saudaranya telah mencukupkan perkataannya (sehingga ia tidak perlu lagi berbicara) [17], dan tidak seorangpun dari mereka yang berfatwa tentang suatu perkara kecuali ia berharap agar saudaranya telah mencukupi fatwanya (sehingga ia tidak perlu lagi berfatawa)” [18]

Lihatlah bagaimana keadaan sekarang yang telah berbalik, terjungkir terbalik, sesuatu yang para salaf lari darinya (yaitu berfatwa) namun sekarang malah diminati dan sebaliknya sesuatu yang dituntut (untuk berfatwa dengan hati-hati dan di atas ilmu) namun sekarang malah dijauhi [19]

Abdurrahman bin Mahdi berkata,
“Seorang pria menemui Malik bin Anas berhari-hari lamanya untuk bertanya tentang suatu perkara, namun Malik tidak memberi jawaban, maka iapun berkata, “Wahai Abu Abdillah sesungguhnya aku ingin keluar (kota) dan aku telah lama berulang-ulang bolak-balik menemuimu!”. Maka Malikpun menundukan kepalanya lama kemudian ia mengangkat kepalanya dan berkata, “Masya Allah wahai fulan, sesungguhnya aku tidaklah berkata kecuali yang menurutku baik dan aku tidak bisa menguasai jawaban pertanyaanmu ini” [20]

Dari Al-Haitsam bin Jamil ia berkata,
“Aku menyaksikan Imam Malik bin Anas ditanya 48 pertanyaan dan ia berkata pada 32 pertanyaan tersebut “Aku tidak tahu””

Dan diriwayatkan juga darinya bahwa ia ditanya suatu pertanyaan lalu ia berkata,
“Aku tidak tahu” maka dikatakan kepadanya “Ini adalah pertanyaan yang ringan dan mudah!”, maka iapun marah dan berkata, “Tidak ada dalam ilmu sesuatupun yang ringan, tidakkah engkau mendengar firman Allah:

ﺇِﻧَّﺎ ﺳَﻨُﻠْﻘِﻲ ﻋَﻠَﻴْﻚَ ﻗَﻮْﻻً ﺛَﻘِﻴﻼً ‏( ﺍﻟﻤﺰّﻣِّﻞ : 5 )

"Sesungguhnya Kami akan menurunkan kepadamu perkataan yang berat". (QS. 73:5)

Maka ilmu itu seluruhnya berat terutama sesuatu yang akan ditanya pada hari kiamat (yaitu orang yang berfatwa akan dimintai pertanggungjawabannya pada hari kiamat-pen)”

Imam Malik juga berkata,
“Jika para sahabat Nabi [] merasa berat untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan dan tidaklah salah seorang dari mereka menjawab hingga ia melihat pendapat sahabatnya yang lain, padahal mereka telah dianugrahi taufiq dan kelurusan dari Allah dan sucinya hati-hati mereka maka lantas bagaimanakah dengan kita yang kesalahan-kesalahan serta dosa-dosa kita telah menutup hati-hati kita” [21]

Berkata Ibnu Kholdah kepada Robi’ah,

ﻳﺎ ﺭﺑﻴﻌﺔ ﺇﻳﺎﻙ ﺃﻥ ﺗﻔﺘﻲ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﻓﺈﺫﺍ ﺟﺎﺀﻙ ﺍﻟﺮﺟﻞ ﻳﺴﺄﻟﻚ ﻓﻼ ﺗﻜﻦ ﻫﻤﺘﻚ ﺃﻥ ﺗﺨﺮﺟﻪ ﻣﻤﺎ ﻭﻗﻊ ﻓﻴﻪ ﻭﻟﺘﻜﻦ ﻫﻤﺘﻚ ﺃﻥ ﺗﺘﺨﻠﺺ ﻣﻤﺎ ﺳﺄﻟﻚ ﻋﻨﻪ

“Wahai Robi’ah waspadalah engkau dari memberi fatwa kepada manusia, maka jika datang kepadamu seseorang yang bertanya kepadamu maka janganlah tujuanmu adalah untuk menyelematkan dia (si penanya) dari apa yang sedang ia alami, namun jadikanlah tujuanmu adalah agar engkau bisa selamat dari pertanyaannya” [22]

Ada orang yang bertanya kepada Imam Malik dan Imam Malik tidak menjawabnya maka ia berkata,
“Wahai Abu Abdillah jawablah pertanyaanku!”, Imam Malik berkata, “Celaka engkau apakah engkau hendak menjadikan aku hujjah antara aku dan Allah?, maka aku yang lebih dahulu butuh untuk aku melihat bagaimana keselamatanku kemudian aku menyelamatkan engkau” [23]

Oleh karena itu tidaklah Ibnul Musayyib berfatwa kecuali ia berkata,

ﺍﻟﻠﻬﻢ ﺳﻠﻤﻨﻲ ﻭﺳﻠﻤﻪ ﻣﻨﻲ

“Ya Allah selamatkanlah aku dan selamatkanlah ia dariku” [24]

Berkata Imam Malik,
“Terkadang aku menerima satu pertanyaan yang menjadikan aku tidak bisa makan dan minum serta tidak bisa tidur”

Beliau juga berkata,
“Sungguh aku pernah memikirkan satu permasalahan sejak belasan tahun namun aku belum bisa memiliki pendapat yang pas hingga sekarang”.

Beliau juga berkata,
“Terkadang aku menemukan permasalahan maka akupun memikirkannya beberapa malam” [25]

Dan dari Imam Malik juga bahwasanya terkadang beliau ditanya 50 pertanyaan maka ia tidak menjawab kecuali satu pertanyaan saja dan ia berkata,

ﻣﻦ ﺃﺟﺎﺏ ﻓﻲ ﻣﺴﺄﻟﺔ ﻓﻴﻨﺒﻐﻲ ﻣﻦ ﻗﺒﻞ ﺃﻥ ﻳﺠﻴﺐ ﻓﻴﻬﺎ ﺃﻥ ﻳﻌﺮﺽ ﻧﻔﺴﻪ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﺠﻨﺔ ﻭﺍﻟﻨﺎﺭ ﻭﻛﻴﻒ ﻳﻜﻮﻥ ﺧﻼﺻﺔ ﻓﻲ ﺍﻵﺧﺮﺓ ﺛﻢ ﻳﺠﻴﺐ ﻓﻴﻬﺎ

“Barangsiapa yang menjawab suatu pertanyaan maka hendaknya sebelum ia menjawab maka ia meletakan dirinya diantara surga dan neraka dan bagaimanakah jalan keluar di akhirat kemudian ia menjawab pertanyaan tersebut”

Berkata sebagian orang,
“Demi Allah Imam Malik jika ditanya suatu pertanyaan maka demi Allah ia sedang berdiri antara surga dan neraka”

Imam Malik jika sedang duduk maka ia menggerakan kedua bibirnya untuk berdzikir kepada Allah dan ia tidak menengok ke kanan dan ke kiri, dan jika ia ditanya tentang suatu permasalahan maka berubahlah warna kulit wajahnya, dan ia berkulit merah maka berubahlah jadi kuning (pucat) dan ia menundukan kepalanya dan menggerakan kedua bibirnya kemudian berkata

ﻣﺎ ﺷﺎﺀ ﺍﻟﻠﻪ ﻻ ﺣﻮﻝ ﻭﻻ ﻗﻮﺓ ﺇﻻ ﺑﺎﻟﻠﻪ ‏[ 26]

Beliau berkata, “Tidak ada sesuatupun yang lebih berat bagiku daripada aku ditanya tentang permasalahan halal dan haram”

Berkata Asy-Syatibhi mengomentari perkataan Malik, “Karena hal ini adalah memutuskan hukum Allah. Sungguh aku telah bertemu dengan para ulama dan ahli fiqih di negeri-negeri kami, dan sungguh salah seorang dari mereka jika ditanya tentang satu permasalahan maka seakan-akan kematian dihadapan mereka, dan aku melihat penduduk negeri zaman kita ini mereka begitu suka berbicara tentang halal dan haram dan suka berfatwa. Jika seandainya mereka berhenti memikirkan akhir yang mereka tuju kelak maka mereka akan mempersedikit hal ini.

Sesungguhnya Umar bin Al-Khotthob, Ali, dan seluruh para sahabat yang mulia jika mereka berhadapan dengan permasalahan-permasalahan –padahal mereka adalah generasi yang terbaik yang diutus kepada mereka Nabi [] maka merekapun mengumpulan para sahabat Nabi _shallallahu ‘alaihi wa sallam_ dan merekapun bertanya kepada mereka, kemudian setelah itu mereka berfatwa. Adapun penduduk zaman kita sekarang ini jadilah kebanggaan mereka adalah berfatwa” [27]

Ada seseorang yang bertanya kepada Imam Malik tentang suatu permasalahan dan sang penanya tersebut menyebutkan bahwa ia diutus dari perjalanan sejauh enam bulan perjalanan dari Magrib untuk menanyakan permasalahan tersebut. Maka Imam Malik berkata, “Katakan kepada yang mengutusmu bahwa aku tidak memiliki ilmu tentang permasalahan ini”. Orang itu berkata, “Kalau begitu siapakah yang mengetahui permasalahan ini?”, Imam Malik berkata, “Orang yang diajari oleh Allah”.

Imam Malik ditanya oleh seseorang tentang permasalahan dan orang tersebut telah dititipkan oleh penduduk Magrib kepadanya, maka Imam Malik berkata, “Aku tidak tahu, kami tidak pernah menghadapi permasalahan seperti ini, dan kami tidak pernah mendengar guru-guru kami berbicara tentang permasalahan ini akan tetapi kembalilah engkau ke Magrib”. Dan tatkala keesokan harinya orang itupun datang dan telah mengangkat barang-barangnya di atas begolnya yang ia tunggangi dan ia berkata, “Pertanyaanku bagaimana?”, Imam Malik berkata, “Aku tidak tahu jawabannya”, orang itupun berkata, “Wahai Abu Abdillah aku telah meninggalkan di belakangku orang yang berkata bahwa tidak ada di atas muka bumi ini yang lebih pandai daripada engkau”, Imam Malikpun berkata, “Ada apa denganmu jika engkau tidak bersedih, jika engkau kembali maka kabarkanlah mereka bahwa aku tidak menguasai jawaban pertanyaan itu” [28]

Berkata As-Syatibhi,
“Dan riwayat-riwayat dari imam Malik tentang perkataannya “Aku tidak tahu” dan “Aku tidak menguasai permasalahan ini” sangatlah banyak hingga dikatakan kalau ada seseorang yang ingin memenuhi bukunya dengan perkataan Imam Malik “Aku tidak tahu” maka ia akan bisa melakukannya”… dan dikatakan kepada beliau, “Jika engkau berkata wahai Abu Abdillah “Aku tidak tahu” maka siapakah yang mengetahui?, maka Imam Malik berkata, “Celaka engkau, apakah engkau mengetahui siapa aku?, dan siapakah aku?, apakah kedudukanku hingga aku harus mengetahui apa yang kalian tidak ketahui?”, kemudian Imam Malik berhujjah dengan hadits Ibnu Umar dan ia berkata, “Lihatlah Ibnu Umar, ia berkata, “Aku tidak tahu”, lantas siapakah aku??, sesungguhnya yang membinasakan manusia adalah ujub dan mencari kedudukan”…

Beliau juga pernah berkata,
“Umar bin Al-Khottob pernah berhadapan dengan permasalahan-permasalahan ini dan ia tidak menjawabnya” [29]

Berkata Abu Hushoin,

ﺇﻥ ﺃﺣﺪﻫﻢ ﻟﻴﻔﺘﻲ ﻓﻲ ﺍﻟﻤﺴﺄﻟﺔ ﻭﻟﻮ ﻭﺭﺩﺕ ﻋﻠﻰ ﻋﻤﺮ ﺑﻦ ﺍﻟﺨﻄﺎﺏ ﺭﺿﻲ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻨﻪ ﻟﺠﻤﻊ ﻟﻬﺎ ﺃﻫﻞ ﺑﺪﺭ

“Sesungguhnya salah seorang dari mereka (yang hidup di zamannya-pen) sungguh berfatwa tentang suatu permasalahan yang jika permasalahan tersebut ditanyakan pada Umar bin Al-Khottob maka ia akan mengumpulkan para sahabat yang ikut perang Badar untuk menjawab pertanyaan tersebut” [30]

Berkata Sufyan bin ‘Uyainah,

ﺃﺟﺴﺮ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻔﺘﻴﺎ ﺃﻗﻠﻬﻢ ﻋﻠﻤﺎ

“Orang yang paling berani berfatwa adalah orang yang paling sedikit ilmunya”[31]

Perkataan “Aku tidak tahu” bukanlah aib bahkan merupakan kemuliaan. Merupakan perangkap syaitan yang sangat halus yaitu seseorang jika berada bersama orang-orang yang ilmu mereka lebih sedikit dari ilmunya. [32] maka terkadang ia tanpa ia sadari telah memposisikan dirinya sebagai seorang imam diantara mereka dan ia berusaha untuk tidak mengakui ketidaktahuannya pada suatu perkara yang ditanyakan kepadanya yang ia tidak memiliki ilmu tentang perkara tersebut, bahkan terkadang jika mereka sedang membicarakan sesuatu permasalahan maka iapun masuk diantara mereka dan memberikan keputusan hukum perkara tersebut padahal ia tidak memiliki ilmunya. Terkadang ia memposisikan dirinya seakan-akan ia adalah seorang ahli hadits dan seorang ahli fikih padahal ia tidak mengetahui bahwa seungguhnya ia telah membinasakan dirinya sendiri. [33]

Syaikh Utsaimin berkata,
“…Apakah yang menyebabkan seseorang untuk berbicara tanpa ilmu?, sebabnya karena ia ingin terangkat, ingin ia mengungguli para sahabatnya, ingin disebut-sebut, ingin popularitas agar ia dijuluki seorang ‘allamah (yang sangat alim), fahhamah (yang sangat paham), laut yang luas (yaitu yang sangat luas ilmunya), dan yang semisalnya. Dan tidak diragukan lagi ini adalah termasuk perangkap-perangkap syaitan. Yang wajib bagi engkau adalah engkau mengetahui ukuran dirimu dan janganlah engkau memposisikan dirimu lebih dari ukuranmu” [34]

Ketahuilah bahwasanya perkataan seseorang yang ditanya kemudian ia tidak tahu jawabannya “Aku tidak tahu” tidaklah merendahkan kedudukannya sebagaimana yang disangkakan oleh sebagian orang-orang bodoh bahkan perkataannya ini akan mengangkat derajatnya. Karena ini merupakan tanda akan kuat agamanya, ketakwaannya, bersihnya hatinya, sempurnanya ilmunya, serta kehati-hatiannya.

Hanyalah enggan untuk mengatakan “Aku tidak tahu” orang yang lemah agamanya dan sedikit ilmunya karena ia takut jatuh di mata para hadirin, dan hal ini merupakan kebodohan dan lemahnya agama. Dan bisa jadi ia terkenal di kalangan manusia dengan kesalahan-kesalahannya karena ketidak hati-hatiannya dalam berfatwa (menjawab) maka iapun terjatuh pada sesuatu yang ia lari darinya, dan iapun disifati oleh manusia dengan sifat yang ia lari darinya". [35]

Oleh karena itu Al-Qosim bin Muhammad berkata,

ﺇﻥ ﻣﻦ ﺇﻛﺮﺍﻡ ﺍﻟﻤﺮﺀ ﻧﻔﺴﻪ ﺃﻥ ﻻ ﻳﻘﻮﻝ ﺇﻻ ﻣﺎ ﺃﺣﺎﻁ ﺑﻪ ﻋﻠﻤﻪ

“Termasuk bentuk pemuliaan seseorang terhadap diri sendiri yaitu ia tidak berkata kecuali sesuatu yang ia kuasai ilmunya” [36]

Berkata orang-orang bijak,

ﻣﻦ ﺍﻟﻌﻠﻢ ﺃﻥ ﻻ ﺗﺘﻜﻠﻢ ﻓﻴﻤﺎ ﻻ ﺗﻌﻠﻢ ﺑﻜﻼﻡ ﻣﻦ ﻳﻌﻠﻢ ﻓﺤﺴﺒﻚ ﺧﺠﻼ ﻣﻦ ﻧﻔﺴﻚ ﻭﻋﻘﻠﻚ ﺃﻥ ﺗﻨﻄﻖ ﺑﻤﺎ ﻻ ﺗﻔﻬﻢ ﻭﺇﺫﺍ ﻟﻢ ﻳﻜﻦ ﺇﻟﻰ ﺍﻹﺣﺎﻃﺔ ﺑﺎﻟﻌﻠﻢ ﻣﻦ ﺳﺒﻴﻞ ﻓﻼ ﻋﺎﺭ ﺃﻥ ﺗﺠﻬﻞ ﺑﻌﻀﻪ ﻭﺇﺫﺍ ﻟﻢ ﻳﻜﻦ ﻓﻲ ﺟﻬﻞ ﺑﻌﻀﻪ ﻋﺎﺭ ﻓﻼ ﺗﺴﺘﺤﻲ ﺃﻥ ﺗﻘﻮﻝ ﻻ ﺃﻋﻠﻢ ﻓﻴﻤﺎ ﻻ ﺗﻌﻠﻢ

“Merupakan ilmu engkau tidak berbicara tentang perkara yang engkau tidak ketahui dengan perkataan orang yang mengetahuinya, cukuplah engkau malu dengan dirimu dan akalmu jika engkau berbicara dengan perkataan yang tidak kau pahami. Jika tidak ada jalan untuk bisa mengetahui seluruh ilmu maka bukanlah aib jika engkau tidak mengilmui sebagaian perkara, dan jika tidak mengetahui sebagian ilmu bukanlah suatu aib maka janganlah engkau malu untuk mengatakan pada perkara yang tidak kau ketahui “Aku tidak tahu”” [37]

As-Sya’bi berkata,

ﻻ ﺃﺩﺭﻱ ﻧﺼﻒ ﺍﻟﻌﻠﻢ

(“Aku tidak tahu” adalah setengah ilmu )[38].

Syaikh Bakr Abu Zaid berkata,
“Jika setengah ilmu adalah perkataan “Aku tidak tahu” maka setengah kebodohan adalah perkataan “Dikatakan…” dan perkataan “Aku sangka…””. [39]

Faedah yang bisa didapatkan bagi orang yang mengatakan “Aku tidak tahu” :
1. Inilah yang wajib baginya.

2. Jika dia tidak menjawab dan berkata, “Aku tidak tahu” maka akan segera datang ilmu kepadanya karena ia akan segera muroja’ah (mencari jawaban) pertanyaan yang tidak bisa ia jawab tersebut atau orang lain yang memeriksa jawabannya. Karena seorang murid jika melihat gurunya tidak menjawab maka ia akan berusaha dengan keras untuk menemukan jawabannya kemudian mengabarkan jawaban tersebut kepada gurunya, maka sungguh baik hal ini.

3. Jika ia tidak menjawab apa yang ia tidak ketahui maka hal ini merupakan indikasi akan terpercayanya dia dan amanahnya serta penguasaannya secara sempurna pada permasalahan-permasalahan yang ia jawab, sebagaimana orang yang berani menjawab perkara-perkara yang ia tidak ketahui maka hal itu akan menimbulkan keraguan pada seluruh perkataannya hingga keraguan pada perkara-perkara yang telah jelaspun.

4. Jika para murid melihat gurunya tidak menjawab perkara-perkara yang tidak diketahuinya maka hal ini merupakan pelajaran bagi mereka untuk bertindak demikian juga, karena meneladani perkataan yang disertai amalan dari sang guru lebih mengena daripada hanya sekedar meneladani perkataan saja.[40]

Berkata Abdullah bin Yazid bin Hurmuz,
“Hendaknya seorang alim mengajarkan para muridnya setelahnya perkataan “Aku tidak tahu” hingga perkataan tersebut menjadi pegangan mereka yang mereka segera menggunakannya jika salah seorang dari mereka ditanya sesuatu yang tidak diketahuinya, maka ia akan berkata, “Aku tidak tahu” ”[41]

Syaikh Bakr Abu Zaid berkata,

ﺟُﻨَّﺔُ ﺍﻟﻌﺎﻟﻢ ﻻ ﺃﺩﺭﻱ

“Perisai seorang yang berilmu adalah perkataan “Aku tidak tahu”” [42]

*Peringatan*
1. Bukan berarti tidak boleh berfatwa tanpa ilmu berarti tidak boleh berfatwa sama sekali bahkan orang yang memiliki ilmu jika ditanya tentang apa yang ia ketahui maka wajib bagi dia untuk menjawabnya hal ini sebgaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam

ﻣﻦ ﺳﺌﻞ ﻋﻦ ﻋﻠﻢ ﻓﻜﺘﻤﻪ ﺃﻟﺠﻢ ﻳﻮﻡ ﺍﻟﻘﻴﺎﻣﺔ ﺑﻠﺠﺎﻡ ﻣﻦ ﻧﺎﺭ

((Barangsiapa yang ditanya tentang ilmu kemudian ia menyembunyikannya maka ia akan dikekang (dimulutnya) pada hari kiamat dengan kekangan dari api neraka)) [43].

Dan hal ini sebagaimana wasiat Ibnu Mas’ud,

ﻳﺎ ﺃﻳﻬﺎ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﻣﻦ ﻋﻠﻢ ﺷﻴﺌﺎ ﻓﻠﻴﻘﻞ ﺑﻪ

((Wahai manusia barangsiapa yang mengilmui sesuatu maka hendaknya ia berkata dengan ilmunya tersebut))

2. Bukan berarti karena takut berfatwa tanpa ilmu maka seseorang meninggalkan dakwah sama sekali dan tidak berdakwah hingga ia menjadi ulama. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda,

ﺑﻠﻐﻮﺍ ﻋﻨﻲ ﻭﻟﻮ ﺁﻳﺔً

((Sampaikanlah dariku meskipun hanya satu ayat)) [44].

Berkata Syaikh Utsaimin,
“Barangsiapa yang menyangka tidak mungkin menggabungkan antara menuntut ilmu dan berdakwah maka ia telah keliru karena sesungguhnya seseorang mungkin baginya untuk belajar sambil mendakwahi keluarganya, tetangganya, kampungnya, penduduk kotanya dan ia sambil menuntut ilmu” [45].

Ada perkara-perkara yang bisa dipahami dengan mudah yang bisa didakwahkan oleh siapa saja. Namun perlu diingat sabda Nabi [] ((dariku)) menunjukan bahwa yang disampaikan harus benar-benar merupakan agama dari Nabi _shallallahu ‘alaihi wasallam._

Penulis: Firanda Andirja
Artikel www.firanda.com

*Catatan Kaki:*
[1] Atsar riwayat Al-Bukhori dalam shahihnya 4/1809 no 4531
[2] Atsar riwayat At-Thobroni dalam Al-Mu’jam Al-Kabir 9/188 no 8923, berkata Al-Haitsami “Para perawinya terpercaya” (Majma’ Az-Zawaid 1/183) dan juga Al-Baihaqi dalam Al-Madkhol ila As-Sunan Al-Kubro 1/432, dan perkataan yang semisal ini juga dikatakan oleh Ibnu Abbas sebagaimana diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dalam Al-Madkhol 1/433
[3] HR Al-Bukhari 1/33 no 59
[4] HR Al-Bukhari 1/50 no 100, Muslim 4/2058 no 2673
[5] Atsar riwayat Al-Baihaqi dalam Al-Madkhol ila As-Sunan Al-Kubro 1/441 no 828
[6]Atsar riwayat Al-Baihaqi dalam Al-Madkhol ila As-Sunan Al-Kubro 1/441 no 829
[7] Lihat kedua syair ini dalam syarah mandzumah Al-Waroqoot oleh Syaikh Utsaimin pada penjelasan makna ilmu
[8] At-Ta’liq Ats-Tsamin hal 322
[9] Faidhul Qodir 1/158-159
[10] Atsar riwayat Al-Baihaqi dalam Al-Madkhol ila As-Sunan Al-Kubro 1/437 no 815
[11] HR Abu Dawud 3/317 no 3641, Ibnu Majah 1/81 no 223, At-Thirmidzi 5/48 no 2682 dari hadits Abu Darda’ dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani.
[12] Fatawa Ibnus Solah 1/7-8 bab ﺑﻴﺎﻥ ﺷﺮﻑ ﻣﺮﺗﺒﺔ ﺍﻟﻔﺘﻮﻯ ﻭﺧﻄﺮﻫﺎ ﻭﻏﺮﺭﻫﺎ
‏[ 13 ] HR Abu Dawud 3/321 no 3657, Ibnu Majah 1/20 no 53 dan dihasankan oleh Syaikh Al-Albani
[14] Faidhul Qodir 1/158-159
[15] Atsar riwayat Al-Baihaqi dalam Al-Madkhol ila As-Sunan Al-Kubro 1/434 no 806
[16] Tarikh Bagdad 13/412, Tarikh Ad-Dimasyq 36/87 dari Sufyan Ibnu Uyainah ia berkata, “Telah mengabarkan kepadaku ‘Ato’ bin As-Saib dari Ibni Abi Laila….”
[17] Tidak sebagaimana sekarang dimana kebanyakan orang mereka menghendaki merekalah yang berbicara
[18] Atsar riwayat Al-Baihaqi dalam Al-Madkhol ila As-Sunan Al-Kubro 1/433 no 800
[19] Faidhul Qodir 1/159
[20] Fatawa Ibnus Solah 1/13
[21] Fatawa Ibnus Solah 1/13-15
[22] Atsar riwayat Al-Baihaqi dalam Al-Madkhol ila As-Sunan Al-Kubro 1/439 no 823
[23] Al-Muwafaqoot 4/288
[24] Atsar riwayat Al-Baihaqi dalam Al-Madkhol ila As-Sunan Al-Kubro 1/439 no 824
[25] Al-Muwafaqoot 4/286 permasalahan yang ketujuh
[26] Al-Muwafaqoot 4/286 permasalahan yang ketujuh
[27] Al-Muwafaqoot 4/287
[28] Al-Muwafaqoot 4/288
[29] Al-Muwafaqoot 4/289
[30] Atsar riwayat Al-Baihaqi dalam Al-Madkhol ila As-Sunan Al-Kubro 1/434 no 803
[31] Fatawa Ibnus Solah 1/12
[32] Berbeda jika ia sedang berada diantara orang-orang yang ilmunya lebih daripada dia atau setara dengannya maka ia cenderung untuk lebih berhati-hati karena takut ketahuan kesalahan-kesalahannya.
[33] Ma’alim fi toriq tolabil ‘ilmi hal 249
[34] At-Ta’liq Ats-Tsamin hal 322
[35] Ma’alim fi toriq tolabil ‘ilmi hal 206
[36] Atsar riwayat Al-Baihaqi dalam Al-Madkhol ila As-Sunan Al-Kubro 1/434 no 805
[37] Faidhul Qodir 1/158-159
[38] Atsar riwayat Al-Baihaqi dalam Al-Madkhol ila As-Sunan Al-Kubro 1/434 no 810
[39] At-Ta’liq Ats-Tsamin hal 325
[40] Keempat faedah ini disampaikan oleh Syaikh As-Sa’di dalam kitab Al-Fatawa As-Sa’diyah hal 627-629 sebagaimana dinukil dalam buku ma’alim fi toriq tolabil ilmi hal 206-207
[41] Atsar riwayat Al-Baihaqi dalam Al-Madkhol ila As-Sunan Al-Kubro 1/434 no 809
[42] At-Ta’liq Ats-Tsamin hal 325. Kisah : Syaikh Muhammad Amin Asy-Syinqithi –rohimahulloh- jika sedang mengawasi para mahasiswa Universitas Islam Madinah yang sedang melaksanakan ujian kemudian ada diantara mahasiswa yang bertanya kepada beliau tentang soal ujian maka beliau memberi jawabannya, padahal mereka sedang ujian. Tatkala beliau ditanya kenapa beliau memberi tahu jawaban soal ujian maka beliau berdalil dengan hadits ((Barangsiapa yang ditanya tentang ilmu kemudian ia menyembunyikannya maka ia akan dikekang (dimulutnya) pada hari kiamat dengan kekangan dari api neraka)). Kalau seluruh pengawas ujian seperti beliau…???
[43] HR Ibnu Majah 1/97 no 264, At-Thirmidzi 5/29 no 2649 dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani
[44] HR Al-Bukhari 3/1275 no 3274, para ulama berbeda pendapat tentang makna ayat dalam hadits ini
1. Ada yang mengatakan bahwa yang dimaksud adalah ayat Al-Qur’an. Berkata Al-Baydhowi, “Maka menyampaikan hadits dipahami dengan mafhum awlawi” (Umdatul Qori 16/45)
2. Ada yang mengatakan bahwa yang dimaksud adalah perkataan yang berfaedah (yaitu hadits-hadits Nabi r)
3. Ada yang mengatakan bahwa yang dimaksud adalah hukum-hukum yang diwahyukan kepada Nabi r maka lebih luas daripada hanya sekedar ayat yang dibaca. (Tuhfatul Ahwadzi 7/360)
[45] Kitabul ilmi hal 162

Tidak ada komentar :

Posting Komentar