Abu Hasan

مجموعة الاسلامية على نهج سلف الأمة

Senin, 04 Januari 2021

BAHAYA PEMIKIRAN SAYYID QUTUB

⛔⛔ *BAHAYA PEMIKIRAN SAYYID QUTUB*

Berikut ini beberapa kekeliruan Pemikiran Sayyid Qutub:

- Memahami makna kalimat tauhid La Ilaaha Illallah. Dia menafsirkan kata ilah dengan Al-Hakim (yang menghukumi). Penafsiran ini persis seperti pemikiran Abul A’la Al Maududi yang ternyata mengambilnya dari filsafat.
"....bahwasanya La ilaaha illallah, yaitu La hakimiyah illa lillah (tidak ada kehakiman kecuali untuk Allah), hakimiyah yang berujud qadla dan qadar-Nya" (Al Adalah Al Ijtima’iyah (Keadilan Sosial) hal.182 cet.12)

- Menafsirkan alQuran yang nelenceng dari pemahaman salaf, dia tafsirkan surat An Nas bahwa Al Ilah adalah Al Musta’li, Al Mustauli, Al Mutasallith, yang semuanya bermakna kurang lebih sama yaitu ”Yang Menguasai”. (Lihat: Fi Zhilalil Qur’an 6/4010)
Maka pemahaman Sayyid Qutub bahwa al ilah adalah al hakim atau al musta’li, al mustauli dan al mutasallith (penguasa), maka perlu dipertanyakan dari mana itu dia mendapatkan pemahaman seperti ini ?. Siapa yang memahami demikian dari kalangan shahabat atau para Salaf?

- Dia selalu memaknakan Al-ilah kepada tauhid Alhakimiyah. Dia mempersempit bahasa Arab dengan makna al-ilah dengan Alhakim. Dia mengatakan : "Tidak ada hakimiyah kecuali dari Allah, serta tidak ada syariat kecuali dari Allah, serta tidak ada kekuasaan seseorang atas seseorang karena kekuasaan seluruhnya milik Allah” (Fi Zhilal 2/1006).

- Sayyid Qutub kabur- kabur dalam memaknakan Robb dan Ilah, Kadang-kadang Sayyid menafsirkan makna uluhiyyah dengan rububiyyah. Terkadang pula sebaliknya. Dia berkata dalam tafsir surat Ibrahim 52 : “Makna Al Ilah adalah Dzat yang berhak menjadi rabb yaitu yang menghakimi, yang memiliki, yang berbuat, yang membuat syari’at dan yang mengarahkan. (Lihat: Fi Zhilalil Qur’an : 4/2114)

- Penafsiran Sayyid terhadap "Laa ilaaha illallah" tidak keluar dari seputar hakimiyyah, kekuasaan, dan kepemimpinan semata. Sayyid bersikap ghuluw pada masalah hakimiyah sampai-sampai dia berkata : “Sesungguhnya kesyirikan mereka (jahiliyah) yang asasi bukan dalam keyakinan tapi dalam masalah hakimiyah” (Fi Zhilal : 3/1492)

- Sayyid Quthb tidak menganggap keberadaan kaum Muslimin. Dia menganggap umat Islam telah lenyap dengan lenyapnya kekhilafahan! Lihatlah dia berkata : ” Kita telah mengetahui bahwa kehidupan Islam seperti ini telah berhenti sejak lama di seluruh permukaan bumi. Dan keberadaan Islam pun telah berhenti … .” (buku Hadlirul Islam wa Mustaqbaluh, islam kini dan Esok).

- Dia menyatakan Islam yang sebenarnya sudah tidak ada. Doa membawakan ayat- ayat tentang hakimiyah bahwa kaum muslimin perlu diislamkan lagi;
”Ketika kita memperhatikan seluruh permukaan hari ini, di bawah cahaya ketetapan Ilahi terhadap pemahaman dien ini, kita tidak mendapatkan keberadaaan dien ini … sesungguhnya keberadaan dien ini telah lenyap sejak kelompok terakhir dari kaum Muslimin melepaskan pengesaan Allah dalam Hakimiyah dalam kehidupan manusia. Yang demikian adalah ketika mereka meninggalkan berhukum dengan syari’at Allah semata dalam segala aspek kehidupan. Kita harus mengakui kenyataan pahit ini dan harus menampakkanya. Janganlah kita khawatir munculnya “putus harapan” dalam hati-hati kebanyakan orang-orang yang suka untuk menjadi Muslimin. Mereka seharusnya meyakini bagaimana mereka dapat menjadi muslimin. Sesungguhnya musuh-musuh dien ini telah menjalankan usaha sejak beberapa abad dan masih tetap melaksanakan usaha-usaha maksimal yang menipu dan jahat untuk merampas kehendak kebanyakan orang yang ingin menjadi Muslimin?” (Al Adalah Al Ijtima’iyah hal. 183-184)

- Bahkan dia berkata bahwa pertikaian antara Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kaum musyrikin jahiliyyah adalah dalam masalah rububiyyah. Berbeda dengan apa yang disampaikan oleh seluruh ulama’ Ahlussunnah.

- Yang paling mengerikan, dia mengkafirkan seluruh kaum muslimin dan umat islam secara tersirat dan tersurat dan meremehkan kesyirikan dalam masalah ibadah. Perhatikanlah ucapannya : ”Termasuk dalam ruang lingkup masyarakat jahiliyah adalah masyarakat yang mengaku dirinya muslim. Masyarakat tersebut masuk kedalam lingkungan ini bukan karena meyakini uluhiyah kepada selain Allah, tetapi mereka masuk ke dalam masyarakat jahiliyah ini karena tidak beragama dengan ‘peribadatan’ pada Allah dalam UNDANG-UNDANG KEHIDUPAN mereka. Maka yang demikian walaupun mereka tidak meyakini uluhiyyah melainkan Allah tetapi mereka telah memberikan yang paling istimewa dari keistimewaan- keistimewaan ketuhanan pada selain Allah dan beragama dengan hakimiyah pada selain Allah.” (Fi Zhilalil Quran).

- Sayib Qutub mengatakan; UMAT ISLAM TELAH MURTAD DAN ADZAB BAGI MEREKA LEBIH KERAS DARI PADA ORANG KAFIR LAINNYA. Sayyid Quthb berkata : ”Telah bergeser jaman, kembali seperti keadaan pada hari datangnya dien ini kepada manusia (yaitu masa jahiliyah). Telah murtad manusia menuju peribadatan kepada hamba-hamba dan menuju kerusakan agama-agama. Mereka telah berpaling dari Laa Ilaaha Illallah, walaupun sekelompok dari mereka masih tetap mengumandangkan di menara-menara adzan Laa Ilaaha Illallah tanpa memahami maksudnya, tanpa mengerti apa konsekwensinya, padahal dia mengulang-ulangnya. Juga tanpa menolak pensyariatan hakimiyah yang diaku oleh para hamba untuk diri-diri mereka. Hal ini sama dengan penuhanan (uluhiyah). Sama saja, apakah diaku oleh pribadi-pribadi atau kelompok pensyariatan ataupun oleh masyarakat…” (fi Zhilalil Qur’an 2/1057)

- Bahkan lebih kejam lagi dia berkata : ”… yaitu kemanusiaan seluruhnya, termasuk di dalamnya mereka yang mengulang-ulang di menara-menara adzan di timur atau di barat bumi ini kalimat Laa Ilaaha Illallah tanpa maksud dan tanpa kenyataan. Mereka paling berat dosanya dan paling keras adzabnya karena mereka telah murtad kepada peribadatan para hamba setelah jelas baginya petunjuk dan karena mereka sebelumnya berada dalam dien Allah”. (Fi Zhilalil Qur’an 2/1057)

- Lihatlah kenyataannya, betapa beraninya Sayyid mengkafirkan kaum Muslimin dan menganggap mereka orang-orang murtad yang paling keras adzabnya. Meskipun mereka masih mengumandangkan adzan dan masih shalat sekalipun. Lantas apa anggapan dia tentang peribadatan mereka di masjid-masjid?

- SAYYID QUTUB; MASJID MENURUT SAYYID ADALAH TEMPAT PERIBADATAN JAHILIYAH
Dia berkata di tafsir surah Yunus 87: ” … inilah pengalaman yang Allah tunjukkan kepada kelompok Mukmin agar menjadi teladan. Bukan khusus bagi Bani Israil. Tapi ini adalah pengalaman iman yang murni. Kadang-kadang orang-orang beriman mendapati diri-diri mereka terusir pada suatu hari dari masyarakat jahiliyah, ketika fitnah telah merata, thoghut telah bertambah sombong dan manusia telah rusak, serta lingkungan telah membusuk. Demikian pula keadaan di jaman Fir’aun pada masa ini. Di sini Allah mengarahkan kita pada beberapa perkara : Memisahkan diri dari masyarakat jahiliyah, busuknya, rusaknya, dan kejelekannya sebisa mungkin. Dan mengumpulkan ‘kelompok mukmin’ yang baik dan bersih dirinya untuk mensucikan, membersihkan, dan melatih serta menyusun mereka hingga datang janji Allah untuk mereka. Menghindari tempat-tempat peribadatan jahiliyah dan menjadikan rumah-rumah ‘kelompok Muslim’ sebagai masjid yang di sana mereka dapat merasakan keterpisahan mereka dari masyarakat jahiliyah. Kemudian di sana mereka melangsungkan peribadatan kepada Rabb mereka dengan cara yang benar. Dan melanjutkan dengan ibadah tersebut menuju semacam keteraturan (tandhim) dalam lingkungan suasana ibadahyang suci. (Fi Zhilalil Qur’an 3/1816) ”

Apa yang akan terjadi kalau dakwah Sayyid seperti ini dibiarkan ? Jelas penafsiran yang bathil ini akan mengakibatkan ditinggalkannya masjid-masjid dan munculnya Neo Khawarij dengan gaya baru yang memisahkan diri dari masyarakat Islam.

- Jalan keluar menurut sayyid Qutub adalah jadi khowarij. Menurut pandangannya; Islam telah lenyap, Muslimin telah murtad, masyarakat Muslimin telah menjadi jahiliyah, Masjid-masjid telah menjadi tempat-tempat peribadatan jahiliyah … . Lalu apa yang harus kita perbuat? Dan bagaimana jalan keluar bagi yang ingin menjadi ‘kelompok muslim’? Dengarlah apa yang dikata Sayyid Quthb berkenaan dengan pertanyaan ini : “Sesungguhnya tidak ada keselamatan bagi ‘kelompok Muslim’ di seluruh dunia dari adzab yang Allah sebutkan : ” … atau Dia mencampurkan kamu dalam golongan-golongan (yang saling bertentangan) dan merasakan kepada sebagian kamu keganasan sebagian yang lain…” (Al An’am 65) Kecuali jika mereka memisahkan keyakinan, perasaan dan juga prinsip hidup mereka dari masyarakat jahiliyah dan memisahkan diri dari kaumnya. Hingga Allah mengijinkan bagi mereka untuk mendirikan negara Islam yang mereka berpegang padanya. Kalau tidak, maka hendaknya mereka merasakan seluruh perasaannya bahwa mereka sendirilah umat Islam dan merasakan bahwa apa dan siapa yang disekelilingnya yang tidak masuk kepada apa yang mereka masuki adalah jahiliyah dan masyarakat jahiliyah … .” (Fi Zhilalil Qur’an 2/1125)

Inilah jalan keluar menurut Sayyid, yaitu dengan menjadi khawarij, mengkafirkan dan memisahkan diri dari umat Islam! Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un. Musibah.

- Sesungguhnya pemikiran takfir Sayyid Quthb tidak mungkin dipungkiri lagi. Bahkan telah diakui pula oleh beberapa tokoh Ikhwanul Muslimin sendiri. Berikut ini kita dengar beberapa ucapan mereka :

- Berkata Yusuf Al Qardlawi dalam bukunya Awliyat Al Harakah Al Islamiyah : “Dalam fase ini muncul buku-buku ‘Asy Syahid’ Sayyid Quthb yang merupakan fase terakhir dari pemikirannya yang mengkafirkan masyarakat (Islam) dan menunda dakwah sampai kepada keteraturan Islam dengan pembaharuan fiqh dan perkembangannya.

- Menghidupkan ijtihad serta mengajak untuk memisahkan diri secara perasaan dari masyarakat, memutus hubungan dengan orang lain, mengumumkan jihad fisik melawan seluruh manusia … ” (Awliyat hal. 110)

- Berkata Farid Abdul Khaliq, salah seorang tokoh besar IM dalam kitabnya Ikhwanul Muslimin fi Mizanil Haq hal. 115: “Kita mengetahui dari apa yang telah lewat bahwa munculnya pemikiran takfir di kalangan Ikhwan bermula dari penjara Qanathir di akhir tahun lima puluhan dan awal enam puluhan. Mereka terpengaruh oleh Sayyid Quthb dan pemikiran-pemikirannya. Mereka mengambil pemahaman darinya bahwa masyarakat ini dalam keadaan jahiliyah dan bahwasanya dia telah mengkafirkan pemerintah yang merasa asing dengan apa yang diturunkan Allah. Juga mengkafirkan rakyatnya karena mereka ridla dengan hal itu”.

- Berkata Ali Gharishah, salah seorang tokoh besar IM, sebagai berikut : “Dalam kejadian ini, terpecah satu kelompok dari kelompok Islam yang besar ketika keberadaan mereka di penjara-penjara … bersamaan dengan itu kelompok tersebut bertameng dengan pengkafiran kelompok Islam yang besar. Mereka masih tetap dalam pendapatnya tentang pengkafiran pemerintah, penolong-penolongnya serta masyarakat seluruhnya. Kemudian kelompok tersebut berpecah kembali menjadi beberapa kelompok, yang masing-masing mengkafirkan yang lain … .” (Al Ittijahat Al Fikriyah Al Mu’ashirah hal. 279)

- Ucapan-ucapan mereka ini menunjukkan bahwa pemikiran takfir Sayyid Quthb telah dikenal oleh kawan dan lawannya. Hanya saja ketika bantahan itu dari ‘kawan’ satu harakah, selalu diiringi dengan basa-basi atau penyamaran agar tidak terlihat seakan-akan permasalahan ini adalah permasalahan besar. Seperti Al Qardlawi setelah ucapannya di atas, dia berkata : ” … Dan buku-buku beliau tersebut memiliki keutamaan-keutamaan dan pengaruh-pengaruh positif yang besar di samping pengaruh-pengaruh negatif.” (Awliyat hal. 110)

- Atau seperti ucapan Ali Gharishah yang tidak menyebutkan siapa atau buku apa atau jama’ah apa, dia hanya mengatakan ‘kelompok kecil’ dan ‘kelompok besar’.
Saudara-saudaraku kaum Muslimin, bisa jadi sikap basa-basi dan penyamaran yang menyebabkan terasa kecilnya bahaya-bahaya besar ini adalah karena mereka satu hizb. Mereka menjaga persatuan dan kesatuan hizbnya dengan prinsip mereka yang terkenal : ‘KITA SALING TOLONG MENOLONG ATAS APA YANG KITA SEPAKATI DAN SALING TOLERANSI ATAS APA YANG KITA BERBEDA’.

- Sayyid Qutub mencela sahabat nabi. Sayyid Quthb tidak mengakui keberadaan khilafah ‘Utsman radliallahu ‘anhu, padahal masa kekhilafahannya paling panjang. Dia berkata : “Kami condong kepada anggapan bahwa khilafah Ali radliallahu ‘anhu adalah kelanjutan dari khilafah dua syaikh sebelumnya (Abu Bakar dan ‘Umar bin Khaththab). Adapun masa ‘Utsman merupakan celah antara keduanya.” (Al Adalah hal. 206). Mengapa? Hal ini setelah Sayyid mengatakan pada halaman sebelumnya tentang ‘Utsman sebagai berikut : “Sesungguhnya diantara kejelekan yang muncul adalah bahwa ‘Utsman mencapai khilafah dalam keadaan tua, telah lemah semangat Islamnya dan lemah keinginannya untuk tetap tegar menghadapi tipu daya Marwan dan tipu daya Bani Umayyah di dalamnya.” (Al Adalah (dalam terbitan Pustaka Salman) hal. 270)

- Bahkan dengan terang-terangan dia meragukan ruh Islam yang ada pada ‘Utsman, yaitu setelah Sayyid menyebutkan cerita-cerita tentang ‘Utsman yang membagi-bagikan harta pada keluarga dan kerabatnya (suka korupsi). Juga setelah menceritakan bahwa ‘Utsman mengangkat gubernur-gubernurnya dari keluarganya sendiri, seperti Mu’awiyah dan Al Hakam radliallahu ‘anhuma dan selainnya.

- Dia juga berkata : ” … Dan bahwasanya para shahabat mengetahui penyelewengan dalam ruh Islam ini. Khalifah dengan ketuaan dan kepikunannnya tidak dapat memegang urusannya dari Marwan. Sesungguhnya sangat susah meragukan ruh Islam di dalam hati ‘Utsman'.... Kesalahan- kesalahannya yang merupakan kesalahan fatal mengenai wilayah dan khilafahnya. Sedangkan dia seorang yang sudah tua renta yang dikelilingi oleh jajaran orang-orang jelek dari Bani Umayyah … .” (Al Adalah hal. 187, cet. kelima dan secara makna pada cet. ke-12 hal. 159, dan dalam terjemahan Pustaka Salman hal. 272).

- Sayyid Quthb justru memuji dan membela para pemberontak yang membunuh ‘Utsman. Dia berkata : ” … akhirnya, terjadilah pemberontakan atas ’Utsman. Tercampur padanya kebenaran dan kebatilan, kebaikan dan kejelekan.Tetapi bagi yang memandang ini dengan ‘kaca mata Islam’ dan merasakan urusan ini dengan ‘ruh Islam’, pasti dia akan menetapkan bahwa pemberontakan tersebut secara keumuman lebih dekat kepada ‘ruh Islam’ dan arahannya daripada sikap ‘Utsman atau lebih tepatnya sikap Marwan dan orang-orang yang di belakangnya dari Bani Umayyah.” (Al Adalah hal.189 cet. ke-5 dan hal. 161, 162 cet. ke-12).

- Sangat jelas. Pandangan Sayyid adalah pandangan Ahlul bid'ah, Syi’ah, Khawarij dan Hizbiy !

Semoga Allah menyelamatkan kaum Muslimin dari penyelewengannya dan membuka mata kaum hizbiyyah agar melihat bahayanya serta menghilangkan sikap fanatik mereka padanya. Amin.

Tidak ada komentar :

Posting Komentar