Abu Hasan

مجموعة الاسلامية على نهج سلف الأمة

Senin, 04 Januari 2021

SHOLAT BERJAMA'AH DI MASA CORONA 2020 (Fatwa)

 LAKI-LAKI WAJIB SHALAT BERJAMA’AH DI MASJID

(diambil dari ceramah Ustadz Yazid bin ‘Abdul Qadir Jawas -hafizhahullaah-)
[1]- Kalau kita lihat fenomena yang ada ketika kita mengalami musibah, bencana yang ada, wabah ini: banyak sekali masjid yang sepi.
[2]- Kita harus kembali kepada asal: yang memerintahkan untuk Shalat berjama’ah adalah (1)Allah -dalam Al-Qur-an-, (2)Rasulullah -shallallaahu ‘alaihi wa sallam-, dan (3)para Shahabat -radhiyallaahu ‘anhum-, kemudian dilaksanakan oleh para Tabi’in, dan Tabi’ut Tabi’in. Dan para imam berpendapat bahwa hukum Shalat berjama’ah itu wajib.
[3]- Pemerintah dan juga MUI telah menjelaskan tentang daerah yang terkena wabah ini: ada daerah merah, kuning dan hijau. Dan ada hmbauan untuk tidak melaksanakan Shalat berjama’ah karena dikhawatirkan penularan. Dan ahli kesehatan juga menjelaskan demikian. Akan tetapi ini untuk daerah yang merah. Dan yang akan dibicarakan di sini adalah untuk daerah yang hijau yang jumlahnya masih banyak di Indonesia ini.
[4]- Pemerintah juga mengumumkan umpama ada terjadi di suatu kabupaten ada satu kecamatan yang terkena wabah dan menjadi daerah wabah; bukan berarti kecamatan lain juga ikut kena; tidak. Demikian juga di suatu kecamatan ada satu desa yang kena; maka bukan berarti desa lain kena.
Dan daerah hijau itu banyak. Ribuan perumahan yang tidak kena. Seperti daerah perumahan yang tidak ada orang lain selain penghuni perumahan tersebut, dan perumahan itu digembok sehingga tidak ada orang lain masuk. Dan ketika dikumandangkan adzan: ada beberapa orang yang Shalat berjama’ah. Dan yang menjadi masalah adalah: adanya orang yang tidak Shalat berjama’ah dengan mengatakan: kita harus ta’at pada Ulil Amri, ikut himbauan pemerintah; maka ini tidak benar. Ini adalah alasan yang dicari-cari. Dan ini masalah berat, bukan masalah kecil.
[5]- Ketika sudah jelas bahwa suatu daerah itu hijau dan aman; maka tetap bagi seorang muslim wajib untuk Shalat berjama’ah. Akan tetapi yang terjadi adalah: salah memahami himbauan pemerintah, MUI, atau departeman kesehatan, dan lainnya.
[6]- Yang harus diperhatikan adalah: bahwa Shalat berjama’ah ini perintah Allah dan perintah Rasulullah -shallallaahu ‘alaihi wa sallam-. Dan daerah dengan kondisi yang aman jumlahnya ribuan. Tapi yang terjadi sekarang ini: banyak orang yang tidak Shalat berjama’ah; padahal aman. Dikumandangkan adzan pada daerah tersebut dan ada yang Shalat berjama’ah -dan itupun biasanya paling cuma beberapa orang-; akan tetapi ada orang-orang yang tidak ikut Shaalat berjama’ah dengan mengatakan: kita harus ta’at kepada ulil amri dan ikut himbauan pemerintah. Maka ini tidak benar yang seperti ini. Ini adalah alasan yang dicari-cari.
[7]- Masalah meninggalkan Shalat berjama’ah ini adalah masalah yang berat; bukan masalah yang kecil. Masalah ini berkaitan dengan iman, berkaitan dengan kemunafikan, berkaitan dengan hukuman Allah, dan lain-lain.
[8]- Kalau kita perhatikan; maka tidak pernah ada terjadi: meninggalkan Shalat berjama’ah seperti ini sejak zaman dahulu, walaupun pada zaman terjadinya wabah. Ketika terjadi di Syam: Abu ‘Ubaidah bin Jarrah -radhiyallaahu ‘anu- terkena Tha’un. Sebelum meninggal; dia berwasiat kepada Mu’adz bin Jabal -radhiyallaahu ‘anhu-: untuk mengimami Shalat. Padahal daerahnya merupakan daerah terkena wabah. Maka Mu’adz bin Jabal -radhiyallaahu ‘anu- pun mengimami Shalat berjama’ah bersama para Shahabat yang lain dan dengan para Tabi’in. Kemudian Mu’adz memberikan wasiat:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ تُوْبُوْا إِلَى اللهِ مِنْ ذُنُوْبِكُمْ، تُوْبُوْا تَوْبَةً نَصُوْحًا
“Wahai manusia! Bertaubatlah kalian kepada Allah dari dosa-dosa kalian! Bertaubatlah dengan taubat yang nashuh (ikhlas dan jujur)!”
Riwayat ini disebutkan dalam kitab “Al-Mustadrak” karya Al-Hakim, jilid yang ketiga dalam Bab: “Ma’rifatush Shahaabah” dan juga disebutkan dalam kitab-kitab tarikh.
[9]- Demikian juga Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-‘Asqalani -rahimahullaah- di dalam kitabnya “Badzlul Ma’uun Fii Fadhlit Thaa’uun” beliau menjelaskan: ketika terjadi wabah tha’un -yang lebih besar dari Corona- yang tha’un ini cepat sekali penularannya dengan angin, dan orang langsung merah kulitnya, keluar nanah, jantung berdebar, kemudian meninggal. Dan yang meninggal jumlahnya puluhan ribu. Tapi Al-Hafizh menjelaskan bahwa ketika terjadi wabah di tempat itu: manusia berbondong-bondong datang ke masjid. Mereka membuang khamr, mereka tinggalkan musik, dan lainnya. Intinya bahwa: masjid adalah tempat untuk berlindung dan bertaubat.
[10]- Dan yang kita bahas di sini bukanlah daerah tempat wabah, tapi daerah hijau. Maka harus jelas perbedaannya. Dan himbauan pemerintah untuk tidak Shalat berjama’ah adalah: untuk daerah merah. Adapun daerah hijau; maka kita tetap wajib Shalat berjama’ah; karena kembali kepada hukum asal bahwa: Shalat berjama’ah itu wajib, berdasarkan dalil-dalil berikut ini:
[11]- Allah berfirman:
{وَأَقِيْمُوا الصَّلَاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ وَارْكَعُوْا مَعَ الرَّاكِعِيْنَ}
“Dan laksanakanlah shalat, tunaikanlah zakat, dan rukuklah beserta orang-orang yang rukuk.” (QS. Al-Baqarah: 43)
Al-Hafizh Ibnu Katsir -rahimahullaah- berkata:
وَقَدِ اسْتَدَلَّ كَثِيْرٌ مِنَ الْعُلَمَاءِ بِهَذِهِ الْآيَةِ عَلَى وُجُوْبِ الْجَمَاعَةِ
“Banyak dari ulama yang berdalil dengan ayat ini atas wajibnya Shalat berjama’ah.”
[12]- Allah juga berfirman berkaitan dengan perang, maka tetap disuruh untuk Shalat berjama’ah, padahal Nabi -Shallallaahu ‘alaihi wa sallam- sedang menghadapi musuh; beliau tetap Shalat berjama’ah -tentunya kaifiyatnya berbeda, sebagaimana dijelaskan dalam kitab-kitab fiqih-:
{وَإِذَا كُنْتَ فِيْهِمْ فَأَقَمْتَ لَهُمُ الصَّلَاةَ فَلْتَقُمْ طَائِفَةٌ مِنْهُمْ مَعَكَ...}
“Dan apabila engkau (Muhammad) berada di tengah-tengah mereka (para shahabatmu) lalu engkau hendak melaksanakan shalat bersama-sama mereka, maka hendaklah segolongan dari mereka berdiri (shalat) besertamu…” (QS. An-Nisaa’: 102)
[13]- Kita harus menyebutkan dalil-dalil tentang wajibnya Shalat berjama’ah, karena banyak kaum muslimin yang tidak mengetahuinya. Banyak di antara kita yang sejak kecil telah dianjurkan oleh orang tua kita untuk Shalat berjama’ah; tapi orang tua kita tidak mengetahui dalil tentang kewajiban dan keutamaan Shalat berjama’ah, dan tidak dijelaskan tentang hukum Shalat berjama’ah.
Sama seperti sekarang: banyak kaum muslimin yang dianjurkan untuk Shalat berjama’ah di masjid; tapi mereka tidak tahu hukum Shalat berjama’ah dan tidak mengetahui akibat jelek dari meninggalkan Shalat berjama’ah. Mereka tidak mendapatkan penjelasan tentang itu.
Maka ketika kondisi seperti sekarang ini; banyak orang yang tidak lagi Shalat berjama’ah. Padahal untuk membina orang agar mau Shalat berjama’ah di masjid; membutuhkan waktu bertahun-tahun.
Dengan adanya fatwa-fatwa yang beredar untuk Shalat di rumah; maka manusia pun tidak lagi ke masjid. Ini perkara berat. Dan untuk mulai membinanya lagi; maka berat. Ini bukan masalah kecil.
[14]- Kita harus kembalikan kepada hukum asal: Allah yang memerintahkan kita untuk Shalat berjama’ah di masjid dan Rasulullah -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- yang memerintahkan kita.
Adanya adzan dikumandangkan “Hayya ‘Alash Shalaah, Hayya ‘Alal Falaah”: adalah untuk Shalat berjama’ah di masjid.
Dan Allah sebutkan bahwa yang meramaikan masjid Allah adalah orang yang beriman:
{إِنَّمَا يَعْمُرُ مَسَاجِدَ اللهِ مَنْ آمَنَ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَأَقَامَ الصَّلَاةَ وَآتَى الزَّكَاةَ وَلَمْ يَخْشَ إِلَّا اللهَ فَعَسَى أُولَئِكَ أَنْ يَكُوْنُوْا مِنَ الْمُهْتَدِيْنَ}
“Sesungguhnya yang memakmurkan masjid Allah hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, serta (tetap) melaksanakan shalat, menunaikan zakat dan tidak takut (kepada apa pun) kecuali kepada Allah. Maka mudah-mudahan mereka termasuk orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. At-Taubah: 18)
Maka, Allah menyaksikan dengan iman bagi orang meramaikan masjid untuk Shalat berjama’ah. Masjid dibangun adalah untuk Shalat berjama’ah; itu yang pokok. Kemudian ada tambahan: untuk menuntut ilmu dan lainnya. Tapi yang pokok: untuk Shalat berjama’ah.
Dan keutamaan Shalat berjama’ah banyak sekali. Di antaranya:
[15]- Rasulullah -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:
صَلَاةُ الْجَمَاعَةِ أَفْضَلُ مِنْ صَلَاةِ الْفَذِّ بِسَبْعٍ وَعِشْرِيْنَ دَرَجَةً
“Shalat berjama’ah itu lebih utama dari Shalat sendiri: 27 derajat.” [HR. Al-Bukhari dan Muslim]
Kalau ada dua perusahaan yang memberikan gaji -untuk pekerjaan yang sama-: satu perusahaan memberikan gaji satu juta dan perusahaan lainnya memberikan gaji 27 juta; maka dengan akal yang waras: pilih yang mana? Pasti yang Kalau ada dua perusahaan yang memberikan gaji -untuk pekerjaan yang sama-: satu perusahaan memberikan gaji satu juta dan perusahaan lainnya memberikan gaji 27 juta; maka dengan akal yang waras: pilih yang mana? Pasti yang 27 juta.
Sekarang, Shalat berjama’ah 27 derajat dibandingkan Shalat sendiri. Di samping Shalat sendiri: belum tentu khusyu’, belum tentu thuma’ninah, belum tentu benar. Berbeda dengan berjama’ah.
[16]- Untuk Shalat berjama’ah: ketika kita berwudhu’ dengan sempurna, kemudian berjalan menuju masjid: maka setiap langkah menghapuskan dosa dan setiap langkah mengangkat derajat, kita masuk masjid berdo’a, kita menunggu Shalat; malaikat mendo’akan, belum lagi diberikan cahaya oleh Allah. Dan banyak lagi keutamaannya. Kita tidak membahas panjang lebar untuk keutamaan Shalat berjama’ah yang banyak sekali; akan tetapi kita akan berbicara tentang hukum: wajibnya Shalat berjama’ah:
[17]- Nabi -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:
وَالَّذِي نَفْسِيْ بِيَدِهِ! لَقَدْ هَمَمْتُ أَنْ آمُرَ بِحَطَبٍ، فَيُحْطَبَ، ثُمَّ آمُرَ بِالصَّلَاةِ، فَيُؤَذَّنَ لَهَا، ثُمَّ آمُرَ رَجُلًا فَيَؤُمَّ النَّاسَ، ثُمَّ أُخَالِفَ إِلَى رِجَالٍ، فَأُحَرِّقَ عَلَيْهِمْ بُيُوْتَهُمْ، وَالَّذِيْ نَفْسِيْ بِيَدِهِ! لَوْ يَعْلَمُ أَحَدُهُمْ، أَنَّهُ يَجِدُ عَرْقًا سَمِيْنًا، أَوْ مِرْمَاتَيْنِ حَسَنَتَيْنِ؛ لَشَهِدَ العِشَاءَ
“Demi Allah Dzat yang jiwaku di tangan-Nya! Sesungguhnya aku berniat untuk mengumpulkan kayu bakar, lalu aku menyuruh adzan untuk Shalat, kemudian aku akan suruh seorang laki-laki mengimami orang-orang Shalat, setelah itu aku akan datang kepada orang-orang yang tidak menghadiri Shalat berjama’ah dan akan aku bakar rumah-rumah mereka. Demi Allah Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya! Seandainya seorang dari mereka tahu bahwa dia akan memperoleh daging yang gemuk atau dua kaki hewan yang berkuku belah yang gemuk; niscaya mereka akan mendatangi Shalat ‘Isya’.” [Muttafaqun ‘Alaihi]
Nabi -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- mengancam akan membakar orang-orang yang tidak Shalat berjama’ah. Kalau ada orang yang mengatakan: bukankah Nabi -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- tidak membakarnya? Jawabannya: Nabi -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- mengancam dan ancaman ini menunjukkan bahwa laki-laki itu meninggalkan sesuatu yang wajib, dan dia berdosa besar. Adapun kenapa Nabi -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- tidak membakar: karena di situ ada yang tidak wajib Shalat berjama’ah; seperti: perempuan dan anak-anak.
[18]- Ada orang yang dipanggil dengan adzan; tapi dia tidak berangkat Shalat, padahal dia ada di rumah. Padahal untuk keluar rumah dia bisa, ke pasar dia bisa, ke mall pun bisa dan kerja dia bisa; tapi kenapa untuk ke masjid: dia tidak bisa?! Padahal ada panggilan Allah yang memerintahkan untuk Shalat: “Hayya ‘Alash Shalaah”, Nabi -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- juga perintahkan untuk Shalat berjama’ah; tapi orang itu tetap tidak mau datang:
Nabi -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:
مَنْ سَمِعَ النِّدَاءَ فَلَمْ يَأْتِهِ، فَلَا صَلَاةَ لَهُ، إِلَّا مِنْ عُذْرٍ
“Barangsiapa yang mendengar panggilan adzan kemudian dia tidak datang; maka tidak ada Shalat bagi dia kecuali karena udzur.”
Udzur syar’i yang membolehkan untuk tidak mendatangi Shalat berjama’ah; seperti: hujan lebat, sakit yang dia tidak mampu untuk datang. Dan itu pun harus antum ingat bahwa Nabi -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- dalam keadaan sakit beliau tetap datang. Di zaman Shahabat sampai ada orang yang dipapah untuk datang ke masjid.
[19]- Ada orang buta di zaman Nabi -shallallaahu ‘alaihi wa sallam-, rumahnya jauh, banyak pohon, tidak ada yang menuntun, dan banyak binatang buas; maka dia bertanya: wahai Rasulullah, apakah saya ada udzur untuk tidak Shalat berjama’ah? Awalnya Nabi -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- katakan: ada udzur. Tapi tidak lama kemudian Nabi -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- kembali memanggilnya dan bertanya:
هَلْ سَمِعْتَ النِّدَاءَ؟
“Apakah engkau mendengar panggilan adzan?”
Dia menjawab: Mendengar. Maka beliau bersabda:
فَأَجِبْ!
“Maka penuhilah (panggilan adzan tersebut)!” [HR. ABu Dawud, dan lainnya]
Ini bagi orang buta, Nabi -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- tetap menyuruhnya untuk Shalat berjama’ah dan tidak memberikannya udzur. Apalagi orang yang bisa melihat.
Antum bisa melihat, maka antum harus datang ke masjid. Ataukah hati antum sudah buta?! Datanglah ke masjid, ini syi’ar agama Islam yang besar, sedangkan Allah berfirman:
{ذَلِكَ وَمَنْ يُعَظِّمْ شَعَائِرَ اللهِ فَإِنَّهَا مِنْ تَقْوَى الْقُلُوْبِ}
“Demikianlah (perintah Allah). Dan barangsiapa mengagungkan syiar-syiar Allah, maka sesungguhnya hal itu timbul dari ketakwaan hati.” (QS. Al-Hajj: 32)
[20]- Kalau kita kembali kepada hukum asal: Al-Qur-an dan As-Sunnah; maka keduanya memerintahkan untuk Shalat berjama’ah. Bahkan Nabi -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- mencontohkan Shalat berjama’ah, dan sampai akhir hayatnya beliau Shalat berjama’ah, hingga beberapa hari menjelang beliau meninggal dunia. Para ulama juga sepakat atas wajibnya Shalat berjama’ah.
Inilah nash, dalil, bukan (hanya dari) kaidah.
Kalaupun Ulil Amri melarang kita dari Shalat berjama’ah -padahal daerahnya adalah daerah aman (zona hijau)-: bolehkah kita ta’at? Tidak boleh ta’at.
Contoh lainnya: kalau Ulil Amri menyuruh kita cukur jenggot; maka tidak boleh ta’at.
Umpama Ulil Amri melarang perempuan pakai jilbab; apakah dita’ati? Tidak boleh dita’ati.
Jelas sekali Nabi -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:
لَا طَاعَةَ لِمَخْلُوْقٍ فِيْ مَعْصِيَةِ اللهِ
“Tidak boleh ta’at kepada makhluk dalam bermaksiat kepada Allah.”
Tidak boleh ta’at kepada siapa pun dalam bermaksiat kepada Allah.
Antum lihat pada zaman Imam Ahmad bin Hanbal -rahimahullaah-, pada zaman Al-Ma’mun, kemudian dilanjutkan oleh Al-Mu’tashim, kemudian Al-Watsiq: mereka memiliki pendapat Mu’atzilah; yaitu mereka mengatakan bahwa Al-Qur-an adalah makhluk, dan semua ulama harus mengikuti pendapat ini. Maka Imam Ahmad tidak mau ta’at, dan beliau berdebat dengan Ibnu Abu Du-ad di depan penguasa. Sampai Imam Ahmad dipenjara. Tetap tidak boleh ta’at kepada Ulil Amri, karena pemerintah menyuruh sesuatu yang mungkar dan bid’ah: mengatakan Al-Qur-an itu makhluk. Imam Ahmad mengatakan: A-Qur-an Kalamullah bukan makhluk.
Tidak boleh ta’at kepada Ulil Amri dalam berbuat dosa dan maksiat.
Di dalam atsar Tabi’in mengatakan: Kalau seandainya ibumu melarangmu dari Shalat berjama’ah; maka tidak boleh engkau ta’ati.
Yang kita dahulukan adalah perintah Allah dan Rasul-Nya, ibu dan bapak wajib kita ta’ati, tapi hanya dalam hal yang ma’ruf, adapun yang maksiat; maka tidak boleh.
Kalau pemerintah melarang dan ulama juga melarang dari Shalat berjama’ah di masjid; maka tidak boleh kita ta’at.
Dan kembali saya tekankan: kita sedang membicarakan daerah yang aman. Kecuali di suatu tempat yang banyak orang mati karena korban Corona atau tempat yang merupakan zona merah; maka tidak boleh kita membinasakn diri kita, sebagaimana firman Allah:
{...وَلَا تُلْقُوْا بِأَيْدِيْكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ...}
“...Dan janganlah kamu jatuhkan (diri sendiri) ke dalam kebinasaan dengan tangan sendiri,...” (QS. Al-Baqarah: 195)
[21]- Kita membahas masalah ini (hukum Shalat berjama’ah); maka kita membahas soal agama, dan ini masalah besar, maka seorang da’i harus berbicara tentang masalah ini. Jangan kemudian kita katakan: kira harus ta’at kepada Ulil Amri dan kita ikut himbauan mereka. Padahal sudah jelas antum itu sebenarnya malas, tidak mau ke masjid; tapi beralasan dengan perkataan Ulil Amri dan ulama. Padahal kalau kita mau teliti lagi dari perbuatan mereka (yang tidak mau Shalat berjama’ah): banyak perintah Ulil Amri yang mereka langgar, banyak sekali -dan tidak perlu kita sebut satu persatu-. Tapi kenapa giliran tidak Shalat berjama’ah: beralasan dengan ta’at Ulil Amri.
[22]- Dan sekarang saya ajak berfikir lagi -dan ini hanya bagi yang waras, yang masih bisa menggunakan akalnya yang waras-: Sekarang, kenapa yang menjadi sasaran itu masjid?! Seolah-olah tempat wabah dan penularannya itu di masjid! Apakah antum tidak merasa berdosa mengatakan demikian?! Apakah antum merasa tidak akan bertanggung jawab di hadapan Allah pada Hari Kiamat?! Antum menjauhkan orang dari masjid!! Menjauhkan orang dari ibadah kepada Allah, yang merupakan kewajiban yang Allah wajibkan dalam Al-Qur-an dan diwajibkan oleh Rasulullah -shallallaahu ‘alaihi wa sallam-!!
Kenapa masjid yang dituduh tempat penularan?! Kenapa bukan pasar?! Padahal masih banyak orang ke pasar tiap harinya! Demikan juga mall dan tempat kerja, banyak juga orang-orang yang masih bertugas yang setiap harinya dia berinteraksi dengan teman-temannya!
Kenapa masjid yang dituduh?! Akhirnya banyak orang-orang tidak ke masjid! Padahal tidak sakit, tidak ada hujan, tidak ada udzur!! Dosa besar!!!
Antum mengajak orang untuk tidak Shalat berjama’ah di masjid: ini bukan maslaah kecil! Ini masalah besar!! Fatwa antum akan ditanya dihadapan Allah pada Hari Kiamat nanti!!!
Kita harus perhatikan bahwa: setiap negara itu berbeda, masing-masing memiliki kebijakan sendiri-sendiri. Di negara kita hanya himbauan, dan tidak ada perkataan MUI yang melarang orang Shalat berjama’ah di masjid.
Orang tidak Shalat berjama’ah di masjid bukan masalah kecil! Ini masalah kemunafikan! Sebagaimana penjelasan ‘Abdullah bin Mas’ud -radhiyallaahu ‘anhu-:
[23]- Disebutkan dalam atsar Ibnu Mas’ud -radhiyallaahu ‘anhu-:
مَنْ سَرَّهُ أَنْ يَلْقَى اللهَ غَدًا مُسْلِمًا، فَلْيُحَافِظْ عَلَى هَؤُلَاءِ الصَّلَوَاتِ حَيْثُ يُنَادَى بِهِنَّ، فَإِنَّ اللهَ شَرَعَ لِنَبِيِّكُمْ -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- سُنَنَ الْهُدَى، وَإِنَّهُنَّ مِنْ سُنَنِ الْهُدَى، وَلَوْ أَنَّكُمْ صَلَّيْتُمْ فِيْ بُيُوْتِكُمْ كَمَا يُصَلِّيْ هَذَا الْمُتَخَلِّفُ فِيْ بَيْتِهِ، لَتَرَكْتُمْ سُنَّةَ نَبِيِّكُمْ، وَلَوْ تَرَكْتُمْ سُنَّةَ نَبِيِّكُمْ لَضَلَلْتُمْ،...وَلَقَدْ رَأَيْتُنَا وَمَا يَتَخَلَّفُ عَنْهَا إِلَّا مُنَافِقٌ مَعْلُومُ النِّفَاقِ، وَلَقَدْ كَانَ الرَّجُلُ يُؤْتَى بِهِ يُهَادَى بَيْنَ الرَّجُلَيْنِ حَتَّى يُقَامَ فِي الصَّفِّ
“Barangsiapa yang senang untuk bertemu dengan Allah pada Hari Kiamat kelak dalam keadaan muslim: hendaklah dia menjaga Shalat yang lima waktu di mana pun diseru (dikumandangkan adzan). Sungguh, Allah telah mensyari’atkan kepada Nabi kalian -shallallaahu ‘alaihi wa sallam-: sunnah-sunnah yang merupakan petunjuk, Shalat lima waktu termasuk sunnah-sunnah petunjuk. Seandainya kalian Shalat di rumah kalian seperti orang yang tertinggal ini (Shalat di rumahnya, tidak berjama’ah di masjid); niscaya kalian akan meninggalkan Sunnah Nabi kalian -shallallaahu ‘alaihi wa sallam-. Seandainya kalian meninggalkan sunnah-sunnah Nabi kalian; niscaya kalian akan sesat...Dan saya melihat pada zaman kami (zaman Shahabat): tidak ada orang yang meninggalkan Shalat berjama’ah kecuali orang munafik yang telah diketahui kemunafikannya. Dan sungguh, sampai ada orang yang dipapah di antara dua orang sampai diberdirikan di shaff.” [Diriwayatkan oleh Muslim, dalam “Kitaabul Masaajid Wa Mawaadhi’ish Shalaah, Baab: Shalaatil Jamaa’ah Min Sunanil Hudaa”. Diriwayatkan juga oleh Imam Abu Dawud dan An-Nasa-i]
Maka berat bagi antum yang meninggalkan Shalat berjama’ah. Perhatikan bahwa Ibnu Mas’ud -radhiyallaahu ‘anhu- seorang shahabat yang mulia yang dijamin masuk Surga; beliau mengatakan:
وَلَقَدْ رَأَيْتُنَا وَمَا يَتَخَلَّفُ عَنْهَا إِلَّا مُنَافِقٌ مَعْلُومُ النِّفَاقِ
“Dan saya melihat pada zaman kami (zaman Shahabat): tidak ada orang yang meninggalkan Shalat berjama’ah kecuali orang munafik yang telah diketahui kemunafikannya.”
Jadi, orang yang meninggalkan Shalat berjama’ah dikatakan oleh Shahabat: munafik. Bukan saya yang mengatakan, bukan ulama yang mengatakan, tapi Shahabat yang mengatakan demikian. Orang yang meninggalkan Shalat berjama’ah, yang dia mendengarkan adzan, di daerah aman, tidak ada ketakutan, tidak ada udzur; tapi dia tidak Shalat berjama’ah: maka dia munafik.
[24]- Jadi, ini bukan masalah kecil. Coba kita sadari bahwa Shalat berjama’ah ini kewajiban dan ini syi’ar dalam agama Islam yang besar. Kenapa kita harus takut?! Kalau antum tanya ke dokter-dokter atau orang yang ahli: sebab kematian dengan corona hanya 1 %, tapi sebab yang lain orang yang mati: 99 %. Karena banyak orang yang sembuh setelah terkena, ribuan yang sembuh.
Kenapa antum tidak Shalat di masjid? Apakah antum takut mati? Bagaimana bisa orang beriman takut mati?! Kematian merupakan satu kepastian, di mana saja kita pasti mati, walaupun di istana yang besar! Allah berfirman:
{أَيْنَمَا تَكُوْنُوْا يُدْرِكْكُمُ الْمَوْتُ وَلَوْ كُنْتُمْ فِيْ بُرُوْجٍ مُشَيَّدَةٍ ... }
“Di manapun kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu, kendatipun kamu berada di dalam benteng yang tinggi dan kokoh...” (QS. An-Nisaa’: 78)
Demikian juga Allah berfirman:
{قُلْ إِنَّ الْمَوْتَ الَّذِي تَفِرُّوْنَ مِنْهُ فَإِنَّهُ مُلَاقِيْكُمْ...}
“Katakanlah, “Sesungguhnya kematian yang kamu lari dari padanya, ia pasti menemui kamu...” (QS. Al-Jumu’ah: 8)
Kematian adalah suatu yang pasti, kenapa kita harus takut? Kita orang beriman!
Sekarang kalau antum mati di pasar, di rumah, di jalan: dibandingkan dengan mati di masjid: maka lebih bagus di masjid kita meninggal. Tentu kita tidak mengharapkan kita mati dengan Shalat di masjid, tapi kalau memang sudah ajal; maka tidak ada yang bisa menolak. Tapi antum harus meyakini bahwa Shalat berjama’ah adalah kewajiban. Kita bertawakal kepada Allah dan kita perbanyak membaca do’a dan dzikir untuk perlindungan diri. Soal kematian; kita serahkan kepada Allah, seseorang tidak akan mati kecuali kalau ajalnya sudah tiba dan bahaya tidak akan menimpa kita kecuali apa yang Allah tetapkan bagi kita. Kalau Allah sudah tetapkan; baru akan mengenai kita, kalau tidak; maka tidak akan kena. Kita sebagai orang yang beriman harus meyakini hal ini, dan ini penting dalam kita beragama. Kita harus memahami masalah ini.
[25]- Kita ingin mati dalam keadaan husnul khatimah, dalam keadaan baik; maka kita laksanakan kewajiban Shalat berjama’ah ini. Keutamaannya besar, jangan sampai kita terhalang darinya. Sedangkan kalau antum Shalat di rumah; maka:
- antum melanggar perintah Allah,
- melanggar perintah Rasulullah -shallallaahu ‘alaihi wa sallam-,
- antum tidak ada udzur Shalat di rumah,
- kemudian dikatakan oleh Ibnu Mas’ud -radhiyallaahu ‘anhu-: munafik,
- tidak mendapatkan pahala berjalan ke masjid,
- tidak mendapat cahaya,
- tidak mendapat do’a malaikat.
Dan antum bisa merasakan bahwa Shalat di rumah: tidak mendapatkan ketenangan. Sekarang kita lihat ketika seorang menganjurkan Shalat di rumah: maka betapa banyak muslim yang tidak bisa baca Al-Qur-an; bukan satu dua orang, bisa ribuan atau jutaan. Maka bagaimana dia bisa jadi imam ketika Shalat di rumah?! Dan saya tahu banyak orang yang tidak bisa membaca Al-Qur-an; bagaimana dia mau mengimami istrinya?! Disuruh Shalat tarawih di rumah -dan boleh Shalat tarawih di rumah- dan membaca dari mush-haf; tapi tidak bisa baca Al-Qur-an, lalu bagaimana dia akan jadi imam?!
[26]- Maka, yang terbaik: kita tetap menganjurkan orang untuk Shalat berjama’ah di masjid. Dan bukan berarti kita menganjurkan orang untuk menuju tempat kebinasaan! Ini masjid, sebaik-baik tempat di muka bumi. Jalankan Shalat berjama’ah ini, dan ini untuk kebaikan kita dan untuk kemaslahatan kita. Dan dengan kita terus Shalat berjama’ah dan kaum muslimin berdo’a dalam Shalatnya, berdo’a di antara adzan dan iqamah: semoga Allah angkat wabah ini. Itu yang harus diingat. Banyaknya orang yang beribadah kepada Allah: akan mengurangi wabah. Karena pada zaman dahulu juga begitu: ketika ada wabah; maka orang ke masjid, mereka berbondong-bondong ke masjid, bertaubat kepada Allah, minta ampun kepada Allah, berdo’a kepada Allah: yang dengannya Allah akan angkat wabah ini.
[27]- Ketika seorang Shalat di rumah: apakah antum yakin bahwa dia Shalat pada waktunya?! Benar atau tidak Shalatnya?! Belum tentu dia Shalat pada waktunya, karena dia Shalatnya di rumah; tidak ada orang yang melihatnya. Mungkin Zhuhur dikerjakan pada waktu ‘Ashar, mungkin ‘Ashar dikerjakan menjelang Maghrib, mungkin Shalatnya dengan cepat.
Beda kalau orang itu Shalat dengan berjama’ah. Ini syi’ar Islam yang besar.
[28]- Maka pada kesempatan ini saya ingin menyampaikan kepada seluruh kaum muslimin dan muslimat, para da’i dan para ustadz: yang saya sampaikan ini adalah kebenaran, berdasarkan dalil dari Al-Qur-an dan As-Sunnah, jangan dilawan dengan kaidah-kaidah fiq-hiyyah. Ini dalil. Yang memerintahkan adalah Allah dalam Al-Qur-an, yang memerintahkan adalah Nabi -shallallaahu ‘alaihi wa sallam-, dan Nabi -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- akan bakar rumah orang-orang yang tidak Shalat berjama’ah:
وَالَّذِيْ نَفْسِيْ بِيَدِهِ! لَقَدْ هَمَمْتُ أَنْ آمُرَ بِحَطَبٍ، فَيُحْطَبَ، ثُمَّ آمُرَ بِالصَّلَاةِ، فَيُؤَذَّنَ لَهَا، ثُمَّ آمُرَ رَجُلًا فَيَؤُمَّ النَّاسَ، ثُمَّ أُخَالِفَ إِلَى رِجَالٍ، فَأُحَرِّقَ عَلَيْهِمْ بُيُوتَهُمْ، وَالَّذِيْ نَفْسِيْ بِيَدِهِ! لَوْ يَعْلَمُ أَحَدُهُمْ، أَنَّهُ يَجِدُ عَرْقًا سَمِيْنًا، أَوْ مِرْمَاتَيْنِ حَسَنَتَيْنِ، لَشَهِدَ العِشَاءَ
“Demi Allah Dzat yang jiwaku di tangan-Nya! Sesungguhnya aku berniat untuk mengumpulkan kayu bakar, lalu aku menyuruh adzan untuk Shalat, kemudian aku akan suruh seorang laki-laki mengimami orang-orang Shalat, setelah itu aku akan datang kepada orang-orang yang tidak menghadiri Shalat berjama’ah dan akan bakar rumah-rumah mereka. Demi Allah Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya! Seandainya seorang dari mereka tahu bahwa dia akan memperoleh daging yang gemuk atau dua kaki hewan yang berkuku belah yang gemuk; niscaya mereka akan mendatangi Shalat ‘Isya’.” [Muttafaqun ‘Alaihi]
Sekarang, sudah berapa bulan Shalat berjama’ah ditinggalkan: dari mulai akhir Maret sampai sekarang, padahal berada di daerah hijau, perumahan-perumahan yang jumlahnya ribuan yang masih daerah hijau.
[29]- Ketika kita bicara ini; maka dijangkau oleh seluruh orang di Indonesia ini yang banyak dari daerah mereka yang tidak terkena covid 19 ini, yang hanya beberapa desa saja yang kena. Tapi dengan adanya fatwa Shalat di rumah; mereka akan menjadikannya sebagai dalil untuk Shalat di rumah. Dan ini berbahaya untuk kita: kita akan ditanya oleh pada Hari Kiamat tentang masalah ini.
Yang saya bawakan adalah dalil dari Al-Qur-an dan As-Sunnah, dan penjelasan para ulama.
[30]- Kalau mau lihat sejarah tentang wabah; maka antum bisa lihat bagaimana zaman dahulu para ulama mengahadapi wabah ini: tidak ada masjid yang ditutup.
Ketika sejarah menyebutkan adanya masjid ditutup -seperti yang disebutkan oleh Imam Adz-Dzhahabi dlam kitabnya “Siyar A’laamin Nubalaa’” di juz yang ke-18-; maka antum lihat kisahnya di situ: orang semua kelaparan, mereka semua lapar. Sedangkan kalau sudah lapar; maka jangankan untuk melangkah; untuk bangun saja tidak bisa, bisa jatuh karena lapar. Maka bagaimana mungkin mereka akan melangkahkan kaki ke masjid? Masjid sepi karena kondisi orang-orang yang kelaparan. Beda dengan orang yang mendapat makanan.
Jadi, antum baca sejarah itu bukan untuk membenarkan bahwa itu menunjukkan bolehnya orang tidak Shalat berjama’ah. Antum harus lihat kondisinya: tidak ada masjid dari zaman Nabi -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- ditutup. Kalau disebutkan bahwa ada hadits yang menunjukkan bahwa Masjidil Haram ditutup; maka itu adalah pintu Ka’bah yang ditutup, dan itupun Nabi -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- tetap Shalat di antara dua rukun Yamani, dan haditsnya shahih ada di Shahih Al-Bukhari.
[31]- Saya berbicara: di daerah hijau. Kita gunakan iman kita, ilmu kita, akal kita yang waras, dan hati kita yang lapang: untuk menerima.
Kalau kita ada perbedaan: maka wajar. Tapi ingat bahwa yang saya bawakan adalah dalil, dan kita harus mengikuti dalil: Al-Qur-an dan As-Sunnah ‘Ala Fahmis Salaf = harus kita ikuti.
Dan ini manfaatnya besar, dengan Shalat berjama’ah ini manfaatnya besar, syi’ar agama Islam yang besar yang harus kita tegakkan, dan dengan menegakkanya; maka akan termasuk orang-orang yang bertakwa. Allah berfirman:
{ذَلِكَ وَمَنْ يُعَظِّمْ شَعَائِرَ اللهِ فَإِنَّهَا مِنْ تَقْوَى الْقُلُوْبِ}
“Demikianlah (perintah Allah). Dan barangsiapa mengagungkan syi’ar-syi’ar Allah, maka sesungguhnya hal itu timbul dari ketakwaan hati.” (QS. Al-Hajj: 32)
Ini harus kita hidupkan lagi. Ajak orang untuk ke masjid, ke masjid, ke masjid. Berdo’alah kepada Allah agar dihilangkan wabah ini dan agar kita dijauhkan dari berbagai malapetaka.
[32]- Insya Allah sebentar lagi wabah ini akan hilang dengan do’anya kaum muslimin, dengan pertolongan Allah -Subhaanahu Wa Ta’aalaa-: akan hilang wabah ini. Sebentar lagi wabah ini akan hilang, tidak lama lagi. Tapi: ajak orang untuk ke masjid, berikan kabar gembira, jangan ditakut-takuti dengan kematian; haram hukumnya menakuti-nakuti orang dengan kematian. Nabi -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- bersada:
لَا يَحِلُّ لِمُسْلِمٍ أَنْ يُرَوِّعَ مُسْلِمًا
“Tidak halal seorang muslim menakut-nakuti muslim lainnya.” [HR. Abu Dawud]
Sekarang yang lancang: bahwa orang ke masjid aman, tidak ada apa-apa, tenang; tapi yang di rumah: kirim SMS, WA: nanti antum kena penyakit ini, penyakit ini.
Kenapa jadi begini?! Ini menunjukkan bahwa yang di rumah: bukan tambah benar, tapi tambah sakit jiwanya. Antum perhatikan ini: dengan tidak Shalat di masjid bukan tambah benar, tapi tambah sakit jiwanya. Dan ini kenyataan, saya bicara kenyataan di masyarakat, saya bergaul dengan masyarakat. Ada orang-orang yang tidak Shalat berjama’ah di masjid menakut-nakuti kaum muslimin yang Shalat berjama’ah. Ini bala’, ini musibah agama yang lebih berat dari musibah corona ini.
[33]- Mudah-mudahan yang saya sampaikan ini bermanfaat untuk saya dan untuk antum sekalian. Dan mudah-mudahan kita dapat mengamalkannya. Dan saya sampaikan semua ini dengan dalil, kalau kita ada perbedaan; maka itu wajar, hatta para ulama dahulu pun ada perbedaan. Tapi ini dalil, kita wajib tunduk kepada dalil, kita wajib ta’at kepada Allah dan Rasul-Nya lebih dari semuanya.
وَصَلَّى اللهُ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ
سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ أَشْهَدُ أَن

Tidak ada komentar :

Posting Komentar