HUKUM SALING MENGUCAPKAN SELAMAT HARI RAYA
- Pada hari raya Idul Fitri maupun Idul Adha sudah biasa mengucapkan "selamat hari raya". Sudah umum, ma'ruf, lumrah.
- Namun, ... ada orang sangat kaku dalam permasalahan ini:
- Dikirimi ucapan selamat hari raya membalasnya tak disangka. Kalimat tambahan takhsis (pengkhususan) setelah tahniah Mohon maaf lahir batin juga diingkari. Lagi- lagi alasannya: tak ada contoh dari nabi. Termasuk kalimat minal 'Aidin wal Faizin. Apa- apa yang tidak ada contoh dari nabi adalah bid'ah.
Ada juga mengingkari tradisi salam- salaman, maaf- maafan dengan pengingkaran yang keras. Kata dia : tak nabi contohkan. Maaf- maafan tak harus nunggu lebaran. Hmmm...
Mereka berpandangan tidak boleh penambahan apapun dalam agama. Karena agama ini sudah sempurna. Nabi dan para sahabatnya tidak pernah mengucapkannya, tidak ada lafadh tersebut dalam riwayat hadits. Baik hadits shohih bahkan maudhu' sekalipun. Benarkah ?
- Apalagi takhsis (pengkhususan) lebaran dengan ketupat. Nabi gak ada makan ketupat !! Mudik? Nabi gak pernah mensunnahkan tradisi mudik !! Buras? Tongseng? Srondéng ? Giliran ada ketupat dimakan juga.
- Lagi, baju baru lebaran. Lagi, kunjung- kunjung keluarga. Lagi salam- salaman. Bahkan setelah sholat ied disalami tetangga langsung ditampik.... Bahkan sikapnya seakan² lebih kaku dari non muslim sekalipun. Prinsip dia semakin keras dalam mengingkari "bid'ah" maka semakin 'nyunnah'. Kaedah darimana bro... Benarkah sikap berlebihan dalam mengingkari tambahan tahniah ini?
- Seharusnya orang yang ghuluw tersebut bertanya pada dirinya; apakah Islam mengingkari 'Urf kebiasaan yang berbeda² dan beraneka ragam dalam kehidupan manusia? Tradisi mudik untuk silaturahim apakah bid'ah mentang² tidak ada contohnya dari nabi?.
Begini. Hukum syariat yang sudah ditetapkan secara nash qoth'i maka 'urf tradisi tidak berpengaruh kepadanya. Seperti: kadar zakat, jumlah rokaat sholat, jumlah thowaf, dsbnya. Adapun sesuatu hukum yang datang dari syariat secara mutlak yang tidak ada perinciannya baik secara bahasa dan istilah maka kembali kepada 'urf. Dan 'Urf yang tidak menyelisihi syariat diakui hukum. (Lihat dalam Al-Asybah wan- Nadhoir, imam Suyuthi)
Pengakuan syariat dalam masalah 'Urf sangat banyak, seperti lafadh ;
- dan pergaulilah istrimu dengan ma'ruf.
- dan bagi orangtuanya memberi nafkah kepada anaknya dengan ma'ruf.
- dan berilah mahar mereka dengan ma'ruf.
- dan ucapkanlah ucapan yang ma'ruf
- perintahkanlah kepada yang ma'ruf
- Hindun bintu Utbah mengadu kepada rosulullah akan suaminya (Abu Sofyan) yang pelit. Maka rosulullah memerintahnya untuk mengambil hartanya secara ma'ruf.
- Dll. Inilah kehujjahan 'urf yang diakui oleh syariat.
Dan namanya 'Urf kebiasaan sudah tentu berbeda dari satu daerah dengan daerah lain. Satu zaman dengan zaman lain. Oleh karena itu kalimat 'Urf / ma'ruf tidak dirinci di dalam syariat. Karena hal itu kembali kepada kondisi tertentu.
Sehingga, hendaknya kita mampu membedakan mana yang perkara hukum syar'i yang qoth'i, dan mana yang mutlak, umum, 'urf, maslahah. Jadi hukum tidak monoton antara: halal dan haram saja. Kemana yang: makruh, jaiz, dan mubah ?
Hendaknya kita mampu membedakan apa itu ibadah, apa itu 'Urf, tradisi kebiasaan. Memang semua tidak dirinci secara tektual di dalam nash. Jika apa- apa beralasan : tidak ada dalil atau tidak ada contoh dari nabi, bukan otomatis antara dalil dengan istidlal sesuai. Bisa jadi benar dari sisi dalil, tapi illat dan mahkum 'alaih (obyek yang dihukumi) belum tentu sesuai. Seakan² itu satu²nya kaedah yang benar dan tidak boleh dibantah. Sama halnya kaedah 'man tasyabbaha biqoumin fahuwa minhum', siapa yang menyerupai suatu kaum maka dia termasuk golongan mereka. Jadinya dipukul rata alias di'gebyah uyah' seakan² semua permasalahan bisa di-dalili dengan kaedah itu;
- Kalau ada yang pakai baju batik, dibilang tasyabbuh dengan kejawén
- Kalau ada yang pakai jaz dan dasi, dibilang tasyabbuh dengan Nasrani
- Kalau mudah bergaul secara luas dibilang tasyabbuh dengan hizbi.
- pernikahan dengan dihiasi bunga² dan anyaman janur dibilang tasyabbuh dengan hindu. Nanti merembet ke yang lain dengan mudah tanpa perincian. Padahal mahkum 'alaihi nya belum tentu cocok.
- Dan sebagainya. Padahal tidak sedangkal itu fiqih. Tidak hitam putih begitu pembahasan tipologi muamalat.
Demikian pula pembahasan ucapan selamat di hari raya. Apakah itu ranah ibadah atau lebih kepada 'urf kebiasaan di Indonesia? Yang harus digaris bawahi adalah ;
- Ulama' kibar saja tidak mengingkari secara berlebihan, kok dia berapi- api menyalahkan?
- Para ulama' banyak mendiamkan masalah 'urf ini, kok dia 'kurang kerjaan' sok- sokan beralih jadi ulama' ahli fatwa; menyalah- nyalahkan tradisi mudik, maaf- maafan, ucapan maaf lahir batin.
- Atau mungkin sudah menjadi manhaj agama mereka; tidak ada kelembutan kepada kaum muslimin di saat mereka bergembira dengan hari rayanya, dia sakiti dengan menyalahkan ucapan hari rayanya.
_________
BEBERAPA RIWAYAT TENTANG UCAPAN SELAMAT DI HARI RAYA
Terdapat berbagai riwayat dari beberapa sahabat radhiyallahu ‘anhum bahwa mereka biasa mengucapkan selamat di hari raya di antara mereka,
فعن جُبَيْرِ بْنِ نُفَيْرٍ قَالَ : كَانَ أَصْحَابُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا اِلْتَقَوْا يَوْمَ الْعِيدِ يَقُولُ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ : تَقَبَّلَ اللَّهُ مِنَّا وَمِنْك . قال الحافظ : إسناده حسن
Dari Jubair bin Nufair, ia berkata bahwa jika para sahabat Rasulullah [] berjumpa dengan hari ‘ied (Idul Fithri atau Idul Adha, pen), satu sama lain saling mengucapkan, “Taqobbalallahu minna wa minka (Semoga Allah menerima amalku dan amal kalian).” Al Hafizh Ibnu Hajar mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan. [1]
Imam Ahmad rahimahullah berkata,
وَلَا بَأْسَ أَنْ يَقُولَ الرَّجُل لِلرَّجُلِ يَوْمَ الْعِيدِ : تَقَبَّلَ اللَّهُ مِنَّا وَمِنْك
“Tidak mengapa (artinya: boleh-boleh saja) satu sama lain di hari raya ‘ied mengucapkan: Taqobbalallahu minna wa minka”.
وَقَالَ حَرْبٌ : سُئِلَ أَحْمَدُ عَنْ قَوْلِ النَّاسِ فِي الْعِيدَيْنِ تَقَبَّلَ اللَّهُ وَمِنْكُمْ .قَالَ : لَا بَأْسَ بِهِ ، يَرْوِيه أَهْلُ الشَّامِ عَنْ أَبِي أُمَامَةَ قِيلَ : وَوَاثِلَةَ بْنِ الْأَسْقَعِ ؟ قَالَ : نَعَمْ .قِيلَ : فَلَا تُكْرَهُ أَنْ يُقَالَ هَذَا يَوْمَ الْعِيدِ .قَالَ : لَا
Salah seorang ulama, Harb mengatakan, “Imam Ahmad pernah ditanya mengenai apa yang mesti diucapkan di hari raya ‘ied (‘Idul Fithri dan ‘Idul Adha), apakah dengan ucapan, ‘Taqobbalallahu minna wa minkum’?” Imam Ahmad menjawab, “Tidak mengapa mengucapkan seperti itu.”
Ada pula yang mengatakan, “Apakah Watsilah bin Al Asqo’ juga berpendapat demikian?” Imam Ahmad berkata, “Betul demikian.” Ada pula yang mengatakan, “Mengucapkan semacam tadi tidaklah dimakruhkan pada hari raya ‘ied.” Imam Ahmad mengatakan, “Iya betul sekali, tidak dimakruhkan.”
وَذَكَرَ ابْنُ عَقِيلٍ فِي تَهْنِئَةِ الْعِيدِ أَحَادِيثَ ، مِنْهَا ، أَنَّ مُحَمَّدَ بْنَ زِيَادٍ ، قَالَ : كُنْت مَعَ أَبِي أُمَامَةَ الْبَاهِلِيِّ وَغَيْرِهِ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَكَانُوا إذَا رَجَعُوا مِنْ الْعِيدِ يَقُولُ بَعْضُهُمْ لَبَعْضٍ : تَقَبَّلَ اللَّهُ مِنَّا وَمِنْك .وَقَالَ أَحْمَدُ : إسْنَادُ حَدِيثِ أَبِي أُمَامَةَ إسْنَادٌ جَيِّدٌ
Ibnu ‘Aqil menceritakan beberapa hadits mengenai ucapan selamat di hari raya ‘ied. Di antara hadits tersebut adalah dari Muhammad bin Ziyad, ia berkata, “Aku pernah bersama Abu Umamah Al Bahili dan sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lainnya. Jika mereka kembali dari ‘ied (yakni shalat ‘ied, pen), satu sama lain di antara mereka mengucapkan, ‘Taqobbalallahu minna wa minka” Imam Ahmad mengatakan bahwa sanad riwayat Abu Umamah ini jayyid.
FATWA
ما حكـم التهنئة بالعيد؟ وهل لها صيغة ميعنة؟
السؤال: ما حكـم التهنئة بالعيد؟ وهل لها صيغة ميعنة؟
الإجابة: التهنئة بالعيد جائزة، وليس لها تهنئة مخصوصة، بل ما اعتاده الناس فهو جائز ما لم يكن إثماً. (مجموع فتاوى و رسائل الشيخ محمد صالح العثيمين المجلد السادس عشر)
Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin rahimahullah ditanya, “Apa hukum mengucapkan selamat hari raya? Apakah ada bentuk ucapan tertentu ucapannya ?”
Beliau rahimahullah menjawab, “Ucapan selamat ketika hari raya ‘ied dibolehkan. Tidak ada ucapan tertentu saat itu. Apa yang biasa diucapkan manusia dibolehkan selama di dalamnya tidak mengandung kesalahan (dosa). ” (Majmu’ Fatawa Rosail Ibni ‘Utsaimin, Asy Syamilah, 16/129.)
Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah ditanya, “Apa hukum jabat tangan, saling berpelukan dan saling mengucapkann selamat setelah shalat ‘ied?”
Syaikh rahimahullah menjawab, “Perbuatan itu semua dibolehkan. Karena orang-orang tidaklah menjadikannya sebagai ibadah dan bentuk pendekatan diri pada Allah. Ini hanyalah dilakukan dalam rangka ‘adat (kebiasaan), memuliakan dan penghormatan. Selama itu hanyalah adat (kebiasaan) yang tidak ada dalil yang melarangnya, maka itu asalnya boleh. Sebagaimana para ulama katakan, ‘Hukum asal segala sesuatu adalah boleh. Sedangkan ibadah itu terlarang dilakukan kecuali jika sudah ada petunjuk dari Allah dan Rasul-Nya’”'[5]
Dari penjelasan di atas, berarti ucapan selamat hari raya itu bebas, bisa dengan ucapan “Selamat Hari Raya”, “Taqobbalallahu minna wa minkum” dan lainnya. Ucapan “Taqobbalallahu minna wa minkum” pun tidak dikhususkan saat Idul Fithri, ketika Idul Adha dianjurkan ucapan semacam ini sebagaimana kita dapat melihat dalam penjelasan berbagai riwayat di atas.
RINGKASAN
Maka barangsiapa yang ingin mengucapkan selamat, maka ia memiliki qudwah (contoh). Hanya saja yang lebih mendekati contoh dari salaf adalah ucapan selamat kemudian ucapan "Taqobbalallahu minna wa minka” dan semisalnya. Adapun ucapan selamat dengan kalimat "mohon maaf lahir batin" atau minal Aidin wal-faizin, tidak ada contoh dari salaf. Tidak ada yang menyelisihi syariat dari sisi makna dan maksudnya. Itu hanya kalimat 'urf, kebiasaan di Indonesia, yang tidak perlu berlebihan (ghuluw) dalam mengingkarinya. Sebab secara tektual itu hanyalah do'a dari seseorang kepada saudaranya, minal Aidin wal-faizin.
------------------------
[1] Fathul Bari, Ibnu Hajar Al Asqolani, Darul Ma’rifah, 1379, 2/446. Syaikh Al Albani dalam Tamamul Minnah (354) mengatakan bahwa sanad riwayat ini shahih.
[2] Al Mughni, Ibnu Qudamah Al Maqdisi, Darul Fikr, cetakan pertama, 1405, 2/250.
[3] Majmu’ Al Fatawa, Ibnu Taimiyah, Darul Wafa’, cetakan ketiga, 1426, 24/253.
[5] Majmu’ Fatawa Rosail Ibni ‘Utsaimin, 16/128.
Semoga bermanfaat. Amin.
-
Berikut redaksi di : www.islamweb.net
أقوال العلماء في حكم التهنئة بيوم العيد وحكم قول تقبل الله منا ومنك ( بطاقات دعوية )
قَالَ الشيخ ابنُ تيميةرحمه الله:
"أَمَّا التَّهْنِئَةُ يَوْمَ الْعِيدِ يَقُولُ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ إذَا لَقِيَهُ بَعْدَ صَلاةِ الْعِيدِ : تَقَبَّلَ اللَّهُ مِنَّا وَمِنْكُمْ , وَأَحَالَهُ اللَّهُ عَلَيْك , وَنَحْوُ ذَلِكَ , فَهَذَا قَدْ رُوِيَ عَنْ طَائِفَةٍ مِنْ الصَّحَابَةِ أَنَّهُمْ كَانُوا يَفْعَلُونَهُ وَرَخَّصَ فِيهِ , الأَئِمَّةُ , كَأَحْمَدَ وَغَيْرِهِ .
لَكِنْ قَالَ أَحْمَدُ : أَنَا لا أَبْتَدِئُ أَحَدًا , فَإِنْ ابْتَدَأَنِي أَحَدٌ أَجَبْته , وَذَلِكَ لأَنَّ جَوَابَ التَّحِيَّةِ وَاجِبٌ , وَأَمَّا الابْتِدَاءُ بِالتَّهْنِئَةِ فَلَيْسَ سُنَّةً مَأْمُورًا بِهَا , وَلا هُوَ أَيْضًا مَا نُهِيَ عَنْهُ , فَمَنْ فَعَلَهُ فَلَهُ قُدْوَةٌ , وَمَنْ تَرَكَهُ فَلَهُ قُدْوَةٌ . وَاَللَّهُ أَعْلَمُ" "الفتاوى الكبرى" (2/22
وقَالَ الإمام أَحْمَدُ رحمه الله :
وَلا بَأْسَ أَنْ يَقُولَ الرَّجُل لِلرَّجُلِ يَوْمَ الْعِيدِ : تَقَبَّلَ اللَّهُ مِنَّا وَمِنْك . (نقله ابن قدامة في "المغني") .
قال ابن عثيمين رحمه الله:
التهنئة بالعيد قد وقعت من بعض الصحابة رضي الله عنهم، وعلى فرض أنها لم تقع فإنها الآن من الأمور العادية التي اعتادها الناس، يهنىء بعضهم بعضا ببلوغ العيد واستكمال الصوم والقيام. لكن الذي قد يؤذي ولا داعي له هو مسألة التقبيل، فإن بعض الناس إذا هنأ بالعيد يقبل، وهذا لا وجه له، ولا حاجة إليه فتكفي المصافحة والتهنئة.
مجموع فتاوى ورسائل العثيمين (16/20
قال ابن باز رحمه الله:
لا حرج أن يقول المسلم لأخيه في يوم العيد أو غيره تقبل الله منا ومنك أعمالنا الصالحة ، ولا أعلم في هذا شيئا منصوصا ، وإنما يدعو المؤمن لأخيه بالدعوات الطيبة؛ لأدلة كثيرة وردت في ذلك. والله الموفق
. مجموع فتاوى ابن باز(13/25)
Tidak ada komentar :
Posting Komentar