JANGAN UJUB (5)

 *JANGAN UJUB (5)*

Membanggakan ilmunya.... seberapa sih ilmunya?

Membanggakan ibadahnya...

Membanggakan kehebatannya...

Membanggakan keshalihannya...

Membanggakan nasab keturunannya...

Membanggakan ini dan itu....

Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata :

وَكَثِيرًا مَا يَقْرِنُ النَّاسُ بَيْنَ الرِّيَاءِ وَالْعُجْبِ فَالرِّيَاءُ مِنْ بَابِ الْإِشْرَاكِ بِالْخَلْقِ وَالْعُجْبُ مِنْ بَابِ الْإِشْرَاكِ بِالنَّفْسِ وَهَذَا حَالُ الْمُسْتَكْبِرِ فَالْمُرَائِي لَا يُحَقِّقُ قَوْلَهُ : { إيَّاكَ نَعْبُدُ } وَالْمُعْجَبُ لَا يُحَقِّقُ قَوْلَهُ : { وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ } فَمَنْ حَقَّقَ قَوْلَهُ : { إيَّاكَ نَعْبُدُ } خَرَجَ عَنْ الرِّيَاءِ وَمَنْ حَقَّقَ قَوْلَهُ { وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ } خَرَجَ عَنْ الْإِعْجَابِ وَفِي الْحَدِيثِ الْمَعْرُوفِ : { ثَلَاثٌ مُهْلِكَاتٌ : شُحٌّ مُطَاعٌ وَهَوًى مُتَّبَعٌ وَإِعْجَابُ الْمَرْءِ بِنَفْسِهِ }

“Dan sering orang-orang menggandengkan antara riya’ dan ujub. Riya' termasuk bentuk kesyirikan dengan orang lain (yaitu mempertujukan ibadah kepada orang lain-pen) adapun ujub termasuk bentuk syirik kepada diri sendiri (yaitu merasa dirinyalah atau kehebatannyalah yang membuat ia bisa berkarya-pen). Ini merupkan kondisi orang yang sombong. Orang yang riya’ tidak merealisasikan firman Allah إيَّاكَ نَعْبُدُ “Hanya kepadaMulah kami beribadah”, dan orang yang ujub tidaklah merealisasikan firman Allah وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ “Dan hanya kepadaMulah kami memohon pertolongan”. Barangsiapa yang merealisasikan firman Allah إيَّاكَ نَعْبُدُ maka ia akan lepas dari riya’, dan barangsiapa yang merealisasikan firman Allah وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ maka ia akan keluar dari ujub” (Majmuu’ Al-Fatawaa 10/277).

*ATSAR SALAF*

وقال الأعمش –رحمه الله-:

كنت عند إبراهيم النخعي وهو يقرأ في المصحف، فاستأذن عليه رجل، فغطى المصحف، وقال: «لا يراني هذا أني أقرأ فيه كل ساعة» (حلية الأولياء : 4/222)

Al-A'masy berkata: "kami di sisi Ibrahim yang sedang membaca mushaf, maka ada seseorang minta izin masuk menemuinya, maka Ibrahim pun menutup mushaf dan berkata : "(semoga) dia tidak melihatku bahwa aku selalu membaca mushaf setiap saat"

وقال السري السقطي–رحمه الله-:

ما رأيت شيئاً أحبطَ للأعمال، ولا أفسدَ للقلوب، ولا أسرعَ في هلاك العبد، ولا أدومَ للأحزان، ولا أقربَ للمقت، ولا ألزمَ لمحبة الرياء والعجب والرياسة ، من: قلة معرفة العبدِ لنفسه، ونظرِهِ في عيوب الناس ! لاسيما إن كان مشهورا معروفا بالعبادة، وامتد له الصيت حتى بلغ من الثناء ما لم يكن يؤمله، ... (الطبقات الكبرى :ص73)

Assari Assaqothy berkata: "Tidaklah aku melihat sesuatu yang paling menggugurkan amal, tidak pula paling merusak hati, tidak pula paling cepat dalam membinasakan hamba, bisa mengakibatkan kesedihan yang lama, tidak pula lebih dekat pada celaan, selain dari : Riya', 'ujub dan gila popularitas. (Hal itu) karena minimnya mengenal hakikat dirinya, serta lebih suka memandang aib orang lain saja. Terlebih jika dia seorang yang terkenal, masyhur, dikenal sebagai ahli ibadah, hingga pujian sampai kepadanya apalagi belum pernah ada orang yang mencela nya, maka dia sangat dekat dengan 'ujub dan riya'".

قال عبدة بن أبي لبابة –رحمه الله-:

إن أقرب الناس من الرياء آمنهم له . (حلية الأولياء : 6/113)

Ubadah bin Abi Lubabah berkata: "Sesungguhnya orang yang paling dekat dengan riyaa' adalah mereka yang merasa aman darinya"

وقال ابن الحاج -رحمه الله -:

من أراد الرفعة فليتواضع لله تعالى، فإن العزة لا تقع إلا بقدر النزول، ألا ترى أن الماء لما نزل إلى أصل الشجرة صعد إلى أعلاها؟

فكأن سائلاً سأله: ما صعد بك هنا، أعني في رأس الشجرة وأنت تحت أصلها؟! فكأن لسان حاله يقول: من تواضع لله رفعه. (المدخل : 2/122)

Ibnul Hajj berkata: "Barangsiapa yang ingin kedudukan tinggi maka hendaklah dia rendah hati (tawadhu'), sebab sesungguhnya kemuliaan ('Izzah) berdasar pada kadar kerendahan hati. Tidakkah kau lihat bahwa air itu meskipun di bawah akar pohon dia akan menjalar naik ke atas ketinggian?".

وقال شيخ الإسلام ابن القيم - رحمه الله -:

لا يجتمع الإخلاص في القلب ومحبة المدح والثناء والطمع فيما عند الناس إلا كما يجتمع الماء والنار والضب والحوت،

Ibnul Qayyim berkata: "Tidak akan berkumpul di dalam satu jiwa antara ikhlas dan cinta pujian. Dan cinta pujian dengan ketamakan kepada apa yang di tangan manusia, melainkan seperti berkumpulnya antara air dan apii, atau biawak dengan ikan.

فإذا حدثتك نفسك بطلب الإخلاص فاقبل على الطمع أولا فأذبحه بسكين اليأس وأقبل على المدح والثناء فازهد فيهما زهد عشاق الدنيا في الآخرة، أنه ليس من شيء يطمع فيه الا وبيد الله وحده خزائنه لا يملكها غيره ولا يؤتى العبد منها شيئا سواه، وأما ازهد في الثناء والمدح فيسهله عليك علمك أنه ليس أحد ينفع مدحه ويزين ويضر ذمة ويشين الا الله وحده، ولن يقدر على ذلك الا بالصبر واليقين فمتى فقدت الصبر واليقين كنت كمن أراد السفر في البحر في غير مركب. (الفوائد لابن القيم : ص 149)

Apabila dirimu menginginkan ikhlas maka hadapilah kerakusan (terhadap dunia) lebih dahulu dan sembelihlah dia (ketamakan dunia itu) dengan pisau keputus-asaan. Dan hadapilah cinta pujian dengan zuhud kepadanya, sebagaimana zuhudnya orang yang asyik dengan dunia terhadap akhirat.Bahwasanya tidak ada sesuatupun yang dia serakahi (terhadap pujian atau dunia) melainkan hanya ditangan Allah saja seluruh perbendaharaannya, tidak ada selain Dia yang memilikinya. Tidak ada seorang hamba pun yang bisa memberikan (perbendaharaan tsb) selain Dia. Adapun zuhudmu (tidak butuhmu) terhadap pujian, maka akan memudahkanmu mengetahui bahwasanya tidak ada seorangpun yang bisa memberi manfaat dengan pujiannya, dan tidak pula seorangpun yang bisa memberimu mudhorrot dengan celaannya, selain Allah ta'ala.Dan tidak ada yang mampu seperti itu kecuali dengan sabar dan yakin. Apabila engkau kehilangan sabar dan yakin, maka keadaanmu seperti orang yang ingin berlayar di lautan namun tanpa kapal"

قال حماد بن زيد -رحمه الله -:

سمعت أيوب يقول: ينبغي للعالم أن يضع الرماد على رأسه ! تواضعاً لله جلت عظمته.

(أخلاق العلماء : ص 48)

Hammad bin Zaid berkata: "aku mendengar Ayyub berkata; hendaknya seorang 'Alim menaruh pasir tanah di atas kepalanya, sebagai sikap tawadhu' kepada Allah yang agung kemuliaanNya".

NB: Biar pun seseorang itu 'alim luar biasa, bahkan biarpun ilmunya tinggi sampai sundul langit maupun sepenuh lautan, hendaklah tetap tawadhu' (rendah hati), sebab semua itu semata-mata pemberian Allah ta'ala.

وقال الماوردي –رحمه الله-:

ومما أنذرك به من حالي أنني صنفت في البيوع كتابا جمعت فيه ما استطعت من كتب الناس، وأجهدت فيه نفسي وكددت فيه خاطري، حتى إذا تهذب واستكمل وكدت أعجب به وتصورت أنني أشد الناس اضطلاعا بعلمه، حضرني، وأنا في مجلسي أعرابيان فسألاني عن بيع عقداه في البادية على شروط تضمنت أربع مسائل لم أعرف لواحدة منهن جوابا، فأطرقت مفكرا، وبحالي وحالهما معتبرا فقالا: ما عندك فيما سألناك جواب، وأنت زعيم هذه الجماعة؟ فقلت: لا. فقالا: واها لك، وانصرفا. ثم أتيا من يتقدمه في العلم كثير من أصحابي فسألاه فأجابهما مسرعا بما أقنعهما وانصرفا عنه راضيين بجوابه حامدين لعلمه، فبقيت مرتبكا، وبحالهما وحالي معتبرا وإني لعلى ما كنت عليه من المسائل إلى وقتي، فكان ذلك زاجر نصيحة ونذير عظة تذلل بها قياد النفس، وانخفض لها جناح العجب، توفيقا منحته ورشدا أوتيته. (أدب الدنيا والدين : ص73)

Berkata Al-Mawardi: "Dari apa yang aku peringatkan kepada kalian tentang kisahku, bahwa aku dahulu pernah mengarang suatu kitab jual beli, dan aku mengerahkan segala daya upaya, dan aku berusaha sungguh² & berlelah-lelah mengarangnya dan mentelaahnya. Namun ketika hampir selesai dan hampir sempurna, hal itu membuatku 'ujub (berbangga diri), tergambar pada diriku seakan- akan aku adalah manusia paling sungguh-sungguh dalam telaah ilmu. Kemudian datanglah dua Arab kampung di majlisku, keduanya bertanya kepadaku dengan 4 permasalahan jual beli dan transaksi dengan syarat yang dia lakukan. Aku pun tidak tahu jawabannya, dan aku tidak menjawab dengan tergesa-gesa. Dia pun bertanya; 'engkau tidak tahu jawabannya?, padahal engkau orang yang dianut oleh banyak manusia?. Aku pun menjawab: 'tidak tahu'. Akhirnya dia pergi dariku dan bertanya kepada temanku tentang masalahnya dengan diberi jawaban yang sangat cepat. Akhirnya kedua badui itu pulang dengan puas hati serta memuji atas ilmunya. Maka demikianlah sebagai nasehat dan peringatan, agar mampu mengendalikan diri, merendah hati (tawadhu'), dan berhati-hati dari 'ujub".

قال شيخ الاسلام ابن تيمية – رحمه الله- :

وقد يحبونه –أي المعجب بنفسه- لعلمه أو دينه أو احسانه أو غير ذلك ، فالفتنة في هذا أعظم إلا إذا كانت فيه قوة إيمانية

وخشية وتوحيد تام، فإن فتنة العلم والجاه والصور فتنة لكل مفتون. (مجموع الفتاوى : 338/10)

Syaikhul Islam berkata; "Kadang-kadang manusia itu sangat cinta membanggakan dirinya, entah karena ilmunya, agamanya, kebaikannya atau yang lainnya. Dan fitnah di dalam hal ini sangat besar, kecuali bagi orang-orang yang memiliki keimanan yang kuat, rasa takut dan tauhid yang sempurna, sebab fitnah ilmu, fitnah ingin terkenal (ambisi popularitas) dan kedudukan adalah fitnah bagi setiap orang yang terfitnah"

وقال يوسف بن الحسين – رحمه الله- :

يتولد الإعجاب بالعمل من نسيان رؤية المنة فيما يجري الله لك من الطاعات (تاريخ دمشق : 74/ 230)

Yusuf bin Husain berkata: "'Ujub itu lahir karena amal yang lupa memandang bahwa itu adalah sebagai nikmat karunia yang Allah berikan kepadanya dari ketaatan"'

وقال الفضيل بن عياض –رحمه الله-:

«من وقى خمسا فقد وقي شر الدنيا والآخرة. العجب والرياء والكبر والإزراء والشهوة»

(حلية الأولياء : 8/95)

Fudhail bin 'Iyadh berkata: "Barangsiapa yang menjaga diri dari lima perkara maka dia dilindungi dari keburukan dunia- khirat; 'ujub, riya', suka mencela/ merendahkan, sombong, dan syahwat".

وقال ابن أبي يعلى -رحمه الله-:

وكانت أول بدعة علمتها فاشية من الفتن المضلة ومن العماية بعد الهدى وقد رأيت قوما في حياة أبي عبد الله كانوا لزموا البيت على أسباب من النسك وقلة من العلم فأكرمهم الناس ببعض ما ظهر لهم من حبهم للخير فدخلهم العجب مع قلة العلم فكان لا يزال أحدهم يتكلم بالأمر العجيب فيدفع الله ذلك بقول الشيخ جزاه الله أفضل ما جزى من تعلمنا منه. ولا يكون من أحد منهم من ذلك شيء إلا كان سبب فضيحته وهتك ما مضى من ستره فأنا حافظ من ذلك لأشياء كثيرة وإنما هذا من مكايد إبليس مع جنوده يقول لأحدهم: أنت أنت ومن مثلك فقل قد قال: غيرك ثم يلقى في قلبه الشيء ليس هناك سعة في علم فيزين عنده أن يبتدئه ليشمت به وإن كل محدثة بدعة وكل بدعة ضلالة وكل ضلالة في النار. (طبقات الحنابلة : 1/68)

Berkata Ibnu Abi Ya'la: "Awal pertama kali bid'ah yang menyebar, yang menyesatkan dan dari kebutaan setelah petunjuk adalah sebagaimana yang pernah aku lihat yaitu; suatu kaum di zaman Abu Abdillah, yang mereka selalu mulazamah (mengabdi) di dekat Baitullah karena sebab manasik, tapi dari orang yang sangat minim ilmu, akhirnya mereka dimuliakan manusia dengan sebab apa yang dia tampakkan secara lahiriyah (dari segi cara berpakaian), akhirnya hati mereka kemasukan 'ujub (bangga diri), padahal mereka sangat minim ilmu. Maka mereka itu tidak henti-hentinya bicara tentang permasalahan yang aneh-aneh. Maka hal itu dibantah oleh para masyaikh yang aku pernah belajar kepadanya. Semoga Allah membalasnya kebaikan. Dan hal itu tidaklah terjadi melainkan karena keinginan mereka dipuji dan dimuliakan oleh manusia. Dan karena tertutupinya noda kesalahan mereka. Dan ini merupakan tipu daya iblis, yang membisikkan kepada diri mereka: "kamu- kamu, dan siapakah orang yang sepertimu? (tidak ada, bukan). Maka dimasukkan ke hati mereka rasa 'ujub. Padahal mereka tidak memiliki keluasan ilmu. Maka hati-hatilah dengan perkara yang mengada- ada dalam agama, karena hal itu merupakan bid'ah, dan setiap bid'ah itu sesat, dan setiap sesat itu di neraka".

وقد ظننت أن آخرين يلتمسون الشهرة ويحبون أن يذكروا وقد ذكر قبلهم قوم بألوان من البدع فافتضحوا ولأن يكون الرجل تابعا في الخير خير من أن يكون رأسا في الشر وقد قال ابن مسعود اتبعوا ولا تبتدعوا فقد كفيتم كل بدعة ضلالة (طبقات الحنابلة : 1/68)

Maka aku beranggapan bahwa yang lain hanyalah mencari popularitas (agar terkenal), dan ingin agar disebut-sebut namanya, padahal kaum sebelum mereka mengingatkan dengan bermacam-macam bid'ah yang menyebar. Sungguh sekiranya ada seorang yang ittiba' (mengikuti) kebaikan maka hal itu lebih baik baginya daripada menjadi pemuka dalam keburukan. Sebagaimana perkataan Ibnu Mas'ud: 'Ikutilah sunnah (ittiba'lah), dan jangan berbuat bid'ah, sungguh kamu sudah tercukupi. Karena setiap Bid'ah itu sesat".

وقال عبد الله ابن المبارك –رحمه الله-:

لا أعلم في المصلين شيئا شرا من العجب.!

(حلية الأولياء: 7/383 )

Abdullah bin Mubarak berkata: "Tidaklah aku mengetahui pada diri orang-orang yang shalat sesuatu yang paling buruk selain 'ujub".

وخطب أبو الحكم الأندلسي -رحمه الله- :

وقد كان فقيها محققاً، وخطيباً بليغاً مفوهاً : فأعجبته نفسه وهو يخطب، فقال: حتى متى أعظ ولا أتعظ، وأزجر ولا أزدجر، أدل على الطريق المستدلين، وأبقى مقيما مع الحائرين، كلا إن هذا لهو البلاء المبين.

اللهم فرغبني لما خلقتني له، ولا تشغلني بما تكفلت لي به. (سير أعلام النبلاء: 16/ 177)

Abul Hakam suatu hari pernah berkhutbah. (Dia adalah seorang yang sangat Faqih, Alim, sholih, mendalam ilmunya, sangat fasih, sangat indah balaghohnya). Ketika berkhotbah timbul rasa ujub pada dirinya, lalu dia berhenti, dan berkata pada dirinya: "Sampai kapan kamu menceramahi manusia sedangkan dirimu tidak pernah diceramahi? kamu sok melarang tapi kamu sendiri menerjang, menunjuki manusia jalan -jalan kebaikan sehingga mereka menempuhnya, sedangkan kamu sendiri hanya berhenti. Oh tidak... ini sungguh ujian yang nyata bagiku.... ya Allah berilah aku semangat besar mengurusi tujuanku nengapa aku dicipta (beribadah) dan jangan sibukkan aku (dengan perkara) yang justru hanya menjadi bebanku".

وقال كعب الأحبار - رحمه الله -:

إياكم والعجب فإنه الذبح والهلاك (حلية الأولياء : 5/376)

Ka'ab Al-Akhbar berkata ;

"Jauhilah oleh kalian 'Ujub, karena sesungguhnya dia menyembelih dan menghancurkan (amalan)".

وقال أبو حازم الأعرج -رحمه الله-:

«إن العبد ليعمل الحسنة تسره حين يعملها، وما خلق الله من سيئة أضر له منها، وإن العبد ليعمل السيئة حتى تسوءه حين يعملها، وما خلق الله من حسنة أنفع له منها، وذلك أن العبد ليعمل الحسنة تسره حين يعملها، فيتجبر فيها ويرى أن له بها فضلا على غيره، ولعل الله تعالى أن يحبطها ويحبط معها عملا كثيرا، وإن العبد حين يعمل السيئة تسوءه حين يعملها، ولعل الله تعالى يحدث له بها وجلا يلقى الله تعالى وإن خوفها لفي جوفه باق» (حلية الأولياء : 3/242)

Abu Hazim Al Hajj berkata; "Sesungguhnya seorang hamba melakukan kebaikan dia merasa senang melakukannya dan Allah tidaklah menciptakan yang lebih buruk dari amalannya (karena disertai'ujub). Dan ada seorang hamba yang melakukan keburukan, ketika dia melakukannya dia merasa bersalah maka Allah tidaklah menciptakan sesuatu yang lebih baik darinya (karena sangat menyesalinya).

Mengapa demikian? Sebab seorang hamba ketika dia melakukan kebaikan dan timbul rasa 'ujub, dia memandang hal itu sebagai kemuliaan-nya dan bukan selainnya, sehingga Allah menghapus dengannya amalan yang banyak. Dan sesungguhnya seorang hamba ketika melakukan keburukan dia menganggapnya buruk, sehingga Allah menjadikannya rasa takut, dan rasa takutnya abadi menyertainya".

Ketika kita dipuji orang, ketika kita sudah merasa hebat amal ibadahnya, maka seharusnya kita mencontoh Abu Bakr. Beliau berdoa ketika dipuji oleh orang lain;

اللَّهُمَّ أَنْتَ أَعْلَمُ مِنِّى بِنَفْسِى وَأَنَا أَعْلَمُ بِنَفْسِى مِنْهُمْ اللَّهُمَّ اجْعَلْنِى خَيْرًا مِمَّا يَظُنُّوْنَ وَاغْفِرْ لِى مَا لاَ يَعْلَمُوْنَ وَلاَ تُؤَاخِذْنِى بِمَا يَقُوْلُوْنَ

"[Ya Allah, Engkau lebih mengetahui keadaan diriku daripada diriku sendiri dan aku lebih mengetahui keadaan diriku daripada mereka yang memujiku. Ya Allah, jadikanlah diriku lebih baik dari yang mereka sangkakan, ampunilah aku terhadap apa yang mereka tidak ketahui dariku, dan janganlah menyiksaku dengan perkataan mereka]" (Al Baihaqi, Syu’abul Iman, 4: 228)

اللهم انا نعوذبك من العجب.

Semoga bermanfaat. Amiin.

.