- HALAL BIHALAL BID'AH?
- Tambahan MINAL AIDIN WAL-FAIZIN, bid'ah?
- Bagaimana berlebaran?
*HUKUM SALING MENGUCAPKAN SELAMAT HARI RAYA*
- Pada hari raya Idul Fitri maupun Idul Adha sudah biasa mengucapkan "selamat hari raya". Sudah umum, ma'ruf, lumrah.
- Namun, ... ada orang sangat kaku dalam permasalahan ini:
- Dikirimi ucapan selamat hari raya membalasnya tak disangka. Kalimat tambahan takhsis (pengkhususan) setelah tahniah Mohon maaf lahir batin juga diingkari. Lagi- lagi alasannya: tak ada contoh dari nabi. Termasuk kalimat minal 'Aidin wal Faizin. Apa- apa yang tidak ada contoh dari nabi adalah bid'ah.
Ada juga mengingkari tradisi salam- salaman, maaf- maafan dengan pengingkaran yang keras. Kata dia : tak nabi contohkan. Maaf- maafan tak harus nunggu lebaran. Hmmm...
Mereka berpandangan tidak boleh penambahan apapun dalam agama. Karena agama ini sudah final. Nabi dan para sahabatnya tidak pernah mengucapkannya, tidak ada lafadh tersebut dalam riwayat hadits. Baik hadits shohih bahkan maudhu' sekalipun. Benarkah ?
- Apalagi takhsis (pengkhususan) lebaran dengan ketupat. Nabi gak ada makan ketupat !! Mudik? Nabi gak pernah mensunnahkan tradisi mudik !! Buras? Tongseng? Srondéng ? Giliran ada ketupat dimakan juga.
- Lagi, baju baru lebaran. Lagi, kunjung- kunjung keluarga. Lagi salam- salaman. Bahkan setelah sholat ied disalami tetangga langsung ditampik.... Bahkan sikapnya seakan² lebih kaku dari non muslim sekalipun. Prinsip dia semakin keras dalam mengingkari "bid'ah" maka semakin 'nyunnah'. Kaedah darimana bro... Benarkah sikap berlebihan dalam mengingkari tambahan tahniah ini?
- Seharusnya orang yang ghuluw tersebut bertanya pada dirinya; apakah Islam mengingkari 'Urf kebiasaan yang berbeda² dan beraneka ragam dalam kehidupan manusia? Tradisi mudik untuk silaturahim apakah bid'ah mentang² tidak ada contohnya dari nabi?.
MENDUDUKKAN MASALAH.
Begini. Hukum syariat yang sudah ditetapkan secara nash qoth'i maka 'urf tradisi tidak berpengaruh kepadanya. Seperti: kadar zakat, jumlah rokaat sholat, jumlah thowaf, dsbnya. Adapun sesuatu hukum yang datang dari syariat secara umum yang tidak ada perinciannya baik secara bahasa dan istilah maka kembali kepada 'urf. Dan 'Urf yang tidak menyelisihi syariat diakui hukum. (Lihat dalam Al-Asybah wan- Nadhoir, imam Suyuthi)
Pengakuan syariat dalam masalah 'Urf sangat banyak, seperti lafadh ;
- dan pergaulilah istrimu dengan ma'ruf.
- dan bagi orangtuanya memberi nafkah kepada anaknya dengan ma'ruf.
- dan berilah mahar mereka dengan ma'ruf.
- dan ucapkanlah ucapan yang ma'ruf
- perintahkanlah kepada yang ma'ruf
- Hindun bintu Utbah mengadu kepada rosulullah akan suaminya (Abu Sofyan) yang pelit. Maka rosulullah memerintahnya untuk mengambil hartanya secara ma'ruf.
- Dll. Inilah kehujjahan 'urf yang diakui oleh syariat.
Dan namanya 'Urf, kebiasaan, sudah tentu berbeda dari satu daerah dengan daerah lain. Satu zaman dengan zaman yang lain. Oleh karena itu kalimat 'Urf / ma'ruf tidak dirinci di dalam syariat. Karena hal itu kembali kepada kondisi tertentu.
Sehingga, hendaknya kita mampu membedakan mana yang perkara hukum syar'i yang qoth'i, dan mana yang mutlak, umum, 'urf, maslahah. Jadi hukum tidak monoton antara: halal dan haram saja. Kemana yang: makruh, jaiz, dan mubah ?
Hendaknya kita mampu membedakan apa itu ibadah, apa itu 'Urf, tradisi kebiasaan. Memang semua tidak dirinci secara tektual di dalam nash. Jika apa- apa beralasan : tidak ada dalil atau tidak ada contoh dari nabi, bukan otomatis antara dalil dengan istidlal sesuai. Bisa jadi benar dari sisi dalil, tapi illat dan mahkum 'alaih (obyek yang dihukumi) belum tentu sesuai. Seakan² itu satu²nya kaedah yang benar dan tidak boleh dibantah. Sama halnya kaedah 'man tasyabbaha biqoumin fahuwa minhum', siapa yang menyerupai suatu kaum maka dia termasuk golongan mereka. Jadinya dipukul rata alias di'gebyah uyah' (:jawa), seakan² semua permasalahan bisa di-dalili dengan kaedah itu;
- Kalau ada yang pakai baju batik, dibilang tasyabbuh dengan kejawén!!
- Kalau ada yang pakai jaz dan dasi, baju masuk, dibilang tasyabbuh dengan Nasrani!!
- Kalau mudah bergaul secara luas dibilang tasyabbuh dengan hizbi.!!
- pernikahan dengan dihiasi bunga² dan anyaman janur dibilang tasyabbuh dengan hindu.!! Nanti merembet ke yang lain dengan liar tanpa perincian. Padahal mahkum 'alaihi nya belum tentu cocok.
- memakai bantolun dibilang tasyabbuh dengan orang awam.
- pakai kain levis, tasabuh dengan cowboy
- apalagi... menyalakan lilin, pasang lampu kelap-kelip tasyabbuh Nasrani. Belum tentu bro... Perlu ditafshil... Dan sebagainya.
Padahal tidak sedangkal itu. Tidak hitam putih begitu pembahasan tipologi muamalat.
Demikian pula pembahasan ucapan selamat di hari raya. Apakah itu ranah ibadah atau lebih kepada 'urf kebiasaan di Indonesia? Yang harus digaris bawahi adalah ;
- Ulama' kibar saja tidak mengingkari secara berlebihan, kok dia berapi- api mengingkari?
- Subyektif menyalahkan...
- Para ulama' banyak mendiamkan masalah 'urf ini, kok dia 'kurang kerjaan' sok- sokan beralih jadi ulama' ahli fatwa; menyalah- nyalahkan tradisi mudik, maaf- maafan, ucapan maaf lahir batin.
- Atau mungkin sudah menjadi manhaj agama mereka; tidak ada kelembutan kepada kaum muslimin di saat mereka bergembira dengan hari raya, dia sakiti dengan bikin masalah.?
_________
BEBERAPA RIWAYAT TENTANG UCAPAN SELAMAT DI HARI RAYA
Terdapat berbagai riwayat dari beberapa sahabat radhiyallahu ‘anhum bahwa mereka biasa mengucapkan selamat di hari raya di antara mereka,
فعن جُبَيْرِ بْنِ نُفَيْرٍ قَالَ : كَانَ أَصْحَابُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا اِلْتَقَوْا يَوْمَ الْعِيدِ يَقُولُ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ : تَقَبَّلَ اللَّهُ مِنَّا وَمِنْك . قال الحافظ : إسناده حسن
Dari Jubair bin Nufair, ia berkata bahwa jika para sahabat Rasulullah [] berjumpa dengan hari ‘ied (Idul Fithri atau Idul Adha, pen), satu sama lain saling mengucapkan, “Taqobbalallahu minna wa minka (Semoga Allah menerima amalku dan amal kalian).” Al Hafizh Ibnu Hajar mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan. [1]
Imam Ahmad rahimahullah berkata,
وَلَا بَأْسَ أَنْ يَقُولَ الرَّجُل لِلرَّجُلِ يَوْمَ الْعِيدِ : تَقَبَّلَ اللَّهُ مِنَّا وَمِنْك
“Tidak mengapa (artinya: boleh-boleh saja) satu sama lain di hari raya ‘ied mengucapkan: Taqobbalallahu minna wa minka”.
وَقَالَ حَرْبٌ : سُئِلَ أَحْمَدُ عَنْ قَوْلِ النَّاسِ فِي الْعِيدَيْنِ تَقَبَّلَ اللَّهُ وَمِنْكُمْ .قَالَ : لَا بَأْسَ بِهِ ، يَرْوِيه أَهْلُ الشَّامِ عَنْ أَبِي أُمَامَةَ قِيلَ : وَوَاثِلَةَ بْنِ الْأَسْقَعِ ؟ قَالَ : نَعَمْ .قِيلَ : فَلَا تُكْرَهُ أَنْ يُقَالَ هَذَا يَوْمَ الْعِيدِ .قَالَ : لَا
Salah seorang ulama, Harb mengatakan, “Imam Ahmad pernah ditanya mengenai apa yang mesti diucapkan di hari raya ‘ied (‘Idul Fithri dan ‘Idul Adha), apakah dengan ucapan, ‘Taqobbalallahu minna wa minkum’?” Imam Ahmad menjawab, “Tidak mengapa mengucapkan seperti itu.”
Ada pula yang mengatakan, “Apakah Watsilah bin Al Asqo’ juga berpendapat demikian?” Imam Ahmad berkata, “Betul demikian.” Ada pula yang mengatakan, “Mengucapkan semacam tadi tidaklah dimakruhkan pada hari raya ‘ied.” Imam Ahmad mengatakan, “Iya betul sekali, tidak dimakruhkan.”
وَذَكَرَ ابْنُ عَقِيلٍ فِي تَهْنِئَةِ الْعِيدِ أَحَادِيثَ ، مِنْهَا ، أَنَّ مُحَمَّدَ بْنَ زِيَادٍ ، قَالَ : كُنْت مَعَ أَبِي أُمَامَةَ الْبَاهِلِيِّ وَغَيْرِهِ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَكَانُوا إذَا رَجَعُوا مِنْ الْعِيدِ يَقُولُ بَعْضُهُمْ لَبَعْضٍ : تَقَبَّلَ اللَّهُ مِنَّا وَمِنْك .وَقَالَ أَحْمَدُ : إسْنَادُ حَدِيثِ أَبِي أُمَامَةَ إسْنَادٌ جَيِّدٌ
Ibnu ‘Aqil menceritakan beberapa hadits mengenai ucapan selamat di hari raya ‘ied. Di antara hadits tersebut adalah dari Muhammad bin Ziyad, ia berkata, “Aku pernah bersama Abu Umamah Al Bahili dan sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lainnya. Jika mereka kembali dari ‘ied (yakni shalat ‘ied, pen), satu sama lain di antara mereka mengucapkan, ‘Taqobbalallahu minna wa minka” Imam Ahmad mengatakan bahwa sanad riwayat Abu Umamah ini jayyid.
FATWA ULAMA KIBAR.
ما حكـم التهنئة بالعيد؟ وهل لها صيغة ميعنة؟
السؤال: ما حكـم التهنئة بالعيد؟ وهل لها صيغة ميعنة؟
الإجابة: التهنئة بالعيد جائزة، وليس لها تهنئة مخصوصة، بل ما اعتاده الناس فهو جائز ما لم يكن إثماً. (مجموع فتاوى و رسائل الشيخ محمد صالح العثيمين المجلد السادس عشر)
Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin rahimahullah ditanya, “Apa hukum mengucapkan selamat hari raya? Apakah ada bentuk ucapan tertentu ucapannya ?”
Beliau rahimahullah menjawab, “Ucapan selamat ketika hari raya ‘ied dibolehkan. Tidak ada ucapan tertentu saat itu. Apa yang biasa diucapkan manusia dibolehkan selama di dalamnya tidak mengandung kesalahan (dosa). ” (Majmu’ Fatawa Rosail Ibni ‘Utsaimin, Asy Syamilah, 16/129.)
Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah ditanya, “Apa hukum jabat tangan, saling berpelukan dan saling mengucapkann selamat setelah shalat ‘ied?”
Syaikh rahimahullah menjawab, “Perbuatan itu semua dibolehkan. Karena orang-orang tidaklah menjadikannya sebagai ibadah dan bentuk pendekatan diri pada Allah. Ini hanyalah dilakukan dalam rangka ‘adat (kebiasaan), memuliakan dan penghormatan. Selama itu hanyalah adat (kebiasaan) yang tidak ada dalil yang melarangnya, maka itu asalnya boleh. Sebagaimana para ulama katakan, ‘Hukum asal segala sesuatu adalah boleh. Sedangkan ibadah itu terlarang dilakukan kecuali jika sudah ada petunjuk dari Allah dan Rasul-Nya’”'[5]
Dari penjelasan di atas, berarti ucapan selamat hari raya itu bebas, bisa dengan ucapan “Selamat Hari Raya”, “Taqobbalallahu minna wa minkum” dan lainnya. Ucapan “Taqobbalallahu minna wa minkum” pun tidak dikhususkan saat Idul Fithri, ketika Idul Adha dianjurkan ucapan semacam ini sebagaimana kita dapat melihat dalam penjelasan berbagai riwayat di atas.
RINGKASAN
Maka barangsiapa yang ingin mengucapkan selamat, maka ia memiliki qudwah (contoh). Hanya saja yang lebih mendekati contoh dari salaf adalah ucapan selamat kemudian ucapan "Taqobbalallahu minna wa minka” dan semisalnya. Adapun ucapan selamat dengan kalimat "mohon maaf lahir batin" atau minal Aidin wal-faizin, kull 'aamin wa anta fil khoir, dsb tidak ada contoh dari salaf. Tidak ada yang menyelisihi syariat dari sisi makna dan maksudnya. Itu hanya kalimat 'urf, kebiasaan di Indonesia, yang tidak perlu berlebihan (ghuluw) dalam mengingkarinya. Sebab secara tektual itu hanyalah do'a dari seseorang kepada saudaranya, minal Aidin wal-faizin.
------------------------
[1] Fathul Bari, Ibnu Hajar Al Asqolani, Darul Ma’rifah, 1379, 2/446. Syaikh Al Albani dalam Tamamul Minnah (354) mengatakan bahwa sanad riwayat ini shahih.
[2] Al Mughni, Ibnu Qudamah Al Maqdisi, Darul Fikr, cetakan pertama, 1405, 2/250.
[3] Majmu’ Al Fatawa, Ibnu Taimiyah, Darul Wafa’, cetakan ketiga, 1426, 24/253.
[5] Majmu’ Fatawa Rosail Ibni ‘Utsaimin, 16/128.
Semoga bermanfaat. Amin.
-
Berikut redaksi di : www.islamweb.net
أقوال العلماء في حكم التهنئة بيوم العيد وحكم قول تقبل الله منا ومنك ( بطاقات دعوية )
قَالَ الشيخ ابنُ تيميةرحمه الله:
"أَمَّا التَّهْنِئَةُ يَوْمَ الْعِيدِ يَقُولُ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ إذَا لَقِيَهُ بَعْدَ صَلاةِ الْعِيدِ : تَقَبَّلَ اللَّهُ مِنَّا وَمِنْكُمْ , وَأَحَالَهُ اللَّهُ عَلَيْك , وَنَحْوُ ذَلِكَ , فَهَذَا قَدْ رُوِيَ عَنْ طَائِفَةٍ مِنْ الصَّحَابَةِ أَنَّهُمْ كَانُوا يَفْعَلُونَهُ وَرَخَّصَ فِيهِ , الأَئِمَّةُ , كَأَحْمَدَ وَغَيْرِهِ .
لَكِنْ قَالَ أَحْمَدُ : أَنَا لا أَبْتَدِئُ أَحَدًا , فَإِنْ ابْتَدَأَنِي أَحَدٌ أَجَبْته , وَذَلِكَ لأَنَّ جَوَابَ التَّحِيَّةِ وَاجِبٌ , وَأَمَّا الابْتِدَاءُ بِالتَّهْنِئَةِ فَلَيْسَ سُنَّةً مَأْمُورًا بِهَا , وَلا هُوَ أَيْضًا مَا نُهِيَ عَنْهُ , فَمَنْ فَعَلَهُ فَلَهُ قُدْوَةٌ , وَمَنْ تَرَكَهُ فَلَهُ قُدْوَةٌ . وَاَللَّهُ أَعْلَمُ" "الفتاوى الكبرى" (2/22
وقَالَ الإمام أَحْمَدُ رحمه الله :
وَلا بَأْسَ أَنْ يَقُولَ الرَّجُل لِلرَّجُلِ يَوْمَ الْعِيدِ : تَقَبَّلَ اللَّهُ مِنَّا وَمِنْك . (نقله ابن قدامة في "المغني") .
قال ابن عثيمين رحمه الله:
التهنئة بالعيد قد وقعت من بعض الصحابة رضي الله عنهم، وعلى فرض أنها لم تقع فإنها الآن من الأمور العادية التي اعتادها الناس، يهنىء بعضهم بعضا ببلوغ العيد واستكمال الصوم والقيام. لكن الذي قد يؤذي ولا داعي له هو مسألة التقبيل، فإن بعض الناس إذا هنأ بالعيد يقبل، وهذا لا وجه له، ولا حاجة إليه فتكفي المصافحة والتهنئة.
مجموع فتاوى ورسائل العثيمين (16/20
قال ابن باز رحمه الله:
لا حرج أن يقول المسلم لأخيه في يوم العيد أو غيره تقبل الله منا ومنك أعمالنا الصالحة ، ولا أعلم في هذا شيئا منصوصا ، وإنما يدعو المؤمن لأخيه بالدعوات الطيبة؛ لأدلة كثيرة وردت في ذلك. والله الموفق
. مجموع فتاوى ابن باز(13/25)
--------------------
--------------------
Sekarang... tentang ...
*BAGAIMANA HUKUM HALAL BIHALAL ??*
Ada seseorang dengan mudahnya menjawab; "Bid'ah itu... pokoknya apa saja perkara yang disandarkan kepada agama yang tidak dicontohkan oleh nabi maka itu bid'ah...!". Semudah itukah jawabannya?
Ada lagi pertanyaan; 'Bagaimana hukum halal- bihalal?' Maka dia jawab; 'nggak ada syariatnya maaf-maafan di hari lebaran!, maaf-maafan tidak harus nunggu lebaran, begitu salah langsung minta maaf...ngapain harus nunggu lebaran...!.
Ada lagi yang menjawab; 'Nggak ada nabi halal- bihalal, nggak pernah nabi lakukan, gak ada riwayat nabi kumpul-kumpul sama sahabatnya makan ketupat.... jadi jangan dikait-kaitkan dengan agama sehingga seolah-olah kalau tidak halal- bihalal kurang afdol, nah.... ini namanya menciptakan ritual baru dalam agama!"
*MENDUDUKKAN MASALAH*
Seharusnya seseorang mengetahui permasalahan umat dengan penuh ketelitian dan hati². Jika ada masalah² baru yang secara lafadh dan istilah tidak secara nash termaktub di dalam kitabullah dan hadis-hadis nabi, maka hendaknya kita rinci hakikat sebenarnya, karena yang menjadi patokan adalah hakekatnya bukan per-istilah-an.
العبرة في العقود للمقاصد والمعاني لا للألفاظ والمباني
Tolok ukur dalam akad adalah maksud dan hakekat makna, bukan lafadh² istilah yang tampak"
"فالعبرة بما أُضمر لا بما أُظهر"
(القواعد الفقهية لمحمد بكر إسماعيل، ص: 39)
"Tolok ukurnya adalah yang tersirat (hakekatnya), bukan pada apa yang tampak"
Sehingga tidak serta merta dengan terburu² menetukan hukumnya, tidak mudah terjebak pada istilah-istilah, perlu juga meninjau dari tinjauan antropologi, apa dan bagaimana asal muasal kata halal bihalal ataupun juga istilah yang lain seperti; syawalan, open house, lebaran ketupat, Silatnas Idul Fitri, ziaroh keliling, unjung- unjung, dan sebagainya.
Tidak serta merta kalau lafadh dan istilah tersebut tidak ada langsung masuk kategori bid'ah. Maka hendaknya, mengetahui dan merinci tentang halal bihalal itu apa dan bagaimana. Kalau halal -bihalal itu hanya sebatas istilah acara keluarga untuk berkumpul, untuk bersama makan-makan, silaturahmi bersama dan bergembira, maka terlalu melencéng jauh jika hal itu dikategorikan sebagai bid'ah. Kalau 'Halal bihalal itu acara pengajian atau reuni suatu angkatan almamater, yang memanfaatkan momentum keberadaan mereka di kampung untuk mengadakan acara, dan sebagainya yang mubah, maka dimana letak bid'ahnya?
Sebaliknya, kalau yang disorot berupa acara² yang haram, nyanyi- nyanyi, joget, ikhtilath, maka baru TEPAT hal itu sebagai penyimpangan di hari lebaran.
Tidak dipungkiri bahwa hari paling bahagia adalah hari raya maka hendaknya mengekspresikan kebahagiaan di hari lebaran haruslah tidak menerjang batas-batas syar'i. Maka apabila hari raya tanpa sikap kegembiraan kepada keluarga, tanpa ada makanan, tanpa memakai baju bagus, justru yang begini yang jauh dari sunnah-sunnah, karena sunnahnya di hari raya itu bergembira !!.
Kemudian.... tentang bagaimana kaifiyat mengekspresikan kegembiraan, syariat tidak merincinya dengan detil. Tapi intinya adalah hari bersyukur dan bergembira dan berbahagia.
DALIL bahwa hari ‘Ied di dalam alQuran disebut dengan yaum Az-Zinah –hari berhias;
قَالَ مَوْعِدُكُمْ يَوْمُ الزِّينَةِ وَأَن يُحْشَرَ النَّاسُ ضُحًى
“Dia berkata hari yang dijanjikan bagi kalian adalah hari berhias –‘Ied- dan agar manusia berkumpul pada waktu dhuha”. [Thaha: 59]
Disuruh berhias, mandi², pakai wangi- wangi, memakai baju bagus untuk mengekspresikan kegembiraan. Hari raya kok pakai kaos oblong dekil...bertuliskan; UD Makmur menjual bahan bangunan, genténg, besi dan batako. Dipakai sholat 'Ied pula....Hahaha.
Maka, henndaknya umat ini cerdas... jangan terburu terkooptasi oleh sebagian orang dengan statement² liar, yang tidak merujuk kepada 'ulama -ulama kibar. Hendaknya tidak gegabah dan sembrono menerima fatwa, maka sungguh.... barokah itu bersama dengan ulama-ulama kibar.
___________
BAGAIMANA HUKUM MENAMPAKKAN KEBAHAGIAAN DI HARI RAYA?
Menempatkan kebahagiaan dengan sesuatu yang mubah maka termasuk syiar dari agama Islam. Dalilnya : Sebagaimana Rasulullah menonton orang Baduy yang memainkan pedang ketika hari lebaran bersama Aisyah;
عَنْ عَائِشَةَ، قَالَتْ دَخَلَ عَلَىَّ أَبُو بَكْرٍ وَعِنْدِي جَارِيَتَانِ مِنْ جَوَارِي الأَنْصَارِ تُغَنِّيَانِ بِمَا تَقَاوَلَتْ بِهِ الأَنْصَارُ فِي يَوْمِ بُعَاثٍ . قَالَتْ وَلَيْسَتَا بِمُغَنِّيَتَيْنِ . فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ أَبِمَزْمُورِ الشَّيْطَانِ فِي بَيْتِ النَّبِيِّ ـ صلى الله عليه وسلم ـ وَذَلِكَ فِي يَوْمِ عِيدِ الْفِطْرِ فَقَالَ النَّبِيُّ ـ صلى الله عليه وسلم ـ " يَا أَبَا بَكْرٍ إِنَّ لِكُلِّ قَوْمٍ عِيدًا وَهَذَا عِيدُنَا "
Dari Aisyah berkata; Abu Bakar masuk setelah aku dan ada dua gadis Ansar bersamaku sedang bernyanyi tentang Hari Bu'ath. Aisyah berkata, "Mereka bukan penyanyi." Abu Bakar kemudian berkata, "Ada alat setan di rumah Rasulullah SAW?" Saat itu adalah Idul Fitri dan Rasulullah SAW berkata, "Ya Abu Bakar, tiap orang punya festival dan ini adalah perayaan kita." (HR Ibnu Majah).
قدم رسول الله صلى الله عليه وسلم المدينة ولهم يومان يلعبون فيهما، فقال: " ما هذان اليومان؟ "، قالوا: كنا نلعب فيهما في الجاهلية، فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: " إن الله قد أبدلكم بهما خيرا منهما: يوم الأضحى ويوم الفطر»
Pada awal awal kedatangan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam di kota Madinah, beliau mendapatkan masyarakat setempat biasa merayakan dua hari dengan cara bermain-main. Beliau bertanya kepada penduduk setempat: Ada apa dengan kedua hari kalian ini? Mereka menjawab: Dua hari ini adalah dua hari yang padanya kami biasa bermain-main sejak zaman jahiliyah. Rasulullah menimpali keterangan mereka dengan bersabda: Sejatinya Allah telah menggantikan kedua hari permainan kalian ini dengan dua hari yang lebih baik, yaitu iedul adhha dan iedul fitri". (Abu Dawud)
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ دَخَلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَعِنْدِي جَارِيَتَانِ تُغَنِّيَانِ بِغِنَاءِ بُعَاثٍ فَاضْطَجَعَ عَلَى الْفِرَاشِ وَحَوَّلَ وَجْهَهُ فَدَخَلَ أَبُو بَكْرٍ فَانْتَهَرَنِي وَقَالَ مِزْمَارُ الشَّيْطَانِ عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَقْبَلَ عَلَيْهِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ دَعْهُمَا فَلَمَّا غَفَلَ غَمَزْتُهُمَا فَخَرَجَتَا وَكَانَ يَوْمَ عِيدٍ يَلْعَبُ السُّودَانُ بِالدَّرَقِ وَالْحِرَابِ فَإِمَّا سَأَلْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَإِمَّا قَالَ تَشْتَهِينَ تَنْظُرِينَ فَقُلْتُ نَعَمْ فَأَقَامَنِي وَرَاءَهُ خَدِّي عَلَى خَدِّهِ وَهُوَ يَقُولُ دُونَكُمْ يَا بَنِي أَرْفِدَةَ حَتَّى إِذَا مَلِلْتُ قَالَ حَسْبُكِ قُلْتُ نَعَمْ قَالَ فَاذْهَبِي
Dari Aisyah ia berkata; Suatu ketika Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam masuk ke dalam rumahku, sementara di tempatku terdapat dua orang budak wanita yang sedang bernyanyi dengan nyanyian Bu'ats, lalu beliau langsung berbaring diatas tempat tidur dengan membalikkan wajahnya. Setelah itu, masuklah Abu Bakar dan langsung marah seraya berkata, "Nyanyian syetan ada di sisi Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam?." Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pun menemuinya dan bersabda: "Biarkanlah mereka berdua." Ketika ia tidak mengindahkan lagi, maka saya pun memberi isyarat pada kedua budak wanita itu sehingga keduanya pun keluar. Kemudian pada hari raya, orang-orang berkulit hitam bermain baju besi dan tombak. Kemungkinan saya yang bertanya kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam atau pun beliau yang bertanya padaku, "Apakah kamu ingin melihatnya?" Saya menjawab, "Ya." Maka beliau pun meletakkanku berdiri di belakangnya, pipiku menempel di pipi beliau. Dan beliau bersabda: "Silahkan kalian bermain-main, wahai bani Arfidah (gelar bangsa Habasyah)." Hingga apabila aku bosan, beliau bertanya, "Cukup?" Aku menjawab, "Ya." Beliau berkata, "Pergilah."
*Dari hadits- hadits tersebut, kita dapatkan istinbath:*
1. Rasulullah membiarkan umatnya untuk bersenang-senang di hari raya dengan sesuatu yang mubah dengan sabdanya; 'da' Huma', Biarkanlah dia...wahai Abu Bakar.! Maka seandainya di hari raya ada acara- acara untuk kesenangan yang mubah, apakah main bola, panjat pinang, silakan aja ...selama mubah. Seandainya di hari raya itu ada yang main jangkrik, nyetél takbiran, lomba makan kerupuk.... Silahkan aja.!! Tidak ada syariat melarangnya berdasarkan hadits di atas.
2. Rasulullah membolehkan pada momentum yang khusus di hari raya dengan memainkan 'duff' yaitu sejenis rebana, yang dimainkan oleh jariyah, atau anak² yang belum dewasa, sebagaimana membolehkannya pula di saat walimah pengantin. Namun bukan instrumen musik, dangdut atau orkes joget sebagaimana yang sekarang.!!
3. Rasulullah mengingkari sikap Abu Bakar yang melarang permainan di hari raya, maka bagaimana lagi orang-orang belakangan selain Abu Bakar.?? (tidak masuk hitungan, tidak perlu ditoleh).
4. Momentum hari raya adalah untuk membesarkan Allah, mensyukuri nikmat Allah, dan menjauhi kemaksiatan- kemaksiatan.
5. Menampakan kegembiraan dengan yang sesuatu yang halal pada momentum hari raya merupakan syiar dan Sunah. Siapa yang mengingkarinya justru tidak 'nyunnah'. Yang melarang, yang membid'ahkan dan mengharamkan sesuatu yang dibolehkan, justru itu yang tidak 'nyunnah'. Ada orang di hari raya untuk mengekspresi-kan kebahagiaan dengan; ngecat rumah, beli baju baru, ganti kendaraan baru, bahkan tambah istri (kalau mampu) ya... biarkan aza...!!.
Penulis: Abu Hasan Awamm
Semoga bermanfaat. Amiin..
Tidak ada komentar :
Posting Komentar