MEMBONGKAR KEBOHONGAN TERHADAP SYAIKHUL ISLAM IBNU TAIMIYAH
[Studi Kritis Buku ‘Itiqad Ahlu Sunnah Wal-Jamaah” Oleh KH Sirajuddin Abbas]
Oleh
Abu Ubaidah Al-Atsariy
Siapa tidak mengenal nama lbnu Taimiyyah, seorang tokoh ulama yang telah berjuang untuk Islam dengan lidah dan pedangnya. Keharuman namanya semerbak dikenang generasi selanjutnya. Hampir-hampir sejarah Islam tidak pernah melupakan nama beliau sekaligus karangan-karangannya yang menyebar ke seluruh pelosok dunia.
Semua kalangan mengakui keilmuan beliau, baik kawan maupun lawan. Hal itu tidak lain kecuali disebabkan kecerdasan dan keenceran otaknya, keluasan ilmunya, kejeliannya dan kehebatannya, sehingga beliau mampu mengungguli para pembesar ulama lainnya. ini semua tidak dapat dipungkiri kecuali oleh segelintir manusia yang bodoh dan jahil. Mereka tidaklah berdiri di atas hujjah, melainkan hanya kerancuan, yang mereka sendiripun tidak mengetahui isi dan maksud perkataan mereka. Tetapi yang penting, mereka sebarkan dan tebarkan begitu saja dengan kejahilan dan kesesatan yang keterlaluan. Sungguh mereka amat jauh dari ilmu dan keadilan [1]
Memang sebagal tokoh ulama sepertinya sangatlah wajar bila mendapatkan tuduhan dan celaan, sebagaimana panutannya, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang tabah menerima berbagai celaan di dalam menegakkan al-haq.
Syaikh Masyhur bin Hasan Salman mengatakan: “Para pencela Syaikhul Islam lbnu Taimiyyah sangat banyak sekali. Nenek moyang mereka sangatlah populer bagi orang yang mau membaca kitab-kitab para ulama kita. Dan bibit merekapun telah berkembang di sekitar kita sekarang ini. Mereka tidak membicarakan selain celaan kepada Ibnu Taimiyyah beserta orang-orang yang sejalan dengannya dari kalangan para sahabat, tabiin serta orang-orang yang berjalan di atas petunjuk mereka.
Sesungguhnya penyebab permusuhan yang mereka lancarkan hanyalah karena aqidah yang shahih. Yaitu, ketika mereka tidak sanggup berhadapan langsung dengan al-haq, merekapun mengganggap bahwa dengan mencela tokoh-tokoh pembela kebenaran lebih mudah untuk melunturkan al-haq itu sendiri.
Hal tersebut telah mereka lakukan dengan berbagai cara di setiap tempat dan kesempatan baik melalui pernyebaran kitab, tulisan, kedustaan maupun tuduhan” [2]
Salah satu contoh buku yang berisi tuduhan dan celaan terhadap syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah adalah buku “Aqidab Ahlus Sunnah Wal Jamaah” karya KH Sirajuddin Abbas [3]. Keberaniannya menuduh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah sangat mengejutkan kita. Lebih mengejutkan lagi, penulis tersebut seringkali meminjam nama “Ahlus Sunnab Wal Jama’ah” bukan pada tempatnya, oleh karena itu sangatlah baik sekali sebelum memasuki pambahasan, kami kutipkan terlebih dahulu pengertian Ahlus Sunnah wal Jama’aah yang sebenarnya. Sebab banyak sekali orang maupun golongan mengakuinya padahal amalan-amalan mereka jelas bertentangan dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Al-Imam Ibnu Hazm berkata dalam kitabnya “Al Fashl fil Milal Wa Nihal” 2/271: “Yang dimaksud Ahlus Sunnah adalab Ahlul haq dari kalangan para sahabat, dan setiap orang yang menempuh jalan mereka dari kalangan para tabi’in, ahlul hadits dan para fuqaha dari generasi ke generasi hingga pada zaman kita ini. Demikian pula orang-orang awam yang mengikuti mereka, baik di belahan timur maupun barat semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala merahmati mereka semuanya”.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah juga berkata menerangkan definisi Ahlus Sunnah dalam Majmu’ Fatawa” 3/375 : “Mereka adalah orang-orang yang berpegang teguh dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah serta apa yang menjadi kesepakatan para sahabat dari kalangan Muhajirin dan Anshar, serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik”.
Beliau juga berkata dalam “Majmu’ Fatawa 3/346: “Barang siapa yang berkata dengan Al-Qur’an, As Sunnah dan ijma’ salaf maka dialah Ahlus Sunnah.”
Pada kesempatan ini kami akan mencoba menyingkap kedustaan-kedustaan yang terdapat dalam kitab “I’tiqod Ahlus Sunnah wal Jama’aah” karya KH. Sirajuddin Abbas hal 270-307 pada judul: Fatwa-fatwa Ibnu Taimiyah, yang bertentangan dengan fatwa Ahlus Sunnah wal Jama’ah”.
Semoga tulisan ini bermanfaat bagi orang-orang yang berakal, orang-orang yang jauh dari sifat menolak kebenaran, dan jauh pula dari sifat yang dikisahkan Allah dalam kitab-Nya:
بَلْ قَالُوا إِنَّا وَجَدْنَآ ءَابَآءَنَا عَلَى أُمَّةٍ وَإِنَّا عَلَى ءَاثَارِهِم مُّهْتَدُونَ
Bahkan mereka berkata sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami menganut suatu agama, dan sesungguhnya kami orang-orang yang mendapat petunjuk. [Az Zukhruf :22]
PASAL I
MADZHAB IBNU TAIMIYAH DALAM ISTIWA’
Hal 270 : “Ibnu Taimiyah menfatwakan bahwa Tuhan duduk bersila di atas arsy serupa dengan duduk bersilanya Ibnu Taimiyah sendiri, faham ini beberapa kali diulanginya di atas mimbar masjid Bani Umayah di Damsyik Syiria dan di Mesir”
Jawaban : “PenuIis fidak menerangkan sumber riwayatnya, sehingga kita bertanya-tanya: “Dari manakah penulis menukil perkataan itu?” Di kitab apa dan siapa pengarangnya?! Semua pertanyaan, itu selalu terngiang-ngiang di telinga kita yang tentunya membutuhkan jawaban.
Kami katakan: “Maha suci Allah dari apa yang dituduhkan!! Sesungguhnya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah sangat jauh dari tuduhan seperti ini. Bagaimana tidak? Perhatikanlah perkataan beliau berikut ini baik-baik! lalu bandingkan dengan tuduhan penulis ini. Beliau berkata: “Demikian juga apabila ada seorang yang menjadikan sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala serupa dengan sifat makhluk-Nya, Seperti mengatakan istiwa’ Allah Subhanahu wa Ta’ala serupa dengan istiwa’ makhluk-Nva atau turunnya Allah Subhanahu wa Ta’ala serupa dengan turunnya makhluk, Maka orang ini mubtadi’ (ahli bid’ah), sesat dan menyesatkan. Karena Al Qur’an dan As-Sunnah serta akal menunjukkan bahwa Allah tidak serupa dengan makhluk-Nya dalam segala segi” [4]
Lihatlah wahai saudaraku alangkah jelasnya perkataan yang bagus ini!
Hal 270 : “Jadi Ibnu Taimiyyah boleh digolongan kaum Dhahiriyyah yaitu kaum yang mengartikan ayat.ayat Al Qur’an dan hadits nabi secara lahirnya saja”.
Jawaban : “Ya, boleh-boleh saja tuan golongkan lbnu Taimiyyah kepada kaum Dhahiriyyah. Tapi apakah Ibnu Taimiyyah salah dan sesat karena dia termasuk kaum Dhahiriyyah? jika tuan menyalahkan Ibnu Taimiyyah karena dia mengartikan ayat Al-Qur’an dan As-Sunnah secara lahirnya saja, maka tuan juga harus menyalahkan ulama-ulama salaf pendahulu lbnu Taimiyyah yang telah sepakat mengartikan ayat-ayat dan hadits tentang sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala secara lahirnya. Kami nukilkan di sini dua penukilan saja:
1. Walid bin Muslim berkata: “Aku bertanya kepada Al-Auza’i, Malik bin Anas, Sufyan Ats-Tsauri, Laits bin Sa’ad tentang hadits-hadits masalah sifat? Mereka semuanya mengatakan kepadaku: “Jalankanlah sebagaimana datangnya tanpa tak’yif (menggambarkan bagaimananya/bentuknya)” [5]
2. Al Hafizh Ibnu Abdil Barr berkata: “Seluruh Ahlus Sunnah telah bersepakat untuk menetapkan sifat-sifat yang terdapat dalam Al-Quran dan As-Sunnah serta mengartikannya secara dhahirnya. Tetapi mereka tidak menggambarkan bagaimananya/bentuknya sifat-sifat tersebut. Adapun Jahmiyyah, Mu’tazilah dan Khawarij mereka mengingkari sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala dan tidak mengartikannya secara dhahirnya. Lucunya mereka menyangka bahwa orang yang menetapkannya termasuk Musyabbih (kaum yang menyerupakan Allah dengan makhluk” [6]
Cukuplah dua nukilan ini saja, kalau kami turunkan seluruh perkataan salaf dalam masalah ini maka akan terlalu panjang. Inilah pendahulu lbnu Taimiyyah yaitu ulama-ulama salaf ahlu As Sunnah wal jamaah, lalu siapakah pendahulumu wahai tuan? Tunjukkan siapa Ahlus Sunnah yang tidak mengartikan sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala secara dhahirnya!.
Hal, 271 : “Ulama-ulama salaf menyerahkan arti yang hakiki dari perkataan istiwa’ itu kepada Allah, memang dalam bahasa arab istiwa’ artinya duduk tetapi ayat-ayat sifat istiwa’ lebih baik dan lebih aman bagi kita, tidak diartikan, hanya diserahkan artinya kepada Tuhan sambil kita i’tiqadkan bahwa Tuhan tidak serupa dengan makhluk”.
Jawaban : Perkataan ini merupakan kedustaan dan kebohongan nyata atas nama ulama-ulama salaf, Siapa salaf yang mempunyai pemikiran seperti ini? Apakah mereka sahabat Rasulullah ? Apakah mereka para Tabi’in? Apakah mereka para ahli hadits seperti Bukhari, Muslim dan lainnya? Tidakkah tuan tahu jika pemikiran seperti ini adalah pemikiran kaum Mufawwidhah, kelompok ahlu bid’ah yang sangat keji? Pemikiran ini telah dibantah habis oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah.
Beliau berkata: “Pendapat Tafwid ini merupakan celaan terhadap Al Qur’an dan para Nabi. Karena Allah menurunkan Al-Quran sebagai petunjuk bagi manusia, dan Allah juga memerintahkan para Rasul-Nya agar menyampaikan dan menerangkan wahyu, lantas tidak seorangpun mengetahui artinya?!. Lalu bagaimana seseorang akan merenungi Al-Quran yang diturunkan sebagai petunjuk?
Kalau pendapat ini diterima, maka setiap mubtadi’ (ahli bid’ah)akan bebas menyatakan bahwa kebenaran adalah apa yang diketahui pikiran dan akal kita masing-masing. Pemikiran ini merupakan penutup petunjuk ilahi dan pembuka pintu bagi para penyeleweng untuk mengatakan: “Sesungguhnya petunjuk itu ada pada jalan kami, bukan pada jalan para nabi, karena kami mengerti apa yang kami katakan sedangkan para nabi tidak mengerti apa yang mereka katakan”. Dan sini, jelaslah bahwa perkataan Ahlu tafwid (orang yang berfaham tafwid) yang mengaku mengikuti As-Sunnah dan salaf termasuk perkataan ahlu bid’ah yang sangat keji” [7]
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin menukil perkataan beliau ini dalam kitabnya “Al Qawaidul Al Mutsla fi Asma Al Husna” hal 43-44, lalu mengomentari sebagai berikut: “Ini merupakan perkataan yang sangat bagus sekali, keluar dari pikiran yang cerdas. Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala merahmatinya dengan seluas-luasnya serta mengumpulkan kita semua di surga-Nya”.
Hal 271 : “Ulama khalaf menta’wilkan kata istawa’ itu dengan istaula yakni menguasai atau memerintah”
Jawaban : Sungguh amat jauh penyimpangan penulis ini!!! Karena jelas-jelas bertentangan dengan pemahaman salafus shaleh. Kami tidak ingin memperpanjang bantahan syubhat ini, karena masih banyak lagi syubhat yang masih perlu dijawab.
Syaikhul Islam lbnu Taimiyyah telah membantah secara panjang lebar dalam “Maj’mu Fatawa” 5/144-149, demikian juga Ibnu Qayyim, muridnya, di dalam Mukhtashar Shawa’iqul Al Mursalah” hal 353-366. Kami cukupkan di sini dengan tiga point saja.
1. Penafsiran ini tidak dinukil dari kalangan salaf, baik dari kalangan sahabat maupun tabi’in. Tidak ada seorangpun dari mereka yang menafsirkan seperti penafsiran ini, bahkan orang pertama kali yang menafsirkan istawa’ dengan istaula adalah sebagian kaum Jahmiyyah dan Mu’tazilah sebagaimana diceritakan oleh Abul Hasan Al-Asy’ari dalam bukunya “Al Maqalat” dan Al Ibanah” [8]
2. Sesungguhnya menafsirkan kitab Allah dengan penafsiran yang baru dan menyelisihi penafsiran Salaf As shaleh, mengharuskankan dua perkara, yaitu: entah dia yang salah, atau Salaf As-shaleh yang salah. Seorang yang berakal sehat tidak akan ragu bahwa penafsiran baru yang menyelisihi Salaf As-shaleh ini yang pasti salah [9].
3. Tidak ada di dalam bahasa arab kalau kata istawa’ berarti istaula, bahkan hal ini diingkari oleh pakar bahasa yaitu Ibnu ‘A’rabi [10]
Orang-orang yang menta’wil istawa’ dengan istaula tidak mempunyai hujah kecuali suatu bait syair terkenal [11]
ثُمَّ اسْتَوَى بِشْرٌ علَى الْعِرَاقِ مِنْ غَيْرِ سَيْفٍ وَلاَ دَمٍ مُهْرَاقٍ
“Kemudian Bisyr menguasai Irak tanpa pedang dan tanpa pertumpahan darah”
Padahal tidak ada penukilan yang sangat jelas bahwa bait ini termasuk bait syair arab. Oleh karena itu para pakar bahasa mengingkari bait ini seraya mengatakan: “Ini adalah bait yang dibuat-buat, tidak dijumpai dalam bahasa”.
Bukankah kalau seorang hendak berhujjah dengan hadits, ia harus mengetahui lebih dahulu keabsahan hadits tersebut? Maka bagaimana dengan bait syair yang tidak diketahui sanadnya ini !!! [12]
Hal, 271 : “Karena itu Ibnu Taimiyyah bukanlah pengikut ulama’-ulama salaf dan juga ulama’-ulama’ khalaf, ini harus dicamkan benar-benar. Karena di Indonesia terdengar desus-desus bahwa Ibnu Taimiyyyah itu pengikut faham salaf”
Jawaban : Ya, kalau arti salaf seperti arti salafnya tuan, maka benar. Karena antara Syeikhul Islam dengan orang-orang seperti tuan amat jauh sekali! Tetapi, jika maksud salaf adalah mereka yang mengikuti manhaj Rasullullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sahabatnya, para tabi’in dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, maka kami katakan kepada tuan dengan bait syair:
أَئِمَّةُ شَأْنٍ كَالشُّمُوْسِ اشتِهَارُهُمْ فَمَا انْطَمَسُوْا إِلاَّ مَنْ بِهِ عُمِيَ
“Kemasyhuran para imam kebenaran itu seperti matahari
Tidaklah terhapuskan melainkan orang yang buta matanya”
Seorang penyair lain mengatakan:
وَهَبَنِي قُلْتَ أَنَّ الصُّبْحَ لَيْلٌ أَيَعْمَى الْمُبْصِرُوْنَ عَنِ الضِّيَاءِ
“Dia memberitahuku bahwa engkau mengatakan: “Sesungguhnya subuh adalah malam”.
Apakah orang-orang yang mempunyai penglihatan telah buta dari sinar?“
Terus terang saja, perkataan seperti ini sebenarnya tidaklah layak untuk ditangggapi. Karena sebagaimana kata penyair:
وَلَيْسَ يَصِحُّ فِي الْأذْهَانِ شَيْءٌ إِذَا احْتَاجَ النّهَارُ إِلَى دَلِيْلٍ
“Tidaklah masuk akal sedikitpun,
jika siang hari membutuhkan dalil (penunjuk jalan)”
Tetapi sebagai jawaban, cukuplah di sini disebutkan dua point saja:
1. Al-Hafidz Ad-Dzahaby berkata menyifati syeikhul Islam Ibnu Taimiyyah: “Beliau telah menolong sunnnah nabawiyyah, dan manhaj salaf, beliau juga berhujjah dengan hujjah yang sulit dicari tandingannya” [13]
2. Fatwa Lajnah Daimah (Komisi Fatwa Saudi) yang diketuai oleh Syeikh AI-Allamah Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz, terhadap pertanyaan sebagai berikut: “Sebagian orang mengatakan bahwa lbnu Taimiyyah bukanlah termasuk Ahlus Sunnah wal jama’ah, sesat dan menyesatkan. Betulkah ini?”
Jawaban: “Sesungguhnya Syeikh Ahmad bin Abdul Halim lbnu Taimiyyyah termasuk imam di antara imam-imam Ahlus Sunnah wal jama’ah, berda’wah menuju kebenaran dan jalan yang lurus, dengannya Allah menolong As-Sunnah dan menghancurkan bid’ah. Barangsiapa menghukumi Syeikhul Islam Ibnu Taimiyyah bukan seperti di atas, maka dia adalah mubtadi’ (ahli bid’ah), sesat dan menyesatkan. Dia telah buta tentang sejarah Islam sehingga yang benar disangka bathil dan yang bathil disangka benar. Semua ini dapat diketahui bagi siapa yang Allah terangkan pandangannya, serta mau membaca buku-buku karangannya, lalu membandingkannya dengan kitab-kitab musuh-musuhnya” [14]
Wahai pembaca, camkanlah fatwa ini baik-baik karena di Indonesia terdengar desas-desus bahwa Ibnu Taimiyyah bukan pengikut Ahlus Sunnah wal jama’ah. Janganlah tertipu oleh mereka! karena sesungguhnya mereka berada di dalam penyimpangan dan kebatilan yang sangat jauh.
Hal. 274 : “Andai kata diterima faham Ibnu Taimiyyah, yang berpendapat bahwa tuhan itu bersila di atas Arsy, maka bagaimana lagi ayat al-Al Qur’an: “Allah bersama kalian dimanapun kalian berada” Faham lbnu Taimiyyah ini menimbulkan kesan seolah-olah tuhan itu dua atau yang satu duduk bersila di atas arsy’ dan yang lain berjalan-jalan bersama manusia, alangkah kelirunya faham ini”
Jawaban : Sungguh benar kata penyair:
وَعَيْنُ الرِّضَى عَنْ كُلِّ عَيْبٍ كَلِيْلَةٌ كَمَا أَنَّ عَيْنَ السُّخْطِ تُبْدِى الْمَسَاوِيَ
“Pandangan simpati menutup segala cacat,
Sebagaimana pandanganpun kebencian menampakkan segala kecacatan”
Bukankah pemikiran ini hanyalah muncul dari fikiran tuan belaka? Mengapa tuan begitu hasad terhadap Ibnu Taimiyyah? padahal lbnu Taimiyyah sangatlah jauh dari apa yang tuan bayangkan. Bahkan beliau berkata: “Janganlah seorang menyangka bahwa ayat-ayat Allah saling bertentangan. Seperti mengatakan: ”Ayat yang menerangkan bahwa Allah berada di atas arsy’ bertentangan dengan ayat: “Dan Dia bersama kalian di manapun kalian berada” atau selainnya. Maka ini merupakan kekeliruan.
Karena Allah bersama kita secara hakekat dan Allah juga berada diatas arsy’ secara hakekat pula. Sebagaimana Allah menggabungkan hal ini dalam firmanNya:
هُوَ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ يَعْلَمُ مَا يَلِجُ فِي اْلأَرْضِ وَمَا يَخْرُجُ مِنْهَا وَمَا يَنزِلُ مِنَ السَّمَآءِ وَمَا يَعْرُجُ فِيهَا وَهُوَ مَعَكُمْ أَيْنَ مَا كُنتُمْ وَاللهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ
Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam hari, kemudian Dia bersemayam di atas atsy’. Dia mengetahui apa yang masuk pada bumi dan apa yang keluar darinya, dan apa yang turun dari langit dan apa yang naik padanya. Dan Dia bersama kalian di mana saja kalian berada, Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. [Al-Hadid:4]
Allah mengabarkan dalam ayat ini bahwasanya Dia berada di atas arsy’, mengetahui segala sesuatu, dan Dia-pun bersama kita di manapun kita berada. Inilah ma’na perkataan salaf: “Sesungguhnya Allah bersama hamba dengan ilmunya” [15]
PASAL 2
MADZHAB IBNU TAIMIYYAH TENTANG NUZUL
Setelah membawakan hadits tentang nuzul (turunnya Allah ke langit dunia), pada hal : 275. penulis berkata: “Ketika menerangkan hadits ini, Ibnu Taimiyyah mencobakan bagaimana turunnya tuhan dari langit, yaitu seperti ia turun dari mimbar”
Jawaban : Sebelum kita menjawab tuduhan ini, sangatlah baik sekali kita mengetahui terbih dahulu hadits nuzul tersebut
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ n قَالَ : يَنْزِلُ رَبُّنَا تَبَارَكَ وَ تَعَالىَ كُلَّ لَيْلَةٍ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا حِيْنَ يَبْقَى ثُلُثُ الأَخِيْرِ يَقُوْلُ: مَنْ يَدْعُوْنِي فَأَسْتَجِيْبَ لَهُ , مَنْ يَسْأَلُنِي فَأُعْطِيَهُ مَنْ يَسْتَغْفِرُنِي فَأَغْفِرِ لِهُ
Dari Abu Hurairah, bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Rabb kita turun ke langit dunia pada setiap malam yaitu ketika sepertiga malam terakhir, Dia berkata: “Barangsiapa yang berdoa kepada-Ku, akan Kukabulkan, siapa yang meminta kepada-Ku, akan Kuberi, Dan siapa yang memohon ampun kepada-Ku, akan Kuampuni” [16]
Setelah kita mengetahui keabsahan hadits ini, maka kita jawab tuduhan penulis tersebut terhadap lbnu Taimiyyah, dengan bertanya kepadanya: “Dari manakah tuduhan ini? Dikitab apa ? Siapa yang menceritakannya? Siapa ulama’ yang mencatat kisah ini? Mana murid-muridnya? Siapa ahil sejarah yang mencatatnya?”
Barangkali penulis mengambil warisan danri nenek moyang pendusta yang bernama Ibnu Bathuthah yang telah dibongkar kedustaannya oleh para ahlu ilmu [17]. Kita cukupkan di sini dengan perkataan syeikhul Islam sendiri setelah membawakan hadits diatas: “Para salaf, para imam, dan para ahlu ilmu dan hadits telah bersepakat membenarkan dan menerima hadits ini. Barangsiapa yang berkata seperti perkataan rasul, maka dia benar. Tetapi barangsiapa yang memahami hadits ini atau hadits-hadits yang sejenisnya dengan pemahaman yang Allah suci darinya, seperti menyerupakanNya dengan sifat makhluq, dan menyifatiNya dengan kekurangan, maka dia telah salah. Oleh karena itu madzhab salaf meyakini dalam sifat ini dengan menetapkan sifat-sifat bagi Allah dan tidak menyerupakannya dengan makhluk. Karena Allah disifati dengan sifat-sifat terpuji dan suci dari penyerupaan dengan makhlukNya” [18]
Hal : 276 : “Sebagaimana dimaklumi dunia ini bundar, malam di suatu tempat, siang di tempat yang lain, kalau di Indonesia matahari sudah terbenam dan sudah malam maka di Makkah baru pukul dua belas siang. Kalau di lndonesia siang bolong umpamanya pukul sepuluh pagi, maka di Belanda betul-betul pukul dua malam. Dan begitulah seterusnya. Nah, kalau tuhan turun ke bawah pada sepertiga malam terakhir, sebagaimana turunnya Ibnu Taimiyah, maka pekerjaan tuhan hanya turun-turun saja setiap waktu bagi seluruh penduduk dunia. Karena waktu malam sepertiga malam terakhir bergantian di seluruh dunia, sedang tuhan hanya satu.”
Jawaban : Demikianlah jika seorang telah dimotori dengan akal, mengapakah tuan menggambarkan Allah sedemikian rupa? Mengapakah tuan tidak pasrah terhadap hadist Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang yang shahih? Bukankah Allah berfirman:
فَلاَ وَرَبِّكَ لاَ يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لاَ يَجِدُواْ فِي أَنفُسِهِمْ حَرَجًا مِّمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
Demi Rabbmu, tidaklah mereka beriman sehingga mereka menjadikanmu sebagai hakim dalam perkara-perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan terhadap hukummu, dan mereka pasrah dengan sebenar-benarnya. [An-Nisa’:65]
Imam Al-Bukhari meriwayatkan dari imam Az-Zuhri, dia mengatakan: “Wahyu itu dari Allah, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya menyampaikan, kewajiban kita hanya pasrah dan tunduk” [19]
Imam Ath-Thahawy berkata: “Tidaklah selamat seorang hamba dalam agamanya kecuali apabila dia tunduk dan pasrah terhadap Allah dan RasulNya n , dan mengembalikan segala kesamaran kepada yang Maha Mengetahui” [20].
Kewajiban kita dalam hadits-hadits seperti ini adalah:
1. Beriman terhadap nash-nash yang shahih.
2. Tidak bertanya bagaimana serta menggambarkannya, baik dalam fikiran, terlebih lagi dalam ungkapan. Karena hal itu termasuk berkata terhadap AIllah tanpa ilmu, sedangkan Allah tidak dapat dijangkau oleh fikiran.
3. Tidak menyerupakan sifatNya dengan sifat makhluk. Allah berfirman:
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيءُُ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
“Tidak ada sesuatu pun yang serupa denganNya, dan Dialah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui [As-Syura:11]
Jika kita memahami kewajiban ini, maka tidak akan ada lagi kerancuan dalam hadits nuzul atau lainnya yang menerangkan sifat-sifat Allah. Yang penting, jika tiba sepertiga malam terakhir maka Rabb turun ke langit dunia, sebagaimana yang diberitakan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam [21]
Hal. 276 : “Yang benar, ialah tafsiran Ahlus Sunnah wal Jama’ah, bahwa pintu rahmat tuhan lebih terbuka pada sepertiga malam terakhir, menurut waktu setempat, karena itu berdoalah pada waktu itu”
Jawaban : Inilah yang dinamakan ta’wil! sebuah ta’wil yang dibangun di atas hujjah anak-anak dan wanita, sebuah ta’wil yang telah dikikis bersih oleh Syeikhul Islam sendiri dalam ‘Majmu’ Fatawa” 5/415-517.
Tidak ada seorang sahabatpun yang menta’wil seperti ini… camkanlah baik-baik perkataan lbnu Taimiyyah berikut ini: “Sesungguhnya aku telah menelaah tafsir-tafsir yang dinukil dari kalangan sahabat dan apa yang mereka riwayatkan dari hadits-hadits nabi, dan aku telah membaca kitab-kitab, baik yang besar maupun kecil lebih dari seratus buku tafsir, akan tetapi sampai saat ini saya tidak mendapatkan seorangpun dari sahabat yang menta’wil satupun dari ayat-ayat sifat maupun hadits…” [22]
Cukuplah sebagai renungan kita bersama “Apakah rahmat Allah mampu untuk mengatakan: “Barangsiapa yang berdoa kepadaKu akan Kukabulkan, siapa yang meminta kepadaKu akan Kuberi”, sungguh amatlah mustahil sekali!! sekalipun bagi orang-orang yang bodoh.
Syeikh Al-‘Allamah Abdul Aziz bin Abdillah bin Baaz berkata membantah ta’wil-ta’wil seperti ini: “Ini merupakan kesalahan yang nyata sekali, bertentangan dengan nash-nash shahih yang menetapkan nuzul (turunnya) Allah. Pendapat yang benar, ialah pendapat salaf shaleh, yaitu meyakini turunnya Allah dan memahami riwayat itu sebagaimana datangnya, tanpa takyif (membagaimanakan), dan tanpa tamtsil (menyerupakan dengan makhluk). lnilah jalan yang paling benar, paling selamat, paling cocok, dan paling bijaksana. Pegangilah keyakinan ini dan gigitlah dengan gigi gerahammu serta berhati-hatilah dari keyakinan¬-keyakinan yang menyelisihi ini, Semoga engkau bahagia dan selamat” [23]
PASAL 3
MADZHAB IBNU TAIMIYYAH DALAM ZIARAH KUBUR
Hal, 274 : “Ibnu Taimiyyah mengharamkan orang yang ziarah ke makam nabi di Madinah, dan perjalanan itu (kalau dilakukan) dianggap ma’siat menurut Ibnu Taimiyyah”
Hal, 278 : “Walaupun kebanyakan umat Islam tidak mau mengikut, tapi sejarah Islam telah mencatat bahwa ada seorang ulama’ Islam di Damsyik pada abad 7H, yang mengharamkan ziarah ke makam nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam yaitu Ibnu Taimiyyah”
Jawaban: “Masalah ini bukanlah masalah baru, dan tuduhan ini bukanlah tuduhan yang baru pula, pada masa beliau sudah ada yang membuat kedustaan atas beliau dalam hal ini.
Agar tidak ada salah faham dalam maslah ini, maka hendaklah dicermati baik-baik. Kami katakan: “Sesungguhnya Syeikhul Islam lbnu Taimiyyah tidaklah mengharamkan ziarah kubur yang syar’i, baik kuburan Nabi n atau lainnya. Akan tetapi yang beliau larang adalah ziarah kubur bid’i (secara bid’ah), seperti mengadakan penjalanan dengan tujuan ziarah kubur, sebagaimana sering dilakukan banyak orang, terutama di Indonesia ini. Larangan itu berdasarkan hadits, bahwasanya Rasulullah n bersabda:
لاَ تُشَدُّ الرِّحَالِ إِلاَّ إلَى ثَلاَثَةِ مَسَاجِدَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَ مَسْجِدِي هَذَا وَ الْمَسْجِدِ الأَقْصَى
Janganlah mengadakan perjalanan kecuali menuju tiga masjid: Masjidil Haram, Masjidku ini(masjid Nabawi) dan masjidil Aqsha. [24]
Sesungguhnya orang yang mau membaca kitab-kitab Syeikhul Islam lbnu Taimyyah dengan adil dan jujur, niscaya ia akan mengetahui bahwa beliau sama sekali tidak mengharamkan ziarah kubur sebagaimana tuduhan penulis ini. Perhatikanlah perkataan beliau berikut ini baik-baik: “Telah aku jelaskan dalam kitabku tentang manasik haji, bahwa bepergian ke masjid Nabawi dan menziarahi kubur beliau – sebagaimana diterangkan imam kaum muslimin dalam manasik- merupakan amal shaleh yang dianjurkan…” Beliau juga berkata: “Barangsiapa yang bepergian ke Masjid Haram, Masjid Aqsha atau Masjid Nabawi, kemudian shalat di masjidnya, lalu menziarahi kubur beliau sebagaimana Sunnah Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam maka ini merupakan amal shaleh. Barangsiapa mengingkari safar seperti ini, maka dia kafir diminta taubat, jika bertaubat itulah yang diharapkan. Jika tidak maka dibunuh.
Adapun seseorang yang melakukan perjalanan hanya untuk ziarah kubur semata, sehingga apabila sampai di Madinah, ia tidak shalat di masjidnya, tetapi hanya untuk ziarah kubur nabi n lalu pulang, maka orang ini mubtadi’ (ahli bid’ah) yang sesat, dan menyesatkan karena menyelisihi Sunnah Rasulullah, ijma’ salaf dan para ulama’ umat ini” [25]
Barangsiapa yang membaca kitab “Ar Raddu ‘ala Al-Akhna’i” dan “Al-Jawabul Al-Baahir Liman Sa’ala ‘an Ziyaratil Kubur” karya Ibnu Taimiyyah, ia akan yakin dengan apa yang kami uraikan.
Hal ini dikuatkan oleh murid-murid beliau di antaranya.
1. Al-Hafidz Ibnu Abdil Hadi, beliau berkata dalam ‘As Sharim Al-Munky” Hal; 15: “Hendaklah diketahui, sebelum membantah orang ini (as-Subkiy) bahwasanya Syeikhul Islam lbnu Taimiyyah tidaklah mengharamkam ziarah kubur yang syar’i dalam kitab-kitabnya. Bahkan beliau sangat menganjurkannya. Karangan-karanganya serta manasik hajinya adalah bukti atas apa yang saya katakan”
2. Al-Hafidz lbnu Katsir, beliau berkata dalam “Al Bidayah Wa An-Nihayah” 14/123: “Dan Syeikh lbnu Taimiyyah tidaklah melarang ziarah kubur yang bersih dari kebid’ahan, seperti bepergian/safar untuk ziarah kubur. Bahkan beliau mengatakan sunnahnya ziarah kubur, kitab-kitabnya dan manasik-manasik hajinya adalah bukti hal itu, beliau juga tidak pernah mengatakan haramnya ziarah kubur dalam fatwa-fatwanya, beliau juga tidak jahil dengan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Ziarahlah karena hal itu dapat mengingatkan kalian dengan akherat”. Tetapi yang beliau larang adalah bepergian/safar untuk ziarah. Jadi ziarah kubur itu suatu masalah dan bepergian dalam rangka ziarah kubur itu masalah lain lagi”
Sebagai penutup pembahasan ini kami kutipkan pula perkataan Al-‘Allamah Al-Muhaddits Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani, beliau berkata dalam “Silsilah Ahadits adh-Dhaifah” 1/124, no: 47: “Perhatian: Banyak orang menyangka bahwa Syeikhul Islam Ibnu Iaimiyyah dan orang-orang yang sejalan dengannya di kalangan salafiyin melarang ziarah kubur nabi. Ini merupakan kedustaan dan tuduhan palsu. Tuduhan seperti ini bukanlah perkara yang baru. Orang yang mau menelaah kitab-kitab lbnu Taimiyyah akan mengetahui bahwa beliau mengatakan disyariatkannya ziarah kubur nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan syarat tidak diiringi dengan kemungkaran-kemungkaran dan kebid’ahan-kebid’ahan seperti bepergian/safar ke sana, berdasarkan hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Janganlah mengadakan perjalanan kecuali ke tiga masjid”
Yang dikecualikan dalam hadits ini bukanlah masjid saja sebagaimana persangkaan kebanyakan orang, tetapi setiap tempat yang dijadikan taqarrub kepada Allah, baik berupa masjid, kuburan, atau selainnya. Hal ini berdasarkan dalil yang diriwayatkan Abu Hurairah, ia berkata; “Aku berjumpa dengan Busyirah Ibnu Abi Basyrah Al-Ghifary, lalu dia bertanya kepadaku: “Dari mana kamu ? jawabku: “Dari bukit Thur”, Dia berkata; “Seandainya aku mengetahui sebelum kepergianmu ke sana, niscaya engkau tidak akan jadi pergi ke sana, aku mendengar Rasulullah bersabda: ‘Tidak boleh mengadakan perjalanan kecuali ke tiga masjid”
Ini merupakan dalil yang sangat jelas bahwa para sahabat memahami hadits ini dengan keumumannya. Hal ini juga dikuatkan dengan tidak adanya penukilan dari seorang sahabatpun bahwa mereka mengadakan perjalanan ke kuburan siapapun. Semoga Allah merahmati orang yang mengatakan:
وَكُلُّ خَيْرٍ فِي اتِّبَاعِ مَنْ سَلَفَ وَكُلُّ شَرٍّ فِي ابْتِدَاعِ مَنَ خَلَفَ
“Setiap kebaikan adalah dengan mengikuti kaum salaf.
Dan setiap kejelekan adalah dengan mengikuti kaum khalaf”
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 12/Tahun V/1422H/2001M Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 08121533647, 08157579296]
_______
Footnote
[1]. Lihat Dhawaabith Amar Ma’ruf Nahi Mungkar ‘Inda Syeikhil Islam Ibnu Taimiyah Hal.l6-17 OIeh Syeikh Ali bin Hasan. Al Ashalah cet I th. 1414H.
[2]. Kutub hadzara Minha Ulama’ 1/229-230, Daar As–Suma’i cet. I th. 1415H
[3]. Buku ini telah dicetak berulang kali, adapun buku rujukan kami dalam hal ini adalah terbitan Pustaka Tarbiyah, jakarta th. 1983M
[4]. Majmu’ Fatawa 5/252
[5]. Dikeluarkan Ash-Shabuni dalam “Aqidah Salaf”.no. 90, Imam Adz-Dzahabi dalam “Al’Uluw. 137 dan dishahihkan oleh Al-Albani dalam “Mukhtashar” Hal. 142-14
[6]. Mukhtashar al-Uluw” Hal. 278-279
[7]. Dar’u Taarudil Aql Wan Naql I/201-205
[8]. Tapi lucunya mereka mengingkari keabsahan penisbatan dua kitab ini kepada Imam Al-Asy’ari dengan hujjah yang lebih lemah dari sarang laba-laba
[9]. Mukhtashar Shawa’iqul Mursalah” Hal. 353
[10]. Mukhtashar Al-Uluw” hal. 195-196
[11]. Seperti kitab ini juga pada hal. 273
[12]. Majmu’ Fatawa 5/146
[13]. Dzail Thabaqat Hanabilah” 2/394
[14]. Fatawa Lajnah Daimah” 2/173
[15]. Aqidah Washitiyah” hal. 22-23.
[16]. HR. Bukhari No. 1145 dan Muslim No. 758
[17]. Lihat : Misalnya kitab “At-Tasfhiyah Wa Tarbiyah” Hal. 68-69 oleh Syeikh Ali bin Hasan dan kitab “Qashahshun laa tats-butu” 1/66-69 Oleh Syeikh Yusuf Ibnu Muhammad Atyq
[18]. Syarah Hadits Nuzul” Hal. 69-70
[19]. Fathul Baari” 13/512
[20]. Syarah Aqidah Thahawiyah” Hal. 199 Cet. Makhtab Islmay
[21]. Llihat. Majmu’ Fatawa Wa Maqalaat Syaikh Ibnu Utsaimin” 1/216
[22]. Majmu’ Fatawa” 6/394
[23]. Ta’liq ‘Ala Fathil Baary” 3/30
[24]. HR. Bukhari No. 1189 dan Muslim No. 827
[25]. Majmu’ Fatawa” 26/329-344
بيان بطلان دعوى نسبة التجسيم إلى شيخ الإسلام ابن تيمية
السؤال
هناك الكثير من الناس ينسبون التجسيم لابن تيميه ويقولون بأنه يدافع عن المجسمة ويستدلون على ذلك بالآتي: في كتاب بيان تلبيس الجهمية أولاً: قوله: "ولم يذم أحد من السلف أحدا بأنه مجسم ولا ذم المجسمة" ثانياً: "وليس في كتاب الله ولا سنة رسوله صلى الله عليه وسلم ولا قول أحد من سلف الأمة وأئمتها، أنه ليس بجسم وأن صفاته ليست أجساما وأعراضا، فنفي المعاني الثابتة بالشرع والعقل بنفي ألفاظ لم ينف معناها شرع ولا عقل جهل وضلال" ثالثاً: "وإذا كان كذلك فاسم المشبهة ليس له ذكر بذم في الكتاب والسنة ولا كلام أحد من الصحابه والتابعين" رابعاً: "والباري سبحانه وتعالى فوق العالم فوقية حقيقية وليست فوقية الرتبة" في كتاب درء تعارض العقل والنقل أو موافقة صحيح المنقول لصريح المعقول قوله: "فإن قدر أنه ابتدع في ذلك (يقول الرافضي هنا بأنه يقصد أنه ابتدع في إثبات الجسمية) كانت بدعته أخف من بدعة من نفى ذلك نفيا عارض به النصوص" ويقولون أيضاً بأن علماء عصره ومشايخ زمنه ردوا عليه فقال تقي الدين السبكي (فإنه لما أحدث ابن تيميه ما أحدث في أصول العقائد، ونقض من دعائم الإسلام الأركان والمعاقد، بعد أن كان متسترا بتبعية الكتاب والسنه مظهرا أنه داعٍ إلى الحق هادٍ إلى الجنة، فخرج عن الاتّباع إلى الابتداع وشذ عن جماعة المسلمين بمخالفة الإجماع، وقال بما يقتضي الجسمية والتركيب في الذات المقدسة، وأن الافتقار إلى الجزء ليس بمحال، وقال بحلول الحوادث بذات الله تعالى، وأنَّ القرآن محدَثٌ تكلَّم اللهُ به بعد أن لم يكن، وأنه يتكلم ويسكت ويحدث في ذاته الإرادات بحسب المخلوقات، وتعدى في ذلك إلى استلزام قدم العالم (والتزامه) بالقول بأنه لا أول للمخلوقات!!، فقال بحوادث لا أول لها فأثبت الصفة القديمة حادثة، والمخلوق الحادث قديماً، ولم يجمع أحد هذين القولين في ملّةٍ من الملل، ولا نحلة من النحل، فلم يدخل في فرقة من الفرق الثلاثة والسبعين التي افترقت عليها الأمة، ولا وقفت به مع أمة من الأمم همة. ويقولون بأنه صرح في فتاويه بجلوس النبي صلى الله عليه وسلم على العرش وجلوس المولى عز وجل معه ونقل عنه الفقهاء قوله بفناء النار. فما هو الصحيح ؟ وشكرا.
الإجابــة
الحمد لله، والصلاة والسلام على رسول الله، وعلى آله وصحبه، أما بعد:
فنفاة صفات الله تعالى الثابتة له في الكتاب والسنة، يستعملون في إثبات مذهبهم شبهات شتى، ومن أكثرها دورانا على ألسنتهم وفي كتبهم: دليل نفي التركيب والتجسيم عن الله تعالى، فيرمون من يثبت هذه الصفات بالتجسيم لكون إثباتها عندهم يستلزم التركيب والتجسيم! وهذا منقوض عليهم بأدلة كثيرة ليس هذا محل ذكرها، وراجعي الفتوى رقم: 173177.
هذا من جهة، ومن جهة أخرى فإن أئمة أهل السنة لهم مسلك رشيد في الألفاظ التي لم يأت في الكتاب والسنة نفيها ولا إثباتها، فإنهم يمتنعون عن إطلاقها على الله تعالى لفظا، وأما معناها فيستفصلون من قائلها، فإن أراد به معنى صحيحاً وافقوه على ذلك المعنى الصحيح، ولم يوافقوه على استعمال ذلك اللفظ، ومن ذلك لفظ التجسيم، فإنه من الألفاظ المحدثة التي لا بد من الاستفصال عن مراد صاحبها قبل الحكم عليها، بخلاف لفظ التمثيل فنفيه ثابت في الكتاب والسنة وإجماع السلف والأئمة، وراجع في ذلك الفتوى رقم: 283111.
وفي ضوء ذلك إذا رجع السائل لسياق كلام شيخ الإسلام ابن تيمية، لعرف أنه حق أبلج، ولنبدأ بالعبارة الأولى، حيث يقول شيخ الإسلام: لفظ «الجسم» و«العرض» و«المتحيز» ونحو ذلك: ألفاظ اصطلاحية، وقد قدمنا غير مرة أن السلف والأئمة لم يتكلموا في ذلك في حق الله، لا بنفي ولا إثبات؛ بل بدعوا أهل الكلام بذلك وذموهم غاية الذم، والمتكلمون بذلك من النفاة أشهر، ولم يذم أحد من السلف أحدًا بأنه مجسم، ولا ذم المجسمة، وإنما ذموا الجهمية النفاة لذلك وغيره، وذموا أيضًا المشبهة الذين يقولون: صفاته كصفات المخلوقين، ومن أسباب ذمهم للفظ الجسم والعرض ونحو ذلك ما في هذه الألفاظ من الاشتباه ولبس الحق، كما قال الإمام أحمد: «يتكلمون بالمتشابه من الكلام، ويلبسون على جهال الناس بما يشبهون عليهم». وإنما النزاع المحقق أن السلف والأئمة آمنوا بأن الله موصوف بما وصف به نفسه، ووصفه به رسوله، من أن له علمًا وقدرة وسمعًا وبصرًا، ويدين ووجهًا وغير ذلك، والجهمية أنكرت ذلك، من المعتزلة وغيرهم. اهـ.
فأنت ترى أن العبارة المنقولة في السؤال ليس المراد بها إثبات الجسمية لله تعالى، أو نفي الذم عن المجسمة! وإنما المراد أنه لا يصح نفي الصفات الثابتة لله تعالى بكونها تستلزم التجسيم، كما هو مذهب الجهمية ومن وافقهم.
وقريب من ذلك العبارة الثانية وإن كانت ليست من كلام شيخ الإسلام وإنما نسبها للمتكلمين من أهل الإثبات لما ناظروا المعتزلة!
وأما العبارة الثالثة فالمراد بها التفريق بين (التمثيل) الذي جاء القرآن بنفيه نصا، ولفظ (التشبيه) الذي يمكن أن يكون بمعنى التمثيل فيُنهى عنه ويذم، ويمكن أن يفسر بمعنى آخر له أصل صحيح، فنثبت الصواب من أصل المعنى، وننفي اللفظ والمعني الخاطئ. وراجع في ذلك الفتوى رقم: 198743، ولفظ كلام شيخ الإسلام بطوله هو:اسم «المشبهة» ليس له ذكر بذم في الكتاب والسنة، ولا كلام أحد من الصحابة والتابعين؛ ولكن تكلم طائفة من السلف مثل عبد الرحمن بن مهدي، ويزيد بن هارون، وأحمد بن حنبل، وإسحاق بن راهويه، ونعيم بن حماد، وغيرهم بذم المشبهة، وبينوا المشبهة الذين ذموهم؛ أنهم الذين يمثلون صفات الله بصفات خلقه، فكان ذمهم لما في قولهم من مخالفة الكتاب والسنة، إذ دخلوا في التمثيل، إذ لفظ التشبيه فيه إجمال واشتراك وإيهام، بخلاف لفظ التمثيل الذي دل عليه القرآن. اهـ.
وقد سبق لنا بيان مذهب المجسمة، والفرق بينه وبين المشبهة، وذلك في الفتوى رقم: 128269، ولمزيد الفائدة راجع الفتوى رقم: 134190.
وأما العبارة الرابعة فالمراد بها نفي قصر فوقية الله تعالى على فوقية الرتبة، بل هي مع ذلك فوقية حقيقية، فهو العلي الأعلى ذاتا وصفة سبحانه وتعالى، وقد ذكر شيخ الإسلام قبل ذلك حديث: «أنت الأول فليس قبلك شيء، وأنت الآخر فليس بعدك شيء، وأنت الظاهر فليس فوقك شيء، وأنت الباطن فليس دونك شيء» ثم قال:والبارئ سبحانه وتعالى فوق العالم فوقية حقيقية ليست فوقية الرتبة... فكذلك العلو على العالم، قد يقال: إنه يكون بمجرد الرتبة، كما يقال العالم فوق الجاهل، وعلو الله على العالم ليس بمجرد ذلك، بل هو عال عليه علوًّا حقيقيًّا، وهو العلو المعروف... اهـ. وراجع في ذلك الفتوى رقم: 6707.
وأما العبارة التي بعدها فليس المراد بها تصويب مذهب المجسمة، وإنما المراد بها أن الكرامية وأمثالهم ممن غالى في إثبات الصفات كانوا مبتدعة، إلا أن نفاة الصفات التي ثبتت بالكتاب والسنة أحق بوصف الابتداع منهم، وقد كان كلام شيخ الإسلام في سياق الكلام عن رؤية الله تعالى في الآخرة التي نفاها الجهمية ومن وافقهم لكون ذلك يستلزم الجسمية لله تعالى، فقال رحمه الله: يقال لهؤلاء: أنتم لم تنفوا ما نفيتموه بكتاب ولا سنة ولا إجماع، فإن هذه الألفاظ ليس لها وجود في النصوص، بل قولكم: لو رؤي لكان في جهة، وما كان في جهة فهو جسم، وما كان جسم فهو محدث، كلام تدعون أنكم علمتم صحته بالعقل، حينئذ فتطالبون بالدلالة العقلية على هذا النفي، وينظر فيه بنفس العقل، ومن عارضكم من المثبتة أهل الكلام من المرجئة وغيرهم كالكرامية والهشامية وقال لكم: فليكن هذا لازما للرؤية، وليكن هو جسماً، أو قال لكم: أنا أقول إنه جسم، وناظركم على ذلك بالمعقول، وأثبته بالمعقول كما نفيتموه بالمعقول، لم يكن لكم أن تقولوا له: أنت مبتدع في إثبات الجسم! فإنه يقول لكم: وأنتم مبتدعون في نفيه! فالبدعة في نفيه كالبدعة في إثباته، وإن لم تكن أعظم، بل النافي أحق بالبدعة من المثبت، لأن المثبت أثبت ما أثبتته النصوص، وذكر هذا معاضدةً للنصوص، وتأييداً لها، وموافقة لها، ورداً على من خالف موجبها. اهـ.
وأما كلام السبكي وغيره ممن شنع على شيخ الإسلام ابن تيمية، فهو دعاوى بلا حقيقة، وبيان ذلك ما يلي:
ـ فأما القول بالجسمية والتركيب فقد مضى، على أنه قال إن كلام الشيخ (يقتضي) التجسيم والتركيب، وهذا دون الاتهام الصريح بذلك؛ فإن لازم المذهب ليس بمذهب، لا سيما إذا كان صاحبه يبرأ منه.
وكذلك مسألة أن (الافتقار إلى الجزء ليس بمحال) فهي تدور في فلك ما سبق في مسألة التركيب، فإن من جملة أدلة المتكلمين على وحدانية الله تعالى: نفي التركيب، قال شيخ الإسلام في شرح عقيدة الأصبهاني: فلما قرر إثبات الصانع أخذ يثبت وحدانيته، فقال: (والدليل على وحدته أنه لا تركيب فيه بوجه من الوجوه وإلا لما كان واجب الوجود لذاته ضرورة افتقاره إلى ما تركب منه ويلزم من ذلك أن لا يكون من نوعه اثنان؛ إذ لو كان لزم وجود الاثنين بلا امتياز وهو محال)... اهـ.
ثم نبه شيخ الإسلام على أنهم بهذه الحجة نفوا صفات الله تعالى الثابتة في الكتاب والسنة، وكانوا من أشد الناس تجهما، قال: لأنهم زعموا أن إثبات الصفات ينافي هذا التوحيد، وقد تفطن لفساد هذه الحجة من تفطن لها من الفضلاء. اهـ.
ثم ذكر وجوه هذا الفساد، فكان الوجه الخامس منها أن يقال: لا ريب أن يمتنع أن يكون شيئان كل منها علة للآخر؛ لأن العلة متقدمة على المعلول فلو كان علة لعلته للزم تقدمه على نفسه لكونه علة العلة وتأخره عن نفسه لكونه معلول العلة، وذلك جمع بين النقيضين ولهذا كان الدور القبلي محالا، ولا يمتنع أن يكون شيئان كل منهما شرط في الآخر؛ لأن ذلك إنما يستلزم أن يكون كل منهما مع الآخر، وليس ذلك يمتنع، ولهذا قيل: الدور المعي ليس بمحال، فالمركب غايته أن يكون كل من أجزائه مشروطا بالجزء الآخر وأن يكون هو مشروطا بأجزائه، ولا يقتضي التركيب وجود جزء قبل جزء ولا وجود جزء قبل أجزائه، فإذا قيل: إنه مفتقر إلى جزئه، كان معناه لا يوجد إلا بوجود جزئه معه، ويستلزم ذلك وجود جزئه، ثم ذلك الجزء ليس هو علة له ولا هو خارجا عن نفسه، فالقول بأن وجوده يستلزم وجود الجزء حق، والتعبير عن ذلك بأنه يقتضي أن يكون مفتقرا إلى جزئه، وجزؤه غيره ليس له معنى إلا ذلك، وهذا لا يقتضي أنه مفتقر إلى علة ومحتاج إلى علة، ولا شرط خارج عن واجب الوجود ولا دور قبلي، وأما ما فيه من الدور المعي فليس ذلك بمحال، ولا ينافي وجوب الوجود إلا أن يثبت أن مثل هذا التعدد ينافي وجوب الوجود، وهم لم يثبتوا أن التعدد ينافي وجوب الوجود إلا بهذا، فبطل أن يكون هذا دليلا على بطلان التعدد في وجوب الوجود اهـ.
فهذا المعنى هو ما عبروا عنه بقولهم تشنيعا عليه: (الافتقار إلى الجزء ليس بمحال)، وأما مراد شيخ الإسلام فظاهر من كلامه، فمعنى الافتقار إلى جزئه: أنه لا يوجد إلا بوجود جزئه معه، ويستلزم ذلك وجود جزئه،
وفي الإطار نفسه (أي نفي التركيب) رماه من رماه بالقول (بحلول الحوادث بذات الله تعالى) يعنون بذلك الصفات الاختيارية الثابتة لله تعالى كالمحبة والبغض والرضا والغضب، حيث يعتقدون أن إثباتها لله يستلزم حلول الحوادث بذاته، قال شيخ الإسلام: الجهمية والمعتزلة بنوا على أصلهم: أن الرب لا يقوم به صفة؛ لأن ذلك بزعمهم يستلزم التجسيم والتشبيه الممتنع؛ إذ الصفة عرض والعرض لا يقوم إلا بجسم. والكلابية يقولون: هو متصف بالصفات التي ليس له عليها قدرة ولا تكون بمشيئته؛ فأما ما يكون بمشيئته فإنه حادث والرب تعالى لا تقوم به الحوادث، ويسمون الصفات الاختيارية بمسألة حلول الحوادث. اهـ.
والحقيقة أن شيخ الإسلام ابن تيمية لم يزد في إثبات هذه الصفات على مذهب أئمة الدين، ومقتضى أدلة الكتاب والسنة، وخلاصة عقيدته هي الإيمان بما وصف الله به نفسه في كتابه، وبما وصفه به رسوله محمد صلى الله عليه وسلم، من غير تحريف ولا تعطيل، ومن غير تكييف ولا تمثيل، وأنه سبحانه ليس كمثله شيء وهو السميع البصير، فلا ينفي عنه ما وصف به نفسه ولا يحرف الكلم عن مواضعه، ولا يلحد في أسماء الله وآياته، ولا يكيف ولا يمثل صفاته بصفات خلقه، وراجع في ذلك الفتويين التالية أرقامهما: 197971، 288277.
وفي هذا الفلك أيضا يدور قولهم: (القرآن محدَثٌ تكلَّم اللهُ به بعد أن لم يكن، وأنه يتكلم ويسكت ويحدث في ذاته الإرادات بحسب المخلوقات) فأصل الخلاف في إثبات صفات الله تعالى بغير تحريف ولا تأويل ولا تعطيل. قال شيخ الإسلام: الله يتكلم بمشيئته وقدرته، وكلامه هو حديث، وهو أحسن الحديث، وليس بمخلوق باتفاقهم، ويسمى حديثًا وحادثًا، وهل يسمى محدثًا ؟ على قولين لهم... اهـ. وراجع في تفصيل الفتويين التالية أرقامهما: 134338، 54133.
وأما القول بتسلسل الحوادث الذي يقول به شيخ الإسلام فهو في الأنواع لا في الأعيان والأفراد، وقد سبق لنا بيان أنه لا ترابط بين القول بحوادث لا أول لأنواعها، وبين القول بقدم العالم! بخلاف القول بحوادث لا أول لأعيانها، وراجع في ذلك الفتاوى ذوات الأرقام التالية: 135105، 190051، 190011.
وأما قولهم: (صرح في فتاويه بجلوس النبي صلى الله عليه وسلم على العرش، وجلوس المولى عز وجل معه) فليس بصحيح، بل نقل ذلك عمن سبقه من أهل العلم في تلقيهم تفسير مجاهد لقوله تعالى: عَسَى أَنْ يَبْعَثَكَ رَبُّكَ مَقَامًا مَحْمُودًا {الإسراء:79}، قال شيخ الإسلام: حدث العلماء المرضيون وأولياؤه المقبولون: أن محمدا رسول الله صلى الله عليه وسلم يجلسه ربه على العرش معه، روى ذلك محمد بن فضيل عن ليث عن مجاهد؛ في تفسير: {عسى أن يبعثك ربك مقاما محمودا} وذكر ذلك من وجوه أخرى مرفوعة وغير مرفوعة، قال ابن جرير: وهذا ليس مناقضا لما استفاضت به الأحاديث من أن المقام المحمود هو الشفاعة باتفاق الأئمة من جميع من ينتحل الإسلام ويدعيه، لا يقول: إن إجلاسه على العرش منكر ـ وإنما أنكره بعض الجهمية ـ ولا ذكره في تفسير الآية منكر. اهـ.
وهذا في الحقيقة اختصار لمعنى كلام شيخ المفسرين ابن جرير الطبري ـ رحمه الله ـ فقد أطال في تقرير ذلك جدا، فراجع ذلك في تفسيره.
وتفسير مجاهد هذا قد نقله كثير من أئمة السلف ولم ينكروه، وبوبوا عليه في كتب العقائد، كما فعل الخلال في كتاب (السنة) والآجري في (الشريعة). وقال ابن القيمفي (بدائع الفوائد): قال القاضي: "صنف المروزي كتابا في فضيلة النبي صلى الله عليه وسلم، وذكر فيه إقعاده على العرش" قال القاضي: "وهو قول أبي داود وأحمد بن أصرم ويحيى بن أبي طالب وأبى بكر بن حماد وأبى جعفر الدمشقي وعياش الدوري وإسحاق بن راهوية وعبد الوهاب الوراق وإبراهيم الأصبهإني وإبراهيم الحربي وهارون بن معروف ومحمد بن إسماعيل السلمي ومحمد بن مصعب بن العابد وأبي بن صدقة ومحمد بن بشر بن شريك وأبى قلابة وعلي بن سهل وأبى عبد الله بن عبد النور وأبي عبيد والحسن بن فضل وهارون بن العباس الهاشمي وإسماعيل بن إبراهيم الهاشمي ومحمد بن عمران الفارسي الزاهد ومحمد بن يونس البصري وعبد الله ابن الإمام والمروزي وبشر الحافي". انتهى. قلت: وهو قول ابن جرير الطبري وإمام هؤلاء كلهم مجاهد إمام التفسير وهو قول أبي الحسن الدارقطني. اهـ.
والمقصود أن هذا القول منقول عن بعض السلف، نقله شيخ الإسلام وغيره، وأما مذهب شيخ الإسلام فيؤخذ من قوله هو، وقد قال رحمه الله في (درء تعارض العقل والنقل) بعد أن نقل تفسير مجاهد هذا: وقد يقال: إن مثل هذا لا يقال إلا توقيفاً، لكن لا بد من الفرق بين ما ثبت من ألفاظ الرسول صلى الله عليه وسلم، وما ثبت من كلام غيره، سواء كان من المقبول أو المردود... والمقصود هنا أن ما لم يكن ثابتاً عن الرسول، صلى الله عليه وسلم لا نحتاج أن ندخله في هذا الباب، سواء احتيج إلى تأويل أو لم يحتج. اهـ.
وراجع للفائدة الفتاوى التالية أرقامها: 135889، 243784، 41473 .
وأما القول بفناء النار فقد سبق أن بينا أنه لا تصح نسبته إلى شيخ الإسلام ابن تيمية، فراجع الفتوى رقم: 64739.
ولمزيد الفائدة يمكن الرجوع لكتاب الدكتور عبد الله الغصن (دعاوى المناوئين لشيخ الإسلام ابن تيمية) في فصل (دعوى التجسيم والتشبيه) وفصل: (دعوى القول بقدم العالم) و(مسألة دوام النار). وقد قام كثير من أهل العلم بتفنيد الأباطيل التي ينسبها خصوم ابن تيمية له، كابن عبد الهادي، وابن ناصر الدين الدمشقي والآلوسي وغيرهم .
والله أعلم.
Read more https://almanhaj.or.id/
Tidak ada komentar :
Posting Komentar