SHALAWAT NARIYAH DALAM
TIMBANGAN
Oleh
Ustadz Abdullah Zaen, Lc, MA
Ustadz Abdullah Zaen, Lc, MA
Membaca sholawat JELAS
merupakan perintah agama, dan merupakan amalan yang sangat mulia. Sebagaimana dalil;
Firman Allâh Azza wa
Jalla :
إِنَّ اللَّهَ
وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ ۚ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا
صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
Sesungguhnya Allâh dan
para malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Wahai orang-orang yang beriman,
bershalawatlah kalian untuk nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya
[al-Ahzâb/33: 56]
Dalam hadits, Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
صَلُّوا عَلَيَّ؛
فَإِنَّهُ مَنْ صَلَّى عَلَيَّ صَلَاةً صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ بِهَا عَشْرًا
Bershalawatlah kalian
untukku. Sesungguhnya barang siapa bershalawat untukku satu kali, niscaya Allâh
akan bershalawat untuknya sepuluh kali [HR. Muslim 1/288-289 no. 384]
SHALAWAT NARIYAH DALAM
TIMBANGAN
Di kalangan kaum Muslimin Indonesia, amat banyak teks shalawat yang tersebar. Seperti, shalawat Fâtih, sholawat Burdah, sholawat nusantara, shalawat Munjiyât, shalawat Thibbul Qulûb, shalawat Wahidiyyah, dan -tidak lupa sorotan kita- shalawat Nâriyyah. Tidak hanya mencukupkan diri dengan teks shalawat yang dikarang kalangan klasik, mereka juga mengandalkan redaksi-redaksi yang diciptakan kalangan kontemporer. Contohnya, shalawat Wahidiyyah yang dibuat pada tahun 1963 oleh salah satu penduduk desa Kedunglo Bandar Lor Kediri, KH. Abdul Majid Ma’rûf.[6]
Di kalangan kaum Muslimin Indonesia, amat banyak teks shalawat yang tersebar. Seperti, shalawat Fâtih, sholawat Burdah, sholawat nusantara, shalawat Munjiyât, shalawat Thibbul Qulûb, shalawat Wahidiyyah, dan -tidak lupa sorotan kita- shalawat Nâriyyah. Tidak hanya mencukupkan diri dengan teks shalawat yang dikarang kalangan klasik, mereka juga mengandalkan redaksi-redaksi yang diciptakan kalangan kontemporer. Contohnya, shalawat Wahidiyyah yang dibuat pada tahun 1963 oleh salah satu penduduk desa Kedunglo Bandar Lor Kediri, KH. Abdul Majid Ma’rûf.[6]
Selain itu, mereka juga
sangat ‘kreatif’ dalam membuat aturan-aturan baca berbagai jenis shalawat
tersebut, dari sisi jumlah bacaan, waktu pembacaan, hingga fadhilah (keutamaan)
yang akan diraih oleh pembacanya. Seakan-akan itu semua ada landasannya dari
syariat.
Shalawat Nâriyyah
merupakan salah satu shalawat yang paling masyhur di antara shalawat-shalawat
bentukan manusia. Orang-orang berlomba untuk mengamalkannya, baik dengan
mengetahui maknanya, maupun tidak memahami kandungannya. Bahkan justru
barangkali orang jenis kedua ini yang lebih dominan. Banyak orang serta merta
mengamalkannya hanya karena diperintah tokoh panutannya, kerabat dan teman, atau
tergiur dengan “fadhilah” tanpa merasa perlu untuk meneliti keabsahan shalawat
tersebut, juga kandungan makna yang terkandung di dalamnya.
Sebelum mengupas lebih
jauh tentang shalawat ini, yang juga terkadang dinamakan dengan Shalawat
Tafrîjiyah Qurthubiyah, ada baiknya dibawakan dahulu teks lengkapnya : [7]
اللَّهُمَّ صَلِّ صَلاَةً كَامِلَةً وَسَلِّمْ سَلاَماً تَامّاً
عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ الَّذِيْ تَنْحَلُّ بِهِ الْعُقَدُ، وَتَنْفَرِجُ بِهِ
الْكُرَبُ، وَتُقْضَى بِهِ الْحَوَائِجُ، وَتُنَالُ بِهِ الرَّغَائِبُ وَحُسْنُ
الْخَوَاتِمِ، وَيُسْتَسْقَى الْغَمَامُ بِوَجْهِهِ الْكَرِيْمِ، وَعَلَى آلِهِ
وَصَحْبِهِ، فِيْ كُلِّ لَمْحَةٍ وَنَفَسٍ بِعَدَدِ كُلِّ مَعْلُوْمٍ لَكَ
Ya Allâh, limpahkanlah
shalawat yang sempurna dan curahkanlah salam kesejahteraan yang penuh kepada
junjungan kami Nabi Muhammad, yang dengan sebab beliau semua kesulitan dapat
terpecahkan, semua kesusahan dapat dilenyapkan, semua keperluan dapat
terpenuhi, dan semua yang didambakan serta husnul khatimah dapat diraih, serta
berkat dirinya yang mulia hujan pun turun. Semoga terlimpahkan kepada
keluarganya serta para sahabatnya, di setiap detik dan hembusan nafas sebanyak
bilangan semua yang diketahui oleh Engkau
SIAPAKAH PENCIPTA
SHALAWAT NARIYAH?
Berdasarkan referensi yang ada, kami baru bisa menemukan isyarat yang menunjukkan bahwa pencipta shalawat ini adalah seorang yang bernama as-Sanusy.[8] Namun hingga saat ini kami belum bisa memastikan siapakah nama lengkapnya, sebab yang menggunakan julukan ini amat banyak dan kami belum mendapatkan keterangan yang menunjukkan as-Sanusi manakah yang menciptakan shalawat tersebut. Hanya saja, yang pasti sebutan as-Sanusi ini merupakan bentuk penisbattan kepada tarekat sufi yang banyak tersebar di daerah Maroko, tarekat as-Sanusiyyah.
Berdasarkan referensi yang ada, kami baru bisa menemukan isyarat yang menunjukkan bahwa pencipta shalawat ini adalah seorang yang bernama as-Sanusy.[8] Namun hingga saat ini kami belum bisa memastikan siapakah nama lengkapnya, sebab yang menggunakan julukan ini amat banyak dan kami belum mendapatkan keterangan yang menunjukkan as-Sanusi manakah yang menciptakan shalawat tersebut. Hanya saja, yang pasti sebutan as-Sanusi ini merupakan bentuk penisbattan kepada tarekat sufi yang banyak tersebar di daerah Maroko, tarekat as-Sanusiyyah.
BENARKAH PENGARANGNYA
ADALAH SOHABAT NABI SHALLALLAHU
ALAIHI WA SALLAM?
Di sebuah situs internet tertulis kisah mengada-ada: “Sholawat Nariyah adalah sebuah sholawat yang disusun oleh Syeikh Nariyah. Syekh yang satu ini hidup pada jaman Nabi Muhammad sehingga termasuk salah satu sahabat nabi. Beliau lebih menekuni bidang ketauhidan. Syekh Nariyah selalu melihat kerja keras Nabi dalam menyampaikan wahyu Allâh, mengajarkan tentang Islam, amal saleh dan akhlaqul karimah sehingga Syekh selalu berdoa kepada Allâh memohon keselamatan dan kesejahteraan untuk Nabi. Doa-doa yang menyertakan nabi biasa disebut sholawat dan Syekh Nariyah adalah salah satu penyusun sholawat nabi yang disebut Sholawat Nariyah.
Di sebuah situs internet tertulis kisah mengada-ada: “Sholawat Nariyah adalah sebuah sholawat yang disusun oleh Syeikh Nariyah. Syekh yang satu ini hidup pada jaman Nabi Muhammad sehingga termasuk salah satu sahabat nabi. Beliau lebih menekuni bidang ketauhidan. Syekh Nariyah selalu melihat kerja keras Nabi dalam menyampaikan wahyu Allâh, mengajarkan tentang Islam, amal saleh dan akhlaqul karimah sehingga Syekh selalu berdoa kepada Allâh memohon keselamatan dan kesejahteraan untuk Nabi. Doa-doa yang menyertakan nabi biasa disebut sholawat dan Syekh Nariyah adalah salah satu penyusun sholawat nabi yang disebut Sholawat Nariyah.
Suatu malam, Syekh
Nariyah membaca sholawatnya sebanyak 4444 kali. Setelah membacanya, beliau
mendapat karomah dari Allâh. Maka dalam suatu majelis beliau mendekati Nabi
Muhammad dan minta dimasukan surga pertama kali bersama Nabi. Dan Nabi pun
mengiyakan. Ada seseorang sahabat yang cemburu dan lantas minta didoakan yang
sama seperti Syekh Nariyah. Namun Nabi mengatakan tidak bisa karena Syekh
Nariyah sudah minta terlebih dahulu.
Mengapa sahabat itu
ditolak Nabi? Dan justru Syekh Nariyah yang bisa? Para sahabat itu tidak
mengetahui mengenai amalan yang setiap malam diamalkan oleh Syekh Nariyah yaitu
mendoakan keselamatan dan kesejahteraan Nabinya. Orang yang mendoakan Nabi
Muhammad pada hakekatnya adalah mendoakan untuk dirinya sendiri karena Allâh
sudah menjamin nabi-nabiNya sehingga doa itu akan berbalik kepada si
pengamalnya dengan keberkahan yang sangat kuat”.[9]
Kesimpulan, pengarang
Shalawat Nariyah konon seorang bernama Syekh Nariyah, dan dia termasuk Sahabat
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang telah dijamin masuk surga oleh beliau.
Sebagai seorang Muslim
mestinya tidak begitu saja menerima apa yang disampaikan padanya, tanpa
klarifikasi dan penelitian, apalagi jika berkenaan dengan permasalahan agama.
Sekurang-kurangnya ada
dua poin yang perlu dicermati dari cerita di atas :
1. Benarkah ada Sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang bernama Syekh Nâriyah ?
2. Dimanakah sumber kisah tentang Sahabat’ tersebut? Dan adakah sanad (mata rantai periwayatan) nya?
1. Benarkah ada Sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang bernama Syekh Nâriyah ?
2. Dimanakah sumber kisah tentang Sahabat’ tersebut? Dan adakah sanad (mata rantai periwayatan) nya?
Adapun berkenaan dengan
poin pertama, perlu diketahui bahwa biografi para Sahabat Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam telah mendapatkan perhatian ekstra dari para Ulama Islam.
Begitu banyak kitab yang mereka tulis untuk mengupas biografi para sahabat. Ada
referensi yang ditulis untuk memaparkan biografi para shahabat beserta para
Ulama sesudah mereka hingga zaman penulis, adapula referensi yang ditulis
khusus untuk menceritakan biografi para sahabat saja. Diantara contoh model
pertama: Hilyatul Auliyâ’ karya al-Hâfizh Abu Nu’aim al-Asfahâni (336-430 H)
dan Tahdzîbul Kamâl karya al-Hâfizh Abul Hajjâj al-Mizzi (654-742 H). Adapun
contoh model kedua, seperti: al-Istî’âb fî Ma’rifatil Ash-hâb karya al-Hâfizh
Ibn ‘Abdil Bar (368-463 H) dan al-Ishâbatu fî Tamyîzish Shahâbah karya
al-Hâfizh Ibn Hajar al-‘Asqalâni (773-852 H).
Setelah meneliti
berbagai kitab di atas dan juga referensi biografi lainnya, yang biasa
diistilahkan para Ulama dengan kutubut tarâjim wa ath-thabaqât, ternyata tidak
dijumpai seorang pun di antara Sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang
bernama Nâriyah. Bahkan sepengetahuan kami, tidak ada seorang pun Ulama
klasik yang memiliki nama tersebut. Lalu, dari manakah orang tersebut berasal??
Sebenarnya, orang yang
sedikit terbiasa membaca kitab Ulama, hanya dengan melihat nama tersebut
beserta ‘gelar’ syaikh di depannya, akan langsung RAGU bahwa orang tersebut benar-benar Sahabat Nabi.
Karena penyematan ‘gelar’ syaikh di depan nama Sahabat -sepengetahuan kami-
bukanlah kebiasaan para Ulama dan juga bukan istilah yang lazim mereka pakai,
sehingga terasa begitu bikin gatal dan janggal
di telinga.
Kesimpulannya:
berdasarkan penelaahan kami, tidak ada sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam yang bernama Syekh Nariyah. Jadi penisbatan shalawat tersebut terhadap
Sahabat sangat perlu untuk dipertanyakan dan SANGAT diragukan keabsahannya.
Adapun poin kedua, amat
disayangkan penulis makalah di internet tersebut tidak menyebutkan sanad (mata
rantai periwayatan) kisah yang ia bawakan, atau minimal mengisyaratkan
rujukannya dalam menukil kisah tersebut. Andaikan ia mau menyebutkan salah satu
dari dua hal di atas niscaya kita akan berusaha melacak keabsahan kisah
tersebut, dengan meneliti para perawinya, atau merujuk kepada kitab aslinya.
Atau barangkali kisah di atas merupakan dongeng buah pena penulis tersebut ?
Jika, ya, maka kisah tersebut tidak ada nilainya; karena kisah fiksi, alias
kisah yang tidak pernah terjadi !
Amat disayangkan, dalam
hal yang berkaitan dengan agama, tidak sedikit kaum Muslimin sering menelan
mentah-mentah suatu kisah yang ia temukan di sembarang buku dan internet, atau
kisah yang diceritakan oleh tetangga, teman, guru dan kenalan, tanpa merasa
perlu untuk mengcrosscek keabsahannya. Seakan-akan kisah itu mutlak benar
terjadi! Padahal kenyataannya seringkali tidak demikian.
Untuk memfilter
kisah-kisah palsu dan yang lainnya, Islam memiliki sebuah keistimewaan yang
tidak dimiliki agama lain, yaitu: Islam memiliki sanad (mata rantai
periwayatan). Demikian keterangan yang disampaikan Ibn Hazm (384-456 H)[10]
dalam al-Fishâl dan Ibnu Taimiyyah (661-728 H).[11]
Imam ‘Abdullâh bin
al-Mubârak (118-181 H) pernah berkata, “Isnâd adalah bagian dari agama. Jika
tidak ada isnâd, seseorang akan bebas mengatakan apa yang dikehendakinya.”[12]
KANDUNGAN MAKNA SHALAWAT
NARIYAH
“Ya Allâh, limpahkanlah shalawat yang sempurna dan curahkanlah salam kesejahteraan yang penuh kepada junjungan kami Nabi Muhammad, yang dengan sebab beliau semua kesulitan dapat terpecahkan, semua kesusahan dapat dilenyapkan, semua keperluan dapat terpenuhi, dan semua hajat yang didambakan serta husnul khatimah dapat diraih, serta berkat dirinya yang mulia hujanpun turun. Semoga terlimpahkan kepada keluarganya serta para Sahabatnya, di setiap detik dan hembusan nafas sebanyak bilangan semua yang diketahui oleh Engkau.”
“Ya Allâh, limpahkanlah shalawat yang sempurna dan curahkanlah salam kesejahteraan yang penuh kepada junjungan kami Nabi Muhammad, yang dengan sebab beliau semua kesulitan dapat terpecahkan, semua kesusahan dapat dilenyapkan, semua keperluan dapat terpenuhi, dan semua hajat yang didambakan serta husnul khatimah dapat diraih, serta berkat dirinya yang mulia hujanpun turun. Semoga terlimpahkan kepada keluarganya serta para Sahabatnya, di setiap detik dan hembusan nafas sebanyak bilangan semua yang diketahui oleh Engkau.”
Bagian dari Shalawat
Nâriyyah yang kami cetak tebal itulah yang akan dicermati dalam tulisan singkat
ini. Kalimat-kalimat tersebut mengandung penisbatan terpecahkannya semua
kesulitan, dilenyapkannya segala kesusahan, ditunaikannya segala macam hajat,
tercapainya segala keinginan dan husnul khatimah, kepada selain Allâh Azza wa
Jalla . Dalam hal ini yang mereka maksudkan yang melakukan itu semua adalah
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Penisbatan ini merupakan sebuah
kekeliruan fatal, sebab bertolak-belakang dengan al-Qur’ân dan Sunnah, serta
bisa mengantarkan pelakunya kepada kekufuran. Pasalnya, semua perbuatan
tersebut, hanya Allâh Azza wa Jalla yang berkuasa melakukannya.
Mari kita cermati
nash-nash berikut :
Allâh Subhanahu wa
Ta’ala berfirman :
أَمَّنْ يُجِيبُ الْمُضْطَرَّ إِذَا دَعَاهُ وَيَكْشِفُ السُّوءَ
وَيَجْعَلُكُمْ خُلَفَاءَ الْأَرْضِ ۗ أَإِلَٰهٌ مَعَ اللَّهِ ۚ قَلِيلًا مَا
تَذَكَّرُونَ
Siapakah yang
mengabulkan (doa) orang yang dalam kesulitan apabila ia berdoa kepada-Nya, dan
yang melenyapkan kesusahan serta yang menjadikan kalian (manusia) sebagai
khalifah di bumi? Adakah tuhan selain Allâh ? Amat sedikit kalian mengingat-Nya
! [an-Naml/27:62]
Dalam ayat ini, Allâh
Azza wa Jalla mengingatkan bahwa hanya Dia-lah yang diseru saat terjadi
kesusahan, dan Dia pula yang diharapkan pertolongan-Nya saat musibah melanda.
Demikian keterangan yang disampaikan Imam Ibnu Katsir. [13]
Karena itulah,
setelahnya Allâh Azza wa Jalla melontarkan pertanyaan dalam konteks
pengingkaran, “Adakah tuhan selain Allâh ?”. Hal ini mengisyaratkan, wallahu
a’lam, bahwa orang yang tertimpa kesulitan dan kesusahan lalu memohon
pertolongan kepada selain Allâh Azza wa Jalla , seakan ia telah menjadikan dzat
yang diserunya itu sebagai tuhan ‘saingan’ Allâh Azza wa Jalla . Sebab tidak
ada yang sanggup mengabulkan permohonan tersebut melainkan hanya Allâh Azza wa
Jalla .
Senada dengan ayat di
atas, firman Allâh Azza wa Jalla berikut :
قُلْ مَنْ يُنَجِّيكُمْ مِنْ ظُلُمَاتِ الْبَرِّ وَالْبَحْرِ
تَدْعُونَهُ تَضَرُّعًا وَخُفْيَةً لَئِنْ أَنْجَانَا مِنْ هَٰذِهِ لَنَكُونَنَّ
مِنَ الشَّاكِرِينَ ﴿٦٣﴾ قُلِ اللَّهُ يُنَجِّيكُمْ مِنْهَا وَمِنْ كُلِّ كَرْبٍ
ثُمَّ أَنْتُمْ تُشْرِكُونَ
Katakanlah, “Siapakah
yang dapat menyelamatkan kalian dari bencana di darat dan di laut, yang kalian
berdoa kepada-Nya dengan berendah diri dan suara yang lembut (dengan
mengatakan), ‘Sesungguhnya jika Dia menyelamatkan kami dari (bencana) ini,
tentulah kami akan menjadi orang-orang yang bersyukur’. Katakan, “Allâhlah yang
menyelamatkan kalian dari bencana itu dan dari segala macam kesusahan. Lantas
mengapa kalian kembali mempersekutukan-Nya?!”. [al-An’âm/6: 63-64]
وَمَا بِكُمْ مِنْ نِعْمَةٍ فَمِنَ اللَّهِ ۖ ثُمَّ إِذَا مَسَّكُمُ
الضُّرُّ فَإِلَيْهِ تَجْأَرُونَ
Apapun nikmat yang ada
dalam diri kalian, maka dari Allâh-lah (datangnya). Dan bila kalian ditimpa
marabahaya, maka hanya kepada-Nya-lah (seharusnya) kalian meminta pertolongan
[an-Nahl/16:53]
Dan masih banyak lagi
firman Allâh yang semakna dengan ayat-ayat di atas, yang menegaskan bahwa
segala bentuk kebaikan di dunia maupun akhirat, hanya Allâh Azza wa Jalla
sajalah yang mendatangkannya. Sebagaimana pula segala bentuk keburukan di dunia
ataupun akhirat, hanyalah Allâh Azza wa Jalla yang menghindarkannya dari diri
kita.
Karena itulah, kita
dapatkan qudwah kita, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun mencontohkan
untuk selalu kembali kepada Allâh Azza wa Jalla dalam segala urusan.
Mari kita cermati
sebagian dari doa yang beliau baca :
اللَّهُمَّ أَحْسِنْ عَاقِبَتَنَا فِي الْأُمُورِ كُلِّهَا،
وَأَجِرْنَا مِنْ خِزْيِ الدُّنْيَا وَعَذَابِ الْآخِرَةِ
Ya Allâh, jadikanlah
akhir dari seluruh urusan kami baik, dan selamatkanlah kami dari kehinaan dunia
dan siksaan akhirat [HR. Ibnu Hibbân 3/230 no. 949]
يَا حَيُّ يَا قَيُّوْمُ بِرَحْمَتِكَ أَسْتَغِيْثُ، أَصْلِحْ لِيْ
شَأْنِيْ كُلَّهُ، وَلاَ تَكِلْنِيْ إِلَى نَفْسِيْ طَرْفَةَ عَيْنٍ
Wahai Yang Maha hidup
dan Yang terus menerus mengurus makhluk-Nya, dengan rahmat-Mu-lah aku memohon
pertolongan. Perbaikilah seluruh keadaanku, dan janganlah Engkau jadikanku
bergantung kepada diriku sendiri, walaupun itu hanya sekejap mata [HR. al-Hâkim
1/739 no. 2051]
اللَّهُمَّ رَحْمَتَكَ أَرْجُو فَلَا تَكِلْنِي إِلَى نَفْسِي
طَرْفَةَ عَيْنٍ وَأَصْلِحْ لِي شَأْنِي كُلَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ
Ya Allâh, rahmat-Mu-lah
yang kuharapkan. Maka janganlah Engkau jadikan aku bergantung kepada diriku
sendiri, walaupun itu hanya sekejap mata. Dan perbaikilah seluruh keadaanku.
Tidak ada yang berhak diibadahi melainkan Engkau. [HR. Abu Dâwud, 5/204 no.
5090 dari Abu Bakrah Radhiyallahu anhu , dan dinilai sahîh oleh Ibn Hibbân
(III/250 no. 970].
Lihatlah bagaimana
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menisbatkan seluruh urusan kepada
Allâh Azza wa Jalla , dan memberi kita teladan agar senantiasa mengembalikan
segala sesuatu hanya kepada Allâh Azza wa Jalla !. Pernahkah beliau -walaupun
hanya sekali- mengajarkan kepada umatnya agar bergantung kepada beliau?!
Mustahil beliau mengarahkan demikian, sebab beliau sendirilah yang berkata,
“Janganlah Engkau (Ya Allâh) jadikan aku bergantung kepada diriku sendiri,
walaupun itu hanya sekejap mata”. Beliau mencontohkan praktek tawakkal yang
begitu tinggi, dimana beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak ingin
bergantung pada diri sendiri, walaupun itu hanya sesaat, sekedipan mata!
Mengapa kita tidak meneladaninya dalam hal ini dan yang lainnya?
Cermati pula doa
terakhir!. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menutup doanya dengan kalimat
thayyibah LA ILÂHA ILLALLÂH, yang menunjukkan -wallahua’lam- bahwa seluruh
permintaan di atas adalah bentuk ibadah yang hanya boleh dipersembahkan kepada
Allâh Azza wa Jalla .
MEMBACA SHALAWAT NARIYAH
BERARTI MENGAGUNGKAN RASULULLAH SHALLALLAHU ALAIHI WA SALLAM?
Barangkali inilah argumen terakhir mereka untuk melegalkan pembacaan shalawat Nâriyah dan shalawat semisal lainnya. Dengan dalih pengagungan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , mereka mempertahankan shalawat yang menyimpang dari ajaran Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam tersebut. Bahkan yang lebih parah, ada sebagian mereka yang berusaha mengesankan pada orang awam, bahwa pihak yang mengkritisi shalawat Nâriyah tidak mengagungkan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam ! Ini merupakan tindak pemutarbalikan fakta dan harus diluruskan.
Barangkali inilah argumen terakhir mereka untuk melegalkan pembacaan shalawat Nâriyah dan shalawat semisal lainnya. Dengan dalih pengagungan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , mereka mempertahankan shalawat yang menyimpang dari ajaran Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam tersebut. Bahkan yang lebih parah, ada sebagian mereka yang berusaha mengesankan pada orang awam, bahwa pihak yang mengkritisi shalawat Nâriyah tidak mengagungkan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam ! Ini merupakan tindak pemutarbalikan fakta dan harus diluruskan.
Masalah pokok yang perlu
diketahui pertama kali yaitu mengagungkan Rasûlullâh Shallallahu “alaihi wa sallam
hukumnya wajib. Dan ini merupakan salah satu cabang keimanan yang besar. Cabang
keimanan ini berbeda dengan cabang keimanan cinta kepada beliau[14] , bahkan
pengagungan lebih tinggi derajatnya dibanding cinta. Sebab tidak setiap yang
mencintai sesuatu ia pasti mengagungkannya. Contohnya, orang tua mencintai
anaknya, namun kecintaannya hanya akan mengantarkan untuk memuliakannya dan
tidak mengantarkan untuk mengagungkannya. Beda dengan kecintaan anak kepada
orang tuanya, yang akan mengantarkan untuk memuliakan dan mengagungkan mereka
berdua.[15]
Di antara hak Rasûlullâh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang harus ditunaikan oleh umatnya adalah
pemuliaan, pengagungan dan penghormatan terhadap beliau Shallallahu ‘alaihi wa
sallam . Pengagungan, pemuliaan dan penghormatan harus melebihi pemuliaan, pengagungan
dan penghormatan seorang anak terhadap orang tuanya atau budak terhadap
majikannya. Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
فَالَّذِينَ آمَنُوا بِهِ وَعَزَّرُوهُ وَنَصَرُوهُ وَاتَّبَعُوا
النُّورَ الَّذِي أُنْزِلَ مَعَهُ ۙ أُولَٰئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
Orang-orang yang beriman
kepadanya, memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya terang yang
diturunkan kepadanya (al-Qur’an); mereka itulah orang-orang yang beruntung.
[al-A’râf/7:157]
Tidak ada perbedaan
pendapat di antara para Ulama, bahwa yang dimaksud dengan “pemuliaan” dalam
ayat di atas adalah pengagungan.[16]
PENGAGUNGAN TERHADAP
RASULULLAH SHALLALLAHU ALAIHI WA SALLAM BERTEMPAT DI HATI, LISAN DAN ANGGOTA
TUBUH [17]
Pengagungan terhadap beliau dengan hati maksudnya adalah meyakini bahwa beliau adalah hamba dan utusan Allâh. Keyakinan ini menyebabkan seseorang mengedepanan kecintaannya kepada Rasulullah n dariapda kecintaannya terhadap diri sendiri, anak, orang tua dan seluruh manusia.
Pengagungan terhadap beliau dengan hati maksudnya adalah meyakini bahwa beliau adalah hamba dan utusan Allâh. Keyakinan ini menyebabkan seseorang mengedepanan kecintaannya kepada Rasulullah n dariapda kecintaannya terhadap diri sendiri, anak, orang tua dan seluruh manusia.
Keyakinan ini juga
menumbuhkan rasa betapa agung dan wibawa beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam ,
serta meresapi kemuliaannya, kedudukannya dan derajatnya yang tinggi.
Hati merupakan raja dari
tubuh, manakala pengagungan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menghujam
kuat dalam hati, niscaya dampaknya secara lahiriah akan nampak jelas. Lisan
akan senantiasa basah dengan pujian kepada beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam
dan menyebutkan kemuliaan-kemuliaannya. Begitu pula anggota tubuh akan tunduk
menjalankan segala tuntunan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam , taat kepada
syariat dan ajaran beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam , serta menunaikan
segala haknya.
Adapun pengagungan
terhadap beliau dengan lisan, maksudnya adalah memuji beliau Shallallahu
‘alaihi wa sallam dengan pujian yang berhak untuk dimilikinya, yaitu pujian
yang Allâh dan Rasul-Nya n lantunkan untuk beliau, tanpa mengandung unsur
berlebihan atau sebaliknya. Dan di antara pujian yang paling agung adalah
membaca shalawat untuk beliau.[18]
Kata al-Halîmy (338-403
H), shalawat kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam berarti
pengagungan terhadap beliau di dunia, dengan mengangkat namanya, menampakkan
agamanya dan mengabadikan syariatnya. Sedangkan di akhirat, maksudnya adalah
permohonan agar limpahan pahala mengalir padanya, syafaat beliau tercurah untuk
umatnya dan kemuliaan beliau dengan al-maqâm al-mahmûd terlihat jelas[19].
Termasuk bentuk
pengagungan dengan lisan yaitu beradab saat menyebut beliau dengan lisan kita.
Caranya adalah dengan menggandengkan nama beliau dengan sebutan Nabi atau
Rasûlullâh, lalu diakhiri dengan shalawat kepada beliau. Allâh Azza wa Jalla
berfirman :
لَا تَجْعَلُوا دُعَاءَ الرَّسُولِ بَيْنَكُمْ كَدُعَاءِ بَعْضِكُمْ
بَعْضًا
Janganlah engkau jadikan
panggilan Rasûlullâh di antara kalian seperti panggilan sebagian kalian kepada
sebagian yang lain. [an-Nûr/24:63]
Karena itulah para
sahabat selalu memanggil Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan panggilan,
“Wahai Rasûlullâh!” atau “Wahai Nabiyullâh!”.
Juga hendaknya
penyebutan nama beliau ditutup dengan shalawat; “shallallahu’alaihi wa sallam”
bukan hanya dengan singkatan SAW atau yang semisal. Rasûlullâh Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda :
الْبَخِيلُ الَّذِي مَنْ ذُكِرْتُ عِنْدَهُ فَلَمْ يُصَلِّ عَلَيَّ
Orang yang pelit adalah
orang yang tatkala namaku disebut di hadapannya, ia tidak bershalawat padaku.
[HR. Tirmidzi, no. 3546 dari Ali bin Abi Thâlib Radhiyallahu anhu. At-Tirmidzi
rahimahullah menyatakan hadits ini “Hasan sahih gharib”].
Termasuk bentuk
pengagungan dengan lisan pula yaitu menyebutkan keutamaan-keutamaan beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam , keistimewaan dan mukjizatnya Shallallahu
‘alaihi wa sallam. Mengenalkan sunnah beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam
kepada masyarakat, mengingatkan mereka terhadap kedudukan serta hak beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam , mengajarkan pada mereka akhlak dan sifat mulia
beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Menceritakan sejarah hidup beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam , serta menjadikannya sebagai pujian, baik dengan
bait-bait syair maupun bukan, namun dengan syarat tidak melampaui batas
ketentuan syariat, semisal pengagungan yang berlebihan dan yang semisal.
Sedangkan pengagungan
dengan anggota tubuh, berarti mengamalkan syariat beliau Shallallahu ‘alaihi wa
sallam , meneladani sunnahnya, mengikuti perintahnya secara lahir maupun batin
dan berpegang kuat dengannya. Ridha dan ikhlas dengan aturan yang beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bawa, berusaha menebarkan tuntunannya, membela
sunnahnya, melawan mereka yang menentangnya serta membangun kecintaan dan kebencian
di atasnya.
Menjauhi segala yang
dilarang beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam , tidak menyelisihi perintahnya
dan bertaubat serta beristighfar manakala terjerumus ke dalam penyimpangan.
“Taat kepada Rasûlullâh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam merupakan konsekwensi keimanan kepada beliau dan
keyakinan akan kebenaran yang dibawanya dari Allâh. Sebab beliau tidaklah
memerintahkan atau melarang dari sesuatu, melainkan dengan seizin dari Allâh.
Sebagaimana dalam firman-Nya :
وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ رَسُولٍ إِلَّا لِيُطَاعَ بِإِذْنِ اللَّهِ
Kami tidak mengutus
seorang rasul, melainkan untuk ditaati dengan seizin Allâh. [an-Nisâ’/4:64]
Dan makna ketaatan
kepada Rasûlullâh adalah menjalankan perintah-perintahnya serta menjauhi
larangan-larangannya.”[20]
Kesimpulannya adalah
pengagungan yang hakiki terhadap Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam
tersimpulkan dalam empat kalimat yaitu mempercayai berita yang bersumber dari
beliau, mentaati perintahnya, menjauhi larangannya dan beribadah dengan tata
cara yang disyariatkannya.[21]
RASULULLAH SHALLALLAHU
ALAIHI WA SALLAM MELARANG KITA UNTUK BERLEBIHAN DALAM MENGAGUNGKANNYA
Secara garis besar, Allâh Azza wa Jalla telah melarang kita dari sikap berlebihan dalam beragama, baik itu dalam keyakinan, ucapan maupun amalan. Sebagaimana dalam Qur’an surat an-Nisâ’/4:171.
Secara garis besar, Allâh Azza wa Jalla telah melarang kita dari sikap berlebihan dalam beragama, baik itu dalam keyakinan, ucapan maupun amalan. Sebagaimana dalam Qur’an surat an-Nisâ’/4:171.
Dan Nabi kita
Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang secara khusus dari sikap
berlebihan dalam memujinya. Sebagaimana dalam sabdanya,
لَا تُطْرُونِي كَمَا أَطْرَتْ النَّصَارَى ابْنَ مَرْيَمَ،
فَإِنَّمَا أَنَا عَبْدُهُ فَقُولُوا عَبْدُ اللَّهِ وَرَسُولُهُ
Janganlah kalian
berlebihan dalam memujiku sebagaimana kaum Nasrani berlebihan dalam memuji Isa
bin Maryam. Sesungguhnya aku hanyalah hamba-Nya, maka ucapkanlah, “(Muhammad
adalah) hamba Allâh dan Rasul-Nya” [HR. Bukhâri (6/478 no. 3445 –al-Fath) dari
Umar bin Khatthab Radhiyallahu anhu]
Dan Nabi kita
Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga mengingkari para sahabatnya yang berlebihan
dalam memuji beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam , karena khawatir mereka akan
melampaui batas, sehingga terjerumus dalam hal yang terlarang. Juga demi
menjaga kemurnian tauhid, agar tidak ternodai dengan kotoran syirik dan bid’ah.
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat berhati-hati dalam mengantisipasi
hal tersebut, bahkan sampaipun dari hal-hal yang barangkali tidak dikategorikan
syirik atau bid’ah.
Anas
bin Mâlik Radhiyallahu anhu bercerita,
أَنَّ رَجُلًا قَالَ:
“يَا مُحَمَّدُ، يَا سَيِّدَنَا، وَابْنَ سَيِّدِنَا، وَخَيْرَنَا، وَابْنَ
خَيْرِنَا!” فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: “يَا
أَيُّهَا النَّاسُ عَلَيْكُمْ بِتَقْوَاكُمْ، وَلَا يَسْتَهْوِيَنَّكُمْ
الشَّيْطَانُ، أَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ عَبْدُاللَّهِ وَرَسُولُهُ،
وَاللَّهِ مَا أُحِبُّ أَنْ تَرْفَعُونِي فَوْقَ مَنْزِلَتِي الَّتِي أَنْزَلَنِي
اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ”.
(Suatu hari) ada seseorang
yang berkata, “Wahai Muhammad, wahai sayyiduna (pemimpin kami), putra
sayyidina, wahai orang yang terbaik di antara kami, putra orang terbaik di
antara kami!”. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun menjawab, “Wahai
para manusia, bertakwalah kalian! Jangan biarkan setan menyesatkan kalian. Aku
adalah Muhammad bin Abdullah; hamba Allâh dan Rasul-Nya. Demi Allâh, aku tidak
suka kalian mengangkatku melebihi kedudukan yang telah Allâh tentukan untukku”.
[HR. Ahmad (20/23 no. 12551) dan dinilai sahih oleh adh-Dhiyâ’ al-Maqdisy (5/25
no. 1627) dan Ibn Hibbân (14/133 no. 6240].
Dengan keterangan di
atas, insyaAllâh telah terlihat jelas, mana bentuk pengagungan yang terpuji dan
mana bentuk pengagungan yang tercela.
Penulis tutup makalah
ini dengan nasehat yang disampaikan Ibn Hajar al-Haitamy (909-974 H), manakala
beliau menjelaskan bahwa pengagungan terhadap Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam hendaknya dengan sesuatu yang ada dalilnya dan yang diperbolehkan,
jangan sampai melampaui batas tersebut.
Beliau berkata, “Wajib
bagi setiap orang untuk tidak mengagungkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
kecuali dengan sesuatu yang Allâh izinkan bagi umatnya, yaitu sesuatu yang
layak untuk jenis manusia. Sesungguhnya melampaui batas tersebut akan
menjerumuskan kepada kekafiran, na’udzubillahi min dzalik. Bahkan melampaui
batas sesuatu yang telah disyariatkan, pada asalnya akan mengakibatkan
penyimpangan. Maka hendaknya kita mencukupkan diri dengan sesuatu yang ada
dalilnya.”[22]
Beliau rahimahullah
menambahkan, “Ada dua kewajiban yang harus dipenuhi:
Pertama, kewajiban untuk
mengagungkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mengangkat derajatnya di
atas seluruh makhluk.
Kedua, mentauhidkan
Allâh Azza wa Jalla dan meyakini bahwa Allâh Maha Esa dalam dzat dan perbuatan-Nya
atas seluruh makhluk-Nya. Barang siapa meyakini bahwa sesosok makhluk menyertai
Allâh dalam hal tersebut; maka ia telah berbuat syirik. Dan barang siapa
merendahkan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam di bawah derajat (yang
seharus)nya maka ia telah berbuat maksiat atau kafir.
Namun barang siapa yang
mengagungkan beliau dengan berbagai jenis pengagungan dan tidak sampai menyamai
sesuatu yang merupakan kekhususan Allâh, maka ia telah menggapai kebenaran, dan
berhasil menjaga dimensi ketuhanan serta kerasulan. Inilah ideologi yang tidak
mengandung unsur ekstrim atau sebaliknya”.[23]
Wallahu a’lam
Makkah al-Mukarramah, 25
Sya’ban 1431 H / 6 Agustus 2010
[Disalin dari majalah
As-Sunnah Edisi 06/Tahun XIV/1431H/2010M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah
Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp.
0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[6]. Lihat: Âtsâr ash-Shalawât al-Wâhidiyyah fî Akhlâq Thullâb Ma’had at-Tahdîb Ngoro Jombang ‘Âm: 2004, skripsi Institut Studi Islam Darussalam Gontor, yang disusun oleh Ahmad Luthfi Ridha (hlm. a).
[7]. Tuntunan Ziarah Wali Songo karya Abdul Muhaimin (hlm. 144).
[8]. Rahasia Keutamaan dan Keistimewaan Sholawat karya Nur Muhammad Khadafi, dinukil dari Âtsâr ash-Shalawât al-Wâhidiyyah hlm. 21
[9]. www.indospritual.com.
[10]. Lihat, al-Fishâl fî al-Milal wa al-Ahwâ’ wa an-Nihal (2/221).
[11]. Lihat, Majmû’ al-Fatâwâ (1/9).
[12]. Diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam mukadimah Shahihnya (1/15).
[13]. Lihat Tafsîr Ibn Katsîr (6/203)
[14]. Lihat, al-Minhâj fî Syu’ab al-Îmân karya al-Halîmy (II/124) dan al-Jâmi’ li Syu’ab al-Îmân karya al-Baihaqy (III/95).
[15]. Lihat, al-Minhâj fî Syu’ab al-Îmân (II/124).
[16]. Lihat, Ibid (II/125).
[17]. Diringkas dari Huqûqun Nabi shallallahu’alaihiwasallam ‘alâ Ummatih fî Dhau’i al-Kitâb wa as-Sunnah, karya Dr. Muhammad bin Khalifah at-Tamimy (II/466-478).
[18]. Di awal tulisan ini, kami telah bawakan beberapa dalil dari al-Qur’an dan Sunnah tentang disyariatkannya membaca shalawat.
[19]. Lihat, al-Minhâj fî Syu’ab al-Îmân (2/134).
[20]. An-Nûr al-Mubîn fî Mahabbah Sayyid al-Mursalîn karya KH. Muhammad Hasyim Asy’ari (hlm. 5-6).
[21]. Lihat: Ar-Radd ‘alâ al-Akhnâ’iy karya Syaikhul Islam Ibn Taimiyyah (hlm. 18) dan al-Ushûl ats-Tsalâtsah wa Adillatuhâ karya Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab (hlm. 23).
[22]. Al-Jauhar al-Munazham fî Ziarah Qabr an-Nabi shallallahu’alaihiwasallam wa Karram (hlm. 64) dinukil dari Ârâ’ Ibn Hajar al-Haitamy al-I’tiqâdiyyah ‘Ardh wa Taqwîm fî Dhau’I ‘Aqîdah as-Salaf karya Muhammad bin Abdul Aziz asy-Syayi’ (hlm. 450).
[23]. Al-Jauhar al-Munazham (hlm. 13) dinukil dari Ârâ’ Ibn Hajar al-Haitamy al-I’tiqâdiyyah.
_______
Footnote
[6]. Lihat: Âtsâr ash-Shalawât al-Wâhidiyyah fî Akhlâq Thullâb Ma’had at-Tahdîb Ngoro Jombang ‘Âm: 2004, skripsi Institut Studi Islam Darussalam Gontor, yang disusun oleh Ahmad Luthfi Ridha (hlm. a).
[7]. Tuntunan Ziarah Wali Songo karya Abdul Muhaimin (hlm. 144).
[8]. Rahasia Keutamaan dan Keistimewaan Sholawat karya Nur Muhammad Khadafi, dinukil dari Âtsâr ash-Shalawât al-Wâhidiyyah hlm. 21
[9]. www.indospritual.com.
[10]. Lihat, al-Fishâl fî al-Milal wa al-Ahwâ’ wa an-Nihal (2/221).
[11]. Lihat, Majmû’ al-Fatâwâ (1/9).
[12]. Diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam mukadimah Shahihnya (1/15).
[13]. Lihat Tafsîr Ibn Katsîr (6/203)
[14]. Lihat, al-Minhâj fî Syu’ab al-Îmân karya al-Halîmy (II/124) dan al-Jâmi’ li Syu’ab al-Îmân karya al-Baihaqy (III/95).
[15]. Lihat, al-Minhâj fî Syu’ab al-Îmân (II/124).
[16]. Lihat, Ibid (II/125).
[17]. Diringkas dari Huqûqun Nabi shallallahu’alaihiwasallam ‘alâ Ummatih fî Dhau’i al-Kitâb wa as-Sunnah, karya Dr. Muhammad bin Khalifah at-Tamimy (II/466-478).
[18]. Di awal tulisan ini, kami telah bawakan beberapa dalil dari al-Qur’an dan Sunnah tentang disyariatkannya membaca shalawat.
[19]. Lihat, al-Minhâj fî Syu’ab al-Îmân (2/134).
[20]. An-Nûr al-Mubîn fî Mahabbah Sayyid al-Mursalîn karya KH. Muhammad Hasyim Asy’ari (hlm. 5-6).
[21]. Lihat: Ar-Radd ‘alâ al-Akhnâ’iy karya Syaikhul Islam Ibn Taimiyyah (hlm. 18) dan al-Ushûl ats-Tsalâtsah wa Adillatuhâ karya Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab (hlm. 23).
[22]. Al-Jauhar al-Munazham fî Ziarah Qabr an-Nabi shallallahu’alaihiwasallam wa Karram (hlm. 64) dinukil dari Ârâ’ Ibn Hajar al-Haitamy al-I’tiqâdiyyah ‘Ardh wa Taqwîm fî Dhau’I ‘Aqîdah as-Salaf karya Muhammad bin Abdul Aziz asy-Syayi’ (hlm. 450).
[23]. Al-Jauhar al-Munazham (hlm. 13) dinukil dari Ârâ’ Ibn Hajar al-Haitamy al-I’tiqâdiyyah.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar