*Larangan Safar (dalam Rangka Ibadah) Selain Tiga Masjid*
Nabi bersabda,
لا تشد الرحال إلا إلى ثلاثة مساجد مسجد الحرام ومسجد الأقصى ومسجدي
“Janganlah suatu perjalanan (rihal) diadakan, kecuali ke salah satu dari tiga masjid berikut: Masjidil Haram, masjid Al Aqsha, dan masjidku (Masjid Nabawi).” (HR. Bukhari nomor 1197)
Al Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah tatkala membawakan perkataan ath Thibi rahimahullah (Al Fath 3/64) bahwa penafian tersebut mengandung makna larangan. Juga Hadits yang juga berasal dari Abu Sa’id al Khudri radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لا تشدوا الرحال إلا إلى ثلاثة مساجد مسجدي هذا والمسجد الحرام والمسجد الأقصى
“Janganlah kalian mempersiapkan perjalanan (bersafar), kecuali ke salah satu dari tiga masjid berikut: masjidku ini (Masjid Nabawi), Masjidil Haram dan Masjidil Aqsha.” (HR. Muslim nomor 827)
Sudah sangat jelas larangan melakukan perjalanan dalam rangka beribadah. Ada yang sampai merogoh kocek dalam- dalam, ada yang berazam tiap tahun, ada yang bernadzar tiap tahun iktikaf ramadhan di makam wali A. Ramadan berikutnya di makam wali B. Ngalap berkah di kuburan wali C, haul ijtima' di makam D. Andaikan hal itu masyru' (disyariatkan) niscaya para salaf sudah melakukannya. Mau ikut acara haul tiap tahun ramai- ramai. Iktikaf kok di kuburan.!
Semua penyimpangan karena berawal dari sikap ghuluw, berlebihan dalam beragama. Termasuk ghuluw terhadap orang² sholih. Sampai- sampai ayat dan hadits pun kalah. Bagaimana tidak KALAH? Prinsip- prinsip beragamanya bersumber dari perkataan "tokoh"nya. Wejangan, nasehat, petuah, pendapat "tokoh" nya lebih dia kedepankan daripada hadits dan ucapan para salaf. Bahkan di di pondoknya, di pendopo, di guest house, di rumahnya, di spanduk jalan, di warung² makan di pajang foto gambar "kyai"nya, foto - foto tokoh walinya. Padahal jelas sekali hadits nabi melarang memajang gambar² makhluk bernyawa jika ingin rumahnya di masuki malaikat.
Ghuluw, tak ada obatnya selain tobat. Padahal penghulu para wali, yaitu Nabi _shallallahu ‘alaihi wa sallam_ telah melarang umatnya untuk berlebih-lebihan terhadap beliau dalam sabdanya,
لَا تُطْرُونِي كَمَا أَطْرَتْ النَّصَارَى ابْنَ مَرْيَمَ فَإِنَّمَا أَنَا عَبْدُهُ فَقُولُوا عَبْدُ اللَّهِ وَرَسُولُهُ
“Janganlah kalian memujiku secara berlebihan seperti kaum Nasrani memuji ‘Isa bin Maryam (puncak pengultusan kaum Nasrani kepada nabi ‘Isa adalah menuhankan ‘Isa bin Maryam ‘alaihis salam, pen-). Sesungguhnya aku hanyalah hamba-Nya, maka panggillah aku dengan hamba Allah dan rasul-Nya.” (HR. Bukhari nomor 3261)
Saking Ghuluw nya, alias over, amalan "ijazah" dari "tokoh"nya dipegangi betul². Wirid ajaran "kyai"nya diamalkan betul², kamu baca wirid ini sekian ribu setiap kali sholat. Kamu kalau ingin suatu hajatmu berhasil bacalah dzikir ini sekian jumlahnya pada waktu begini. Amalkan sholat sunnah ini di setiap malam bla- bla. Sementara ajaran nabi berupa sunnah² yang begitu banyak TIDAK DIAMALKAN. Lho... memangnya tasyri' (pensyariatan) agama ini di tangan nabi atau "wali"?
Saking Ghuluw nya, dicium² dipeluk² pusara kubur sang wali, berkah katanya. Iktikaf dzikir jama'i, di atas kuburan, berdoa dan menganggapnya mustajab jika dengan tawassul kepada penghuni kubur. Nah. Memangnya mayat penghuni kubur di situ:
- bisa mendengar?
- bisa mengabulkan doa?
- bisa memberi rejeki?
- bisa memberi barokah ?
- bisa mengampuni dosa ?
- punya surga ?
- bisa mengatur taqdir ?
- bisa menyembuhkan ?
- bisa mendatangkan manfaat, menolak madhorrot ?
Ternyata TIDAK bisa semuanya. Sewaktu masih hidup saja tidak bisa, apalagi sudah MATI?
Pendapat berikutnya, Al Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah dan pendapat imam An Nawawi dalam kitab beliau Al Minhaj Syarh Shahih Muslim. Mereka mengemukakan berbagai alasan untuk mendukung pendapat ini, yakni maksud dari hadits tersebut adalah keutamaan yang sempurna hanya diperoleh dalam bersafar menuju ketiga masjid tersebut, tidak ke tempat lainnya karena bersafar ke tempat-tempat selain ketiganya hukumnya boleh. Hal ini ditunjukkan oleh hadits yang diriwayatkan Ahmad nomor 11627 dengan lafaz,
لا ينبغي للمطي أن تشد رحاله إلى مسجد ينبغي فيه الصلاة غير المسجد الحرام والمسجد الأقصى ومسجدي
“Tidak selayaknya seorang bersafar ke suatu masjid untuk melaksanakan shalat kecuali ke salah satu dari tiga masjid,
Para ulama berbeda pendapat dalam memahami larangan syaddur-rihaal di atas. Sebagian ulama ada yang berpendapat bahwa larangan tersebut kembali kepada tempat (secara umum), dan ulama lain berpendapat kembali pada masjid saja
Ibnu ‘Abdil-Haadiy rahimahullah berkata:
ولو نذر السفر إلى غير المساجد أو السفر إلى مجرد قبر نبي ، أو صالح لم يلزمه الوفاء بنذر باتفاقهم ، فإن هذا السفر لم يأمر به النبي - صلى الله عليه وسلم - ، بل قد قال : (( لا تشد الرحال إلا إلى ثلاثة مساجد )) وإنما يجب بالنذر ما كان طاعة ، وقد صرح مالك وغيره بأن من نذر السفر إلى المدينة النبوية إن كان مقصوده الصلاة في مسجد النبي - صلى الله عليه وسلم - وفى بنذره ، وإن كان مقصوده مجرد زيارة القبر من غير صلاة في المسجد لم يف بنذره ، قال : لأن النبي - صلى الله عليه وسلم - قال : (( لا تعمل المطي إلا إلى ثلاثة مساجد )).
“Dan seandainya seseorang bernadzar untuk safar menuju selain dari masjid-masjid atau safar menuju kubur Nabi saja atau orang shaalih, maka tidak wajib baginya untuk menepati nadzar tersebut berdasarkan kesepakatan mereka, karena safar ini tidaklah diperintahkan oleh Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Bahkan Nabi [][-% bersabda : ‘Janganlah engkau melakukan perjalanan jauh (safar) kecuali menuju tiga masjid’. Yang diwajibkan dalam nadzar hanyalah sepanjang merupakan ketaatan (kepada Allah). Maalik dan yang lainnya telah menjelaskan bahwa siapa saja yang bernadzar untuk safar menuju Madiinah Nabawiyyah jika maksudnya adalah melaksanakan shalat di Masjid Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, ia harus melaksanakan nadzarnya. Jika maksudnya hanyalah murni berziarah kubur (Nabi) tanpa shalat di dalam masjid, nadzarnya tidak boleh ditunaikan. Karena Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : ‘Tidaklah hewan tunggangan dipersiapkan untuk perjalanan jauh kecuali menuju tiga masjid’ [Ash-Shariimul-Munkiy, hal. 33].
Adapun Asy-Syaafi’iy rahimahullah berkata:
وَلَوْ نَذَرَ فَقَالَ: عَلَيَّ الْمَشْيُ إلَى إفْرِيقِيَّةَ، أَوِ الْعِرَاقِ، أَوْ غَيْرِهِمَا مِنَ الْبُلْدَانِ، لَمْ يَكُنْ عَلَيْهِ شَيْءٌ ؛ لِأَنَّهُ لَيْسَ لِلَّهِ طَاعَةٌ فِي الْمَشْيِ إلَى شَيْءٍ مِنَ الْبُلْدَانِ، وَإِنَّمَا يَكُونُ الْمَشْيُ إلَى الْمَوَاضِعِ الَّتِي يُرْتَجَى فِيهَا الْبِرُّ، وَذَلِكَ الْمَسْجِدُ الْحَرَامُ، وَأَحَبُّ إلَيَّ لَوْ نَذَرَ أَنْ يَمْشِيَ إلَى مَسْجِدِ الْمَدِينَةِ أَنْ يَمْشِيَ، وَإِلَى مَسْجِدِ بَيْتِ الْمَقْدِسِ أَنْ يَمْشِيَ ؛ لِأَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: " لَا تُشَدُّ الرِّحَالُ إلَّا إلَى ثَلَاثَةِ مَسَاجِدَ ؛ الْمَسْجِدُ الْحَرَامُ، وَمَسْجِدِي هَذَا، وَمَسْجِدُ بَيْتِ الْمَقْدِسِ "
“Seandainya seseorang bernadzar, lalu ia berkata : ‘Wajib bagiku berjalan menuju Afrika atau ‘Iraaq, atau negeri-negeri yang lain’, maka tidak ada kewajiban apapun baginya (untuk ditunaikan), karena tidak ada ketaatan kepada Allah dalam perjalanan menuju negeri-negeri tersebut. Satu perjalanan itu hanyalah dilakukan menuju tempat-tempat yang diharapkan padanya kebaikan. Dan itu adalah Masjid Haraam. Dan aku suka seandainya ia bernadzar berjalan menuju Masjid Madiinah dan Masjid Baitul-Maqdis, lalu ia pun melakukannya dengan berjalan. Hal itu dikarenakan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda : ‘Janganlah engkau melakukan perjalanan jauh (safar) kecuali menuju tiga masjid: Al-Masjid Haram, masjidku ini (Masjid Nabawiy), dan Masjid Baitul-Maqdis’…….” [Al-Umm, 2/280].
Ibnu Baththah Al-‘Ukbariy rahimahullah berkata:
وَمِنَ الْبِدَعِ : البناءُ على القبورِ، وَتَجْصِيصُهَا، وَشَدُّ الرِّحَالِ إِلَى زِيَارَتِهَا
“Dan termasuk diantara bid’ah adalah : membangun bangunan di atas kubur dan mengkapurnya, serta melakukan perjalanan jauh (syaddur-rihaal) dalam rangka menziarahinya” [Asy-Syarh wal-Ibaanah, hal. 274].
Muhyiddiin Al-Barqawiy Al-Hanafiy rahimahullah berkata:
فإن جمهور العلماء قالوا: السفر إلى زيارة قبور الأنبياء والصالحين بدعة، لم يفعلها أحد من الصحابة والتابعين، ولا أمر بها رسول رب العالمين، ولا استحبها أحد من أئمة المسلمين. فمن اعتقد ذلك قربة وطاعة، فقد خالف الإجماع. ولو سافر إليها بذلك الاعتقاد، يحرم بإجماع المسلمين
“Sesungguhnya jumhur ulama berkata : ‘Safar dalam rangka berziarah ke kubur para Nabi dan orang-orang shaalih adalah bid’ah, tidak pernah dilakukan oleh seorang pun dari kalangan shahabat dan taabi’iin; tidak diperintahkan oleh Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wa sallam]; serta tidak pula dianggap mustahab oleh seorang pun dari imam kaum muslimin. Barangsiapa meyakini hal itu adalah amalan untuk mendekatkan diri kepada Allah dan ketaatan kepada-Nya, sungguh ia telah menyelisihi ijmaa’. Seandainya ia melakukan safar ke tempat tersebut tanpa adanya satu keyakinan, maka tetap diharamkan berdasarkan iijmaa’ kaum muslimin” [Ziyaaratul-Qubuur
Tidak ada komentar :
Posting Komentar