Abu Hasan

مجموعة الاسلامية على نهج سلف الأمة

Minggu, 29 Maret 2020

WARO' (1)

- '
Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam bersabda :
من حسن إسلام المرء تركه مالا يعنيه
“Dari kebaikan Islam seseorang adalah meninggalkan apa yang tidak bermanfaat baginya.” [Hasan: Sunan Tirmidzi]
Makna hadits ini mencakup setiap yang tidak bermanfaat dari ucapan, penglihatan, pendengaran, ayunan tangan, berjalan, berpikir dan seluruh gerak yang tampak ataupun yang tidak (batin). Hadits ini telah mencakup semua makna yang terkandung dalam lafazh wara’.
- Waro' mencakup menahan ucapan yang tidak berguna, mengucap yang tidak perlu, boros pembicaraan kesana kemari tidak kepada tujuan. Namun jika bercerita kesana kemari ada mashlahat seperti mengajak komunikasi kepada anak keluarga maka tetap bermanfaat. Mengajak bicara dan bercanda kepada istri dan anak justru mashlahat. Jika pelit bicara, saling membisu justru menimbulkan mafsadat (keburukan).
Waro' penglihatan; melihat yang diperlukan, tidak penting dan tidak berguna memelototi hal² yang mendatangkan dosa. Ketika memandang berlama- lama kepada gadis² cantik tidak berguna maka berpaling darinya lebih bermanfaat bagi hati.
Termasuk waro dalam pendengaran; sekiranya memasang headset musik ditelinga tidak berguna maka hendaknya ditinggalkan.
Waro' dalam tingkah laku. Saat berjalan, berjalan penuh fokus menuju tujuan. Menghindari jalan yang tidak waro', yaitu berjalan yang tidak berwibawa. Banyak tolah- toleh, ada banyak bertingkah polah, berjalan dibuat², berjingkrak atau berjinjit, mengayunkan tangan panjang², dan tingkah² gerak- gerik yang melucu.
Waro' dalam berfikir; tidak berpikir yang tidak². Berfikir dan ber-idea yang aneh- aneh. Yaitu tidak membayangkan maksiyat².
Mengenai keutamaan sifat wara’ telah disebutkan oleh Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya,
فضل العلم خير من فضل العبادة وخير دينكم الورع‎
“Keutamaan menuntut ilmu itu lebih dari keutamaan banyak ibadah. Dan sebaik-baik agama kalian adalah sifat wara’” (HR. Ath Thobroni dalam Al Awsath, Al Bazzar dengan sanad yang hasan‎).
Rasulullah _shallallahu ‘alaihi wa sallam_ pernah menyampaikan nasehat berharga pada Abu Hurairah,
يَا أَبَا هُرَيْرَةَ كُنْ وَرِعًا تَكُنْ أَعْبَدَ النَّاسِ وَكُنْ قَنِعًا تَكُنْ أَشْكَرَ النَّاسِ وَأَحِبَّ لِلنَّاسِ مَا تُحِبُّ لِنَفْسِكَ تَكُنْ مُؤْمِنًا وَأَحَسِنْ جِوَارَ مَنْ جَاوَرَكَ تَكُنْ مُسْلِمًا وَأَقِلَّ الضَّحِكَ فَإِنَّ كَثْرَةَ الضَّحِكِ تُمِيتُ الْقَلْبَ
“Wahai Abu Hurairah, jadilah orang yang wara’, maka engkau akan menjadi sebaik-baiknya ahli ibadah. Jadilah orang yang qona’ah (selalu merasa cukup dengan pemberian Allah), maka engkau akan menjadi orang yang benar-benar bersyukur. Sukailah sesuatu pada manusia sebagaimana engkau suka jika ia ada pada dirimu sendiri, maka engkau akan menjadi seorang mukmin yang baik. Berbuat baiklah pada tetanggamu, maka engkau akan menjadi muslim sejati. Kurangilah banyak tertawa karena banyak tertawa dapat mematikan hati.” (HR. Ibnu Majah no. 4217‎).
Sangat sederhana sekali apa yang disampaikan oleh Ibnul Qayyim Al-Jauziyah mengenai pengertian wara’, beliau cukup mengartikan dengan dalil dari sabda Nabi –[]-. Ibnul Qayyim Al-Jauziyah Rohimahulloh menjelaskan,
وقد جمع النبي الورع كله في كلمة واحدة فقال : من حسن إسلام المرء تركه ما لا يعنيه فهذا يعم الترك لما لا يعني : من الكلام والنظر والاستماع والبطش والمشي والفكر وسائر الحركات الظاهرة والباطنة فهذه الكلمة كافية شافية في الورع
“Nabi [] telah menghimpun makna wara’ dalam satu kalimat yaitu dalam sabda beliau, “Di antara tanda kebaikan Islam seseorang yaitu meninggalkan hal yang tidak bermanfaat.” Hadits ini dimaksudkan untuk meninggalkan hal yang tidak bermanfaat yaitu mencakup perkataan, pandangan, mendengar, bertindak anarkis, berjalan, berpikir, dan aktivitas lainnya baik lahir maupun batin. Hadits tersebut sudah mencukupi untuk memahami arti wara’.” (Madarijus Salikin, 2: 21).
Dinukil dari Madarijus Salikin (di halaman yang sama), Ibrahim bin Adham berkata,
الورع ترك كل شبهة وترك ما لا يعنيك هو ترك الفضلات
“Wara’ adalah meninggalkan setiap perkara syubhat (yang masih samar), termasuk pula meninggalkan hal yang tidak bermanfaat untukmu, yang dimaksud adalah meninggalkan perkara mubah yang berlebihan.”
Sahl At Tursturiy berkata,
"لا يبلغ العبد حقيقة الإيمان حتى يكون فيه أربع خصال: أداء الفرائض بالسنة، وأكل الحلال بالورع، واجتناب النهي من الظاهر والباطن، والصبر على ذلك إلى الموت"
“Seseorang tidaklah dapat mencapai hakikat iman hingga ia memiliki empat sifat:
(1) menunaikan amalan wajib dengan disempurnakan amalan sunnah,
(2) makan makanan halal dengan sifat wara’,
(3) menjauhi larangan secara lahir dan batin,
(4) sabar dalam hal-hal tadi hingga maut menjemput.” (Sholahul Ummah fii ‘Uluwwil Himmah, 4: 326)
Sahl juga berkata,
من أكل الحرام عصت جوارحه شاء أم أبى، علم أو لم يعلم، ومن كانت طعمته حلالا أطاعته جوارحه، ووفقت للخيرات
“Siapa yang makan makanan haram dalam keadaan ingin atau tidak, baik ia tahu atau tidak, maka bermaksiatlah anggota badannya. Namun jika makanan yang ia konsumsi adalah halal, maka patuhlah anggota badannya dan akan diberi taufik melakukan kebaikan.” (Dinukil dari Sholahul Ummah fii ‘Uluwwil Himmah, 4: 326)
Yunus bin ‘Ubaid berkata,
“Wara’ adalah keluar dari syubhat (perkara yang samar) dan setiap saat selalu mengintrospeksi diri.” (Dinukil dari Sholahul Ummah fii ‘Uluwwil Himmah, 4: 326)
Ibnu Rajab mengutarakan pengertian wara’ dengan mengemukakan hadits,
دع ما يريبك إلى ما لا يريبك
“Tinggalkan hal yang meragukanmu kepada yang tidak meragukanmu.” (HR. An Nasai dan Tirmidzi‎)
Ibnu Rajab berkata bahwa sebagian tabi’in berkata,
تركت الذنوب حياء أربعين سنة ، ثم أدركني الورع
“Aku meninggalkan dosa selama 40 tahun lamanya. Akhirnya, aku mendapati sifat wara’.” (Fathul Bari, Ibnu Rajab, Asy Syamilah, 1: 51).
Subhanallah....
Lihatlah bagaimana sikap Imam Nawawi rahimahullah dalam menyikapi apabila ada keragu-raguan dalam masalah suatu hukum, halal ataukah haram. Beliau berkata,
فَإِذَا تَرَدَّدَ الشَّيْء بَيْن الْحِلّ وَالْحُرْمَة ، وَلَمْ يَكُنْ فِيهِ نَصّ وَلَا إِجْمَاع ، اِجْتَهَدَ فِيهِ الْمُجْتَهِد ، فَأَلْحَقهُ بِأَحَدِهِمَا بِالدَّلِيلِ الشَّرْعِيّ فَإِذَا أَلْحَقَهُ بِهِ صَارَ حَلَالًا ، وَقَدْ يَكُون غَيْر خَال عَنْ الِاحْتِمَال الْبَيِّن ، فَيَكُون الْوَرَع تَرْكه ، وَيَكُون دَاخِلًا فِي قَوْله صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : ( فَمَنْ اِتَّقَى الشُّبُهَات فَقَدْ اِسْتَبْرَأَ لِدِينِهِ وَعِرْضه )
“Jika muncul keragu-raguan akan halal dan haramnya sesuatu, sedangkan tidak ada dalil tegas, tidak ada ijma’ (konsensus ulama); lalu yang punya kemampuan berijtihad, ia berijtihad dengan menggandengkan hukum pada dalil, lalu jadinya ada yang halal, namun ada yang masih tidak jelas hukumnya, maka sikap wara’ adalah meninggalkan yang masih meragukan tersebut. Sikap wara’ seperti ini termasuk dalam sabda Nabi -[], “Barangsiapa yang selamat dari perkara syubhat, maka ia telah menyelamatkan agama dan kehormatannya.” (Syarh Muslim, 11: 28).
*Wara' harus dengan Ilmu*
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata :
“Dari kesempurnaan wara’ adalah hendaknya seseorang mengetahui yang terbaik dari dua kebaikan dan mengetahui yang terburuk dari dua keburukan, mengetahui bahwa landasan syariat adalah mewujudkan kemaslahatan dan menyempurnakannya, serta mengeliminasi kerusakan dan meminimalkannya.
Maka barangsiapa yang tidak menyeimbangkan antara mengerjakan dan meninggalkan maslahat dan mudharat, mungkin saja dia meninggalkan yang wajib dan melakukan yang haram, dan memandang sikap tersebut sebagai sikap wara’, seperti orang yang tidak ikut serta berjihad bersama pemimpin yang zhalim, lalu melihat hal tersebut sebagai sikap wara’. Misalnya, datang pasukkan tentara Islam kepada pemimpin yang belum bisa diganti, pada diri pemimpin tersebut terdapat sifat kefasikan namun dia berjihad melawan orang-orang kafir. Salah seorang dari mereka berkata : “Saya menahan diri (wara’) untuk tidak berjihad dibelakang orang fasik ini.” Maka apa yang akan terjadi? Pasti musuh akan dapat membinasakan negeri kaum muslimin dan kaum muslimin akan terjerumus dalam kekalahan.
Salah seorang dari mereka bapaknya meninggal dunia, bapaknya itu memiliki harta yang tersamar kehalalannya dan dia memiliki hutang. Ketika orang-orang datang untuk menagih hak mereka, salah seorang anaknya berkata : “Kami menahan diri (wara’) untuk melunasi hutang bapak kami dengan harta yang syubhat ini.” Ini adalah sikap wara’ yang batil dan pelakunya adalah orang yang bodoh.
Jadi kebodohan membuat sebagian orang meninggalkan kewajiban dengan anggapan bahwa dia bersikap wara’, meninggalkan shalat Jumat dan shalat berjamaah dibelakang imam ahli bid’ah atau pelaku dosa dan menganggap bahwa tindakan tersebut sebagai sikap wara’, menolak untuk menerima persaksian hamba, tidak mau menerima ilmu seorang alim karena pada diri orang tersebut terdapat bid’ah yang tersembunyi, lalu memandang bahwa tidak mau menerima kebenaran yang wajib didengarnya sebagai sikap wara’.”
Contoh kebodohan: ada seorang perempuan enggan bersekolah atau kuliah dengan alasan menghindari dilihat laki- laki, atau diajar guru laki² yang bukan mahramnya. Enggan pergi ke pasar atau bekerja karena bercampur dengan orang2 ajnabi.
Juga contoh kebodohan:
*Tingkatan wara’*
Sebagian Ulama membagi wara’ kepada tiga tingkatan :
*Pertama : Wajib,* yaitu meninggalkan yang haram. Dan ini umum untuk seluruh manusia.
*Kedua : Menahan diri dari yang syubhat,* ini dilakukan oleh sebagian kecil manusia.
*Ketiga* : *Meninggalkan* kebanyakan perkara *yang mubah,* dengan mengambil yang benar-benar penting saja, ini dilakukan oleh para Nabi, orang-orang yang benar (shiddiqin), para syuhada’ dan orang-orang shalih.
Wara’ dari perkara yang mubah maksud nya wara’ dari perkara mubah yang dapat mengantarkan nya kepada yang haram. Bukan didalam hal yang jelas-jelas kemubahan nya. Bahkan perkara mubah bisa menjadi ibadah apabila diniatkan untuk mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa ta’ala. Misalnya, seseorang makan dengan niat untuk mendapatkan tenaga agar bisa beribadah kepada Allah, atau tidur agar bisa melaksanakan shalat malam, menikah dengan niat memberikan nafkah kepada isteri dan mengikuti sunnah Rasulullah dan semisalnya.
*Potret sikap wara’ orang shaleh*
Wara’nya Rasulullah [] bersikap wara’ terhadap buah kurma yang didapatkan dirumahnya. Hasan bin Ali mengambil kurma zakat dan memasukkan kedalam mulutnya, maka Nabi Shallallahu’alaihi wa sallam bersabda : “Kuhk, Kuhk..” yakni agar memuntahkan nya, kemudian beliau bersabda : “Tidakkah kamu menyadari bahwa kita tidak makan dari harta zakat.” [Shahih Bukhari dan Muslim]
*Wara’nya Abu Bakar*
Beliau memiliki seorang budak yang membayar upeti kepadanya. Abu Bakar makan dari upeti tersebut. Suatu hari budak itu membawa makanan, maka Abu Bakr menahan nya. Setelah itu budak tersebut berkata : “Tahukah apa yang telah kamu makan?” Abu Bakar bertanya : “Apa itu?” Dia berkata : “Dulu aku pernah menjadi dukun untuk seseorang dimasa jahiliyah. Sesungguhnya aku tidak pandai berdukun, tetapi aku mau menipunya. Dia menemuiku dan memberikan sesuatu kepadaku dan itulah yang engkau makan.” Maka Abu Bakar memasukkan tangan nya kedalam mulutnya dan memuntahkan seluruh yang ada dalam perutnya.” [Shahih bukhari]
*Wara’ nya Umar bin Khaththab*
Ibnu Khaththab membagikan pakaian kepada para wanita Madinah, maka tersisa pakaian yang bagus. Sebagian orang yang ada disisinya bertanya : “Wahai Amirul Mukminin, berikan ini kepada puteri Rasulullah yang ada disisimu.” Yang mereka maksud adalah Ummu Kaltsum yakni Puteri Ali yang dinikahi Umar, dia adalah cucu Rasulullah, maka Umar berkata : “Ummu Salith lebih berhak.” Ummu Salith adalah wanita Anshar yang berbai’at kepada Nabi karena dia menjahit bagi kami tempat air pada waktu perang Uhud.” [Shahih Bukhari]
Itulah sifat wara’, penghati-hati, sifat yang positif penuh mawas diri. Menjaga diri dari perbuatan dosa terhadap hal yang diragukan halal-haramnya.
Semoga bermanfaat. Amin.‎

Tidak ada komentar :

Posting Komentar